3. Dejavu

2.2K 253 72
                                    

"Pulpen lo, kan?"

Rara menoleh begitu mendengar suara itu. Didapatinya sosok siswa yang pernah ditemuinya beberapa hari yang lalu. Jika ia tak salah, namanya adalah Arka, orang yang ia antarkan ke ruang guru di hari senin.

Seolah takdir memang ditulis sedemikian apik, skenario kembali membawa mereka untuk bertemu melalui sebuah pulpen. Rara sungguh tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Semuanya terjadi begitu saja, seakan harus seperti itu.

"Gue nemuin kemarin di perpus." Benda itu diulurkan padanya.

Hari ini, Rara baru keluar dari koperasi siswa usai membeli peralatan tulis untuk mengganti pulpen yang ia hilangkan. Namun, begitu ia keluar dari ruangan itu, dirinya disambut dengan sosok yang tak asing. Pemuda itu kembali muncul sebagai orang yang entah kenapa tampak seperti seorang pahlawan, menjadikannya harus menaruh atensi terhadap pemuda itu.

"Makasih." Rara menerima pulpen itu kembali.

Untuk sosok sepertinya yang tak ingin kerepotan, memiliki dua pulpen adalah kewajiban. Namun entah mengapa dalam kasus ini ia hanya mempunyai satu pulpen, sehingga ketika benda itu hilang, ia harus segera menuju koperasi siswa untuk membeli keperluan.

"Mungkin lo harus kurangin keteledoran lo."

Pernyataan itu mampu membuat Rara mengalihkan pandang dari pulpen yang baru saja ia terima. Ditatapnya Arka yang kini menarik sudut bibir.

Rara mengangguk, terlalu bingung untuk merespon. "Poinnya satu banding dua, kan?" Ia mencoba mengungkit bagian di mana Arka pernah menyebut mengenai hubungan timbal balik.

"Lo boleh ngitung juga." Arka tak kuasa merespon dengan tawa kecil.

Setelahnya, mereka benar-benar kehabisan topik obrolan. Rara yang tak mudah menemukan konsep obrolan dengan orang baru, kini membuat mereka merasa seperti sedang berada di situasi yang dipaksakan.

"Gue pergi duluan, ya."

Arka yang pada akhirnya mengambil alih membuat Rara merasa lega. Setidaknya ia tidak perlu berada di tempat tak nyaman secara berlarut-larut. Ia baru akan beranjak ketika suara Arka lebih dahulu menginterupsi.

"Lo ngerasa aneh nggak sih sama gue?"

Rara menoleh, menatap pemuda itu lamat-lamat. Menggeleng ragu, ia berkata, "Kenapa?"

Arka menggeleng lalu tersenyum. "Nggak ada. Makasih buat jawabannya."

***

"Ada lomba-lomba yang diumumin di mading dekat ruang guru itu, kamu nggak ikut, Ra?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh pengawas perpustakaan. Wanita muda itu bertanya tepat setelah Rara mengisi buku kunjungan.

Rara menggeleng. "Pengen ikut tapi ragu."

Untuk seseorang yang sulit bergaul sepertinya, Rara kesulitan menemukan jati diri. Pengawas perpustakaan-yang entah kenapa terasa lebih akrab dibanding teman sekelasnya-adalah orang yang lebih mendominasi ketika mereka sedang mengobrol.

"Percuma punya kemampuan kalo nggak ditunjukin ke yang lain, Ra." Wanita itu muda itu tersenyum, cantik sekali. Menurut berita terakhir yang beredar, ia sudah menikah selama dua tahun, kemudian melahirkan seorang putra beberapa bulan yang lalu.

Rara meringis. Memang benar apa yang dikatakan lawan bicaranya, tapi ia bisa berbuat apa? Jika tidak ditunjuk, ia tak akan mampu berjalan sendirian untuk menuju juara. Yang diperlukannya adalah sebuah dorongan keras agar bisa melompat lebih tinggi.

Istirahat kali ini, Rara kembali duduk di sudut ruangan. Ia mengambil salah satu buku tentang antariksa untuk dibaca. Lembaran yang penuh dengan gambar membuat dirinya lebih dengan mudah mencerna.

Tujuh menit berkutat dengan buku, membuat Rara mengambil sedikit istirahat. Ia mengedarkan sedikit pandangan. Mendadak memorinya terlempar pada hari di mana seseorang mengetuk jendela dekat tempat ia duduk.

Arka. Pemuda itu adalah murid baru yang asing. Namun entah mengapa, ia merasa sangat familiar. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat ia merasa jika Arka adalah seorang yang pernah ia jumpai entah di waktu kapan.

***

"Emang Raka kalo di waktu-waktu gini biasanya ngapain, Ra?" Pertanyaan dari wanita paruh baya yang kini duduk di sisinya, membuat Rara mengalihkan pandang dari pelanggan yang baru saja pergi meninggalkan toko.

"Mungkin lagi tidur siang." Rara menunduk, memainkan jemarinya yang berada di pangkuan. Entah mengapa pertanyaan ini membuat ia merasa tidak nyaman.

Mendapati tangannya tiba-tiba digenggam erat membuat Rara mengangkat wajah. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat, mencoba membuatnya merasa lebih baik. Saat itu, lawan bicaranya tersebut berkata, "Panggil Ibu kalo ada apa-apa. Jangan sungkan-sungkan."

Rara mengangguk. Nina memang sangat baik untuk menjadi seorang tetangga, tetapi ia merasa tidak nyaman. Kadang memang kebaikan seseorang akan membuat orang yang menerimanya akan merasa tidak enak hati.

"Bu, saya .... "

Rara menoleh ke arah suara. Ditangkapnya sosok pemuda tak asing yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Arka, pemuda itu datang ke tempatnya bekerja paruh waktu.

"Rara?" Pemuda itu memanggilnya. Terdengar nada keheranan dari suaranya.

Bangkit, Rara berjalan mendekat. "Hai." Ia tersenyum canggung, bingung hendak berkata seperti apa.

"Lo kerja di sini?" Pertanyaan itu dijawab anggukan olehnya.

Arka terdiam sejenak sebelum secara ragu memesan satu box kecil brownies. Menyiapkan makanan yang diminta, segera Rara mengantarnya pada meja yang disediakan.

"Bisa ngobrol di sini sebentar? Kayanya nggak terlalu banyak pelanggan sekarang."

Menyanggupi, Rara kemudian mengambil tempat di hadapan Arka. Menunduk, ia memainkan jemari tangannya. Ia yakin jika Arka akan memberi ia beberapa pertanyaan selama mereka dalam meja yang sama.

"Udah berapa lama kerja di sini, Ra?" Pertanyaan itu menjadi kalimat pembuka obrolan.

Rara mengangkat wajah, menatap pemuda itu. "Hampir dua tahun."

Arka mengangguk-angguk, terlihat tengah memikirkan mengenai apa yang terjadi dua tahun lalu. Rara bisa menangkap raut penasaran dari air muka pemuda itu, tetapi Arka tak melanjutkan pertanyaan mengenai topik obrolan yang sama.

"Inget waktu kita ketemuan pertama kali?" Arka mengalihkan pembicaraan. "Entah kenapa tujuan gue langsung lo, padahal kita bukan orang yang saling kenal." Ada kejujuran dari matanya. "Gue benci kenalan sama orang asing, tapi kayanya lo pengecualian. Gue nggak tau secara pasti."

Pernyataan itu mampu menarik Rara untuk ikut berpikir. Seperti yang bisa dilihat, ia bukanlah gadis yang cantik, sehingga tidak mungkin membuat Arka mampu tertarik padanya dalam sekali pandang.

"Mungkin kamu nggak asing sama aku. Entah karena aku mirip sama seseorang yang kamu kenal, atau sejenisnya." Rara memberi pendapat.

Arka mengangguk-angguk, terlihat menyetujui kalimatnya. "Kalo lo. Apa pendapat lo tentang gue pertama kali?"

Diberi pertanyaan itu secara tiba-tiba, membuat Rara terdiam. "Aku ngerasa nggak asing sama kamu."

***

Perjalanannya dimulai. Ceritanya beda abis. Parah sih emang. Versi lama jeleknya keterlaluan. Jadinya, aku rombak keseluruhan:)

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang