Bagian I: Chapter 6

81.9K 11K 315
                                    

Liburan Gendhis di Yogyakarta harus dipercepat karena sudah dua kali dalam beberapa hari ini Gendhis mendapatkan penglihatan aneh itu lagi. Sebelum berangkat ke stasiun, ia harus menjalani ritual mandi bunga tujuh rupa yang telah disediakan oleh Eyang dan Kakung. Kata mereka Jogja membawa aura negatif pada Gendhis jadi harus dibersihkan dulu jiwa dan raganya agar tidak menganggu juga di Jakarta nanti.

Bukan rahasia lagi kalau sebenarnya Gendhis tidak suka diperlaukan seperti itu. Baginya itu cuma mitos yang dibuat-buat saja. Tapi dia tidak sedang menghadapi ibu atau ayahnya yang bisa mengerti. Eyang dan Kakung tidak menerima segala jenis penolakan. Budhe Tika bilang ke Gendhis walaupun itu adalah hal yang tidak masuk akan tapi cobalah untuk percaya. Katanya, kekuatan sugesti dari dalam diri sendiri itu jauh lebih kuat dari kekuatan apapun di dunia ini.

Ya, Gendhis tak ambil pusing. Ia hanya mengiya-iyakan saja.

Di stasiun, Lea dan Wahyu sudah menunggu kedatangan Gendhis. Mereka akan kembali ke Jakarta bersama. "Kok jadi balik sama kita? Bukannya kamu balik minggu?" tanya Lea penasaran.

"Disuruh Ibu balik cepat soalnya ayah harus ke luar kota." Gendhis berbohong menutupi yang terjadi sesungguhnya. Ia tidak akan pernah menceritakan keadaannya kepada siapapun. Hal itu terlalu aneh untuk dilogikakan. Ujung-ujungnya mereka akan beranggapan bahwa Gendhis sedang mengalami De javu.

Ketiganya langsung menuju tempat duduk masing-masing ketik kereta telah datang. Wahyu membantu Lea dan Gendhis menaikkan koper mereka. "Enam bulan lagi aku sama Wahyu ada rencana untuk main ke sini lagi. Mau join nggak? Nanti juga kita ajak kakak-kakak senior."

"Enam bulan lagi itu sekitar tanggal berapa?" tanya Gendhis. Kebetulan dia juga harus kembali enam bulan lagi, tepatnya bulan Desember tanggal 15 nanti karena Saudara sepupunya Lastri, akan melangsungkan acara pernikahan.

"Belum pasti juga sih, soalnya kita juga mau ajak teman yang lain jadi maunya diomongin dulu. Soalnya sayang banget ke Jogja kali ini nggak bisa kemana-mana. Padahal niatnya mau kerja sambil liburan eh tapi ternyata nggak bisa."

"Lihat nanti saja, ya," bisik Gendhis mengakhiri percakapan mereka.

"Jam berapa sih sekarang? Seharusnya keretanya udah berangkat nih." Mendengar keluh kesah temannya Gendhis ikut-ikutan melihat jam di pergelangan tangannya. Masih kurang lima menit lagi. Lea itu benar-benar tidak sabaran.

Gendhis terkejut saat Lea menarik pergelangan tangannya. "Apa Le?" tanya Gendhis terkejut.

"Ini jam tangannya Armada. Sumpah gue kagak bohong, ini benar-bensr mirip banget sama jam tangannya Armada." Lea menarik lengan Gendhis agar Wahyu juga bisa melihat. Gendhis yang tak merasa nyaman, menarik lengannya dengan kasar.

"Apaan sih? Ini aku baru beli kemarin sama Mbak Lastri. Jangan aneh-aneh,deh, nih lihat aja jarumnya masih bergerak!"

"Kebetulan belinya mirip kali," bela Wahyu. Lea masih ingin berdebat tapi benar kata Wahyu, yang ia yakini adalah jam tangan milik Armada kan mati sedangkan milik Gendhis masih menyala. Tapi apakah benar itu kebetulan? Kalau iya, kebetulan yang sangat aneh karena Lea yakin sekali itu kalau dua jenis jam tangan yang sama. Bahkan merknya pun sama.

"Udah, nggak usah dipikirkan. Pabrik nggak buat cuma satu, kok." Gendhis mengangguk setuju pada oernyataan Wahyu.

Suara peuit dari petugas menandakan kereta akan segera diberangkatkan. Debat kecil mereka terhenti karena kesibukan masing-masinh. Gendhis melihat ke luar jendela, butir-butir gerimis mulai meluncur dari jendela luar. Hujan pertama di musim penghujan tahun ini. Gendhis melirik ke dua temannya yang masing-masing memasang headset di telinga dengan mata yang terpejam.

Mereka sudah siap-siap untuk tidur tapi Gendhis tidak bisa. Matanya masih terbuka lebar melihat gerimis kecil berubah menjadi hujan lebat. Senyumnya terpancar melihat pohon-pohon hijau itu akhirnya mendapatkan rezekinya. Postur tubuhnya lebih santai saat kereta melewati hamparan sawah yang baru saja ditanam. Masih hijau layaknya permadani yang terbentang luas. Sangat indah pikirnya.

Sebuah bayangan lebar menutupi penglihatan Gendhis.

Seorang wanita dengan pakaian kemben serta jarik batiknya sedang duduk di sebuah kereta kuda. Gendhis terlihat sangat cantik malam itu, dengan berbagai hiasan emas mulai dari gelang lengan, kalung serta selendang merahnya membuat Gendhis terlihat bak seorang wanita bangsawan. Dilihatnya kelam malam yang menyelimutinya. Hanya pendar kecil cahaya dari lampu minyak yang digantung di beberapa rumah warga setempat. Semakin mendekati ibu kota, semakin ramai orang-orang berseliweran.

Keretanya melambat tat kala dari luar semua orang menunduk juga ada yang bersujud saat kereta lewat. "Selama atas kemenangannya! Selamat menempuh hidup yang bahagia! Hidup Maharaja! Damai jaya Wilwatikta!" Terlihat senyum masam di wajah Gendhis. Ia terlihat tidak menikmati semua pujian yang warga lontarkan. Bukan berarti Gendhis harus bersikap dingin, ia tetap membalas semua pujian mereka dengan tersenyum.

Seorang wanita yang lebih muda di samping Gendhis dengan wajah yang tersipu. "Seluruh kerajaan sedang berbahagia akan keberhasilan Maharaja dan Mahapatih yang telah menyatukan nusantara. Anda juga pasti sangat bahagia, Nyai." Gendhis mengangguk sepintas masih melihat riuhnya festival.

"Tapi saya pikir berita yang akan Nyai sampaikan akan jauh lebih membahagiakan. Seluruh kerajaan akan segera terbekati," imbuhnya.

Gendhis memegang perutnya sekilas. Wajah yang menunjukkan rasa kecewa berubah menjadi sorot bahagia. Gendhis tersenyum ke arah pelayannya. "Terimakasih sudah mengingatkanku untuk tetap berbahgia di masa yang sulit ini."

"Pesta milik Maharaja akan sangat indah, Nyai. Tetaplah bahagia selalu." Bukannya berbahagia justru Gendhis merasa sesak. Dia dikelilingi oleh banyak orang yang menikmati pesta rakyat yang diadakan oleh Maharaja tapi justru Gendhis merasa kesepian.

"Aku merindukan ibu dan Ayah. Apa kabar mereka semua? apa yang mereka rasakan saat aku tak bersama mereka. Aku merasa kesepian di sini, aku merindukan rumahku."

"Apa maksudnya, Nyai? Bukankah rumah Nyai tidak jauh dari sini? Mpu Gading beserta istri pun sering datang mengunjungi Nyai." Pelayannya itu tak akan pernah paham maksud dari Gendhis, jadi ada baiknya kalau Gendhis diam saja.

Kereta berhenti di sebuah gerbang bata merah. Seorang pria sudah menunggunya. Pintu kereta dibuka. Saat Gendhis ingin melihat siapa yang membukakan pintu keretanya sebuah angin besar menarik Gendhis dalam hisapan yang kuat.

Gendhis mengerjap, jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Matanya terasa berair, lagi-lagi Gendhis melihat mereka. Ia melirik teman-temannya yang masih tertidur untung mereka tidak melihatnya hampir menangis.

Gendhis benar-benar bisa berharap untuk mengingat apa yang dilihatnya. Tapi semakin keras usaha Gendhis untuk mengingat semakin mengabur juga ingatannya. Padahal dulu ia hanya melihat mereka sebulan sekali tapi sekarang semakin parah, dalam lima hari saja Gendhis melihat mereka hingga tiga kali.

Gadis itu memilih memejamkan matanya untuk melupakan semuanya. Dia kelelahan, selalu seperti itu rasanya. Setelah melihat mereka Gendhis langsung kelelahan seperti badannya telah memalui perjalanan yang cukup panjang.

Dalam enam bulan lagi dia akan kembali ke sini, sekarang adalah waktunya memnenangkan diri di Jakarta. Dia akan baik-baik saja.

###

*Wilwaktika adalah nama lain dari Majapahit dalam bahasa Sansekerta.

Jangan lupa vote dan komennya ya kawan-kawan!!!

MADA (Complete)Where stories live. Discover now