(7) Regret

3.5K 229 10
                                    

Malam ini sungguh sunyi. Aku menghela napasku. Membiarkan rasa sesak menghinggapiku. Aku terduduk. Melihat sekeliling kamarku. Tak ada yang menarik. Kembali aku menghela napas. Ada sesuatu yang mengganjal. Tapi aku tak tau apa itu. Rasanya seperti aku terjebak oleh penjara yang ku buat sendiri.

Ku tatap langit-langit kamarku. Cahaya terang dari lampu kamar mmembuatku mengernyit. Aku tersenyum hambar. Kebiasaanku sejak dulu, aku tak bisa tidur jika lampu kamar dipadamkan.
Aku beranjak. Memakai mantel tebalku dan keluar dari kamar. Menghirup udara malam di beranda rumah mungkin bisa membuatku tenang.

Disinilah aku.

Duduk di atas kursi rotan yang menghadap ke arah barat. Di depanku terpampang jalanan yang sepi. Lagipula, siapa yang akan keluar dari rumah saat suhu kurang dari nol derajat celcius? Tengah malam pula.

Aku tersenyum sendu saat merasakan hembusan angin menerpa wajahku. Angin malam yang terasa sama dengan yang kurasakan beberapa tahun lalu. Mataku terpejam merasakan sentuhannya yang begitu lembut namun menusuk. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi. Mencoba menemukan rasa nyaman. Ku buka mataku saat merasakan suhu semakin dingin. Terdiam beberapa detik lalu terfokus pada titik-titik putih yang kontras dengan kegelapan.

Salju pertama.

Aku terpaku. Haruskah aku memohon sesuatu? Bukankah salju pertama akan mengabulkan setiap permohonan?

Lalu tanpa pikir panjang, aku menangkup kedua tanganku dan meletakkannya di dada. Mataku terpejam kembali dan menunduk. Lantas mengucap doa dalam hati.

"Aku hanya menginginkan dia kembali. Aku tau aku salah. Maka dari itu, kumohon, kembalikan dia agar aku bisa memperbaiki kesalahanku."

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku yang terpejam, diiringi tetesan yang lainnya. Aku terisak. Meratapi doa bodohku yang sampai kapanpun tak akan terkabul.

Kecuali, aku menyusulnya.

***

Desember, 2009

Langkah kaki itu menggema. Derapnya terdengar jelas di antara heningnya fajar. Meninggalkan jejak di setiap jalan yang ia susuri. Embun pagi menempel saat bergesekan dengan tubuhnya yang terbalut mantel tebal. Sesekali uap keluar dari mulutnya saat ia menghela napas. Bahkan udara hampir tak menyalurkan kehangatan sama sekali, tapi ia dipaksa untuk menelusuri jalanan yang mulai tertutup salju.

Mulutnya bergumam, menyenandungkan sebuah lagu yang terdengar sendu. Bukan. Bukan karena liriknya. Tapi karena suaranya memang terdengar sendu dan menyedihkan.

Langkahnya terhenti di sebuah gedung kosong yang sepi. Lampu depannya masih dinyalakan. Jarinya terangkat untuk menekan bel. Tiga detik kemudian, mikrofon samping bel berbunyi. Seseorang di dalam gedung itu menyambut kedatangannya.

"Taehyung-ah, kaukah itu?"

"Ne. Ini aku, hyung-nim."

Cklek.
Pintu terbuka secara otomatis. Taehyung segera memasuki gedung itu, dan berjalan tergesa menuju lantai dua setelah memastikan pintu kembali tertutup.

"Hyung-nim, kau di dalam?"

Taehyung menghentikan langkahnya saat mendapati sesosok laki-laki terduduk di atas kursi rodanya. Dia tersenyum, menunjukkan jika ia menunggu kedatangan Taehyung. Taehyung membalasnya dengan senyuman kaku. Dia mendekati laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya.

"Hyung-nim..."

"Kau pasti kedinginan, kan? Aku sudah membuatkan cokelat panas kesukaanmu. Minumlah." Ucap Namjoon.

Kim TaehyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang