18. Redamancy

1.4K 159 46
                                    

"Gue tadi ketemuan sama Rara. Dia bilang dia suka sama lo."

Katakan Arka gila karena pada pukul delapan malam mengunjungi rumah seseorang yang jelas-jelas tidak memiliki status khusus dengannya. Namun itulah yang ia lakukan setelah mendengar penjelasan dari Dion.

"Kata dia, lo ngajak dia buat pacaran dan ngelupain hal pahit yang pernah berlalu. Sedang hal pahit yang dia rasain itu tentang orang tuanya. Dia nggak pengen ngelupain itu."

Arka bisa menangkap raut wajah terkejut Rara begitu ia muncul di depan pintu. Napasnya masih tak beraturan karena mengayuh sepedanya dengan begitu cepat. Ingin sekarang ia limpahkan semua ceritanya kepada Rara, tetapi entah mengapa kalimat pertama yang sudah ia siapkan selama perjalanan, terasa sulit untuk dilontarkan.

"Kamu kenapa ke sini?" Rara pada akhirnya yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Gadis itu menatap ia dengan pandangan bingung.

Tak segera menjawab, Arka malah tertawa yang mengundang kerutan samar di dahi Rara. Entahlah, ia merasa ini sangat lucu. Arka benar-benar ingin menertawai diri sendiri dengan durasi yang lama. Hanya karena Rara, ia harus mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh. Hanya demi gadis itu, ia melawan egonya yang tinggi akibat percakapan kecil pagi tadi.

"Kamu nggak pa-pa?"

Arka meredakan tawa. Ia menatap Rara. Tersenyum, Arka berkata, "Gue pengen peluk lo." Pernyataannya itu spontan mengundang semburat merah di kedua pipi Rara. Ia bisa menangkapnya di sinar remang-remang dari lampu teras rumah Rara.

"Dion bilang semuanya tentang obrolan kalian tadi." Arka pada akhirnya berusaha untuk serius setelah beberapa saat benar-benar terbuai dengan suasana.

"Kamu bilang apa aja ke Dion tentang aku?"

Arka mengulas senyum saat pertanyaan itu diucapkan Rara. "Kalo gue bilang salah satunya tentang gue suka sama lo, lo percaya nggak sama apa yang gue bilang?"

Semburat itu kembali muncul. Arka bisa melihatnya. Sama halnya wajah Rara yang menghangat, Arka juga merasakannya di dada. Setelah sekian lama, gadis itu pada akhirnya menjadi satu-satunya orang yang berhasil merebut hatinya dalam hitungan waktu yang cukup singkat. Apakah ini terlalu cepat? Entahlah, Arka juga tak mengerti. Namun yang pasti, waktu benar-benar mempertemukan mereka dalam waktu yang tepat.

"Gue jujur Ra sama apa yang gue omongin. Lo nggak percaya?" Arka pada akhirnya melempar tanya setelah Rara membisu tanpa suara. Hanya mata gadis itu yang berbicara, tetapi Arka tak mampu menangkap dengan jelas pesan apa yang berusaha disampaikan.

"Aku nggak tau." Rara menunduk.

Lolosan tawa kecilnya kemudian mengundang Rara mengangkat wajah kembali. Arka merasa lucu. Ia ingin tertawa, lagi dan lagi. Rasanya aneh saja karena tak pernah ia menyatakan perasaan pada lawan jenis dengan cara ini. Sebelumnya, ia selalu menciptakan sedikit kejutan yang kemudian menjadi pesta luar biasa. Sangat berbeda dengan sekarang. Bukan hanya pada caranya yang berbeda, tetapi juga si lawan jenis yang begitu spesial di hatinya.

"Gue suka sama lo, Ra." Arka berhasil menyatakan hal tersebut. "Bukan tentang belajar saling suka lagi. Tapi emang waktu yang buat gue punya rasa ini ke elo."

Rara terdiam, tampak terkejut dengan apa yang ia katakan. Beberapa saat membisu, pada akhirnya ia menjawab, "Tapi aku belum bisa."

"Tentang orang tua lo, kan?" Pertanyaan yang ia ajukan kemudian dijawab anggukan ragu oleh Rara. "Gue nggak bakal minta hal pahit itu lo hapus dari kehidupan lo. Tapi kita bareng-bareng buat hal pahit itu jadi hal manis yang bisa lo ingat kapan aja."

Sangat jarang kalimat manis keluar dari bibirnya, karena Arka tak punya hati sebesar itu untuk membuat untaian kalimat begitu indah untuk dinikmati orang lain. Hanya saja demi Rara, semuanya berubah. Cinta memang demikian. Selalu gila dan tak bisa diterangkan melalui logika. Semuanya terasa tak masuk akal. Sekalipun itu hanyalah cinta remaja seperti yang sedang ia lalui, Arka tahu jika hal yang ia rasakan benar-benar sesuatu yang memang sudah ditakdirkan demikian.

"Kenapa kamu suka sama aku?"

"Karena lo hanya perlu jadi diri lo sendiri waktu bareng gue. Itu yang buat gue suka sama lo."

"Tapi aku cewek yang pemikirannya terlalu sederhana."

"Makanya gue suka sama lo."

Rara menunduk. Dari yang Arka tangkap, gadis itu tengah memainkan jemarinya. Lawan bicaranya sedang gugup dengan keputusan apa yang hendak ia ambil; menerima atau menolak.

"Kakak?"

Suara itu spontan membuat Arka mengalihkan pandang pada sesosok laki-laki yang berhenti di ambang pintu. Bocah itu harta karun tersembunyi yang dimiliki Rara, orang yang berhasil mencuri hatinya.

"Siapa?" Laki-laki itu berjalan mendekat kemudian bersembunyi di belakang tubuh Rara. Kendati demikian, ia tetap menyembulkan kepalanya untuk bisa melihat ia yang sedang terlibat obrolan. Arka melihatnya sebagai anak yang lucu.

Melupakan sosok Rara yang sedang menjadi lawan bicaranya, Arka memutuskan untuk merendahkan posisi untuk bisa menyamakan tinggi dengan laki-laki itu. "Nama kamu siapa?"

"Raka."

Arka melirik Rara yang rupanya tengah menatap interaksi keduanya. Ia tersenyum. "Cocok nggak menurut kamu?" Ia bertanya. "Raka." Ia menunjuk dada si bocah. "Rara." Ia menunjuk si gadis. "Arka." Ia menunjuk diri sendiri.

Arka pikir, lawan bicaranya tersebut akan tersenyum begitu mendengar kemiripan nama ketiganya. Namun, hanya ada tatapan biasa yang ditunjukkannya. Segera ia menyimpulkan jika Raka bukanlah sosok yang dengan mudah ia taklukan.

Perlahan, Arka menegakkan tubuhnya kembali. "Kenalin, Kakak namanya Arka, calon kakak ipar kamu."

***

"Akhirnya jadian?" Dion bertanya.

Pagi ini sebelum keduanya masuk kelas, Arka memutuskan untuk mengajak Dion pergi ke kantin. Ia belum sempat sarapan di kos, sehingga merasa lapar. Beruntungnya, orang yang diajak kemudian menyetujui meski ia sendiri sudah sarapan dari rumah.

Arka mengangguk. "Iya." Ia berhenti berbicara. "Dia nggak jawab sih sebenernya."

Pernyataannya itu spontan mengundang kerutan samar di dahi Dion. Pemuda itu tampak bingung dengan jawabannya yang terdengar sangat tidak pasti.

"Rara belum bilang jawabannya apa waktu adeknya tiba-tiba muncul." Arka menghentikan kegiatan sarapannya. Ia sudah merasa cukup kenyang. Meraih satu botol air putih yang ada di tengah meja, ia lanjut berkata, "Gue bilang sama dia kalo gue calon kaka iparnya. Jadi ya gue klaim kalo kita pacaran."

Dion meresponnya dengan decakan, tanda tak habis pikir dengan apa yang ia lakukan. "Gue pengen cari penggaris buat ngitung tingkat kesintingan lo."

Arka tergelak pelan. Memang yang ia lakukan sangat tidak masuk akal. Mereka—ia dan Rara—memang saling suka. Hanya saja, Rara yang sulit memulai hubungan membuat cerita mereka terkesan jalan di tempat. Jika ia tak melakukan lemparan besar tadi malam, sudah pasti tak akan ada kisah di antara keduanya.

"Terus adeknya Rara tuh ... eh bentar-bentar. Lo bilang Rara yatim-piatu, kan? Koreksi gue, nih. Dia nyetujuin kalian pacaran gitu?"

"Sama kaya mbaknya, dia juga diem aja." Arka menjelaskan. Ia membuka tutup botol yang dipegangnya kemudian mulai menegaknya.

"Hubungan satu pihak." Dion menjawab. "Mending kaya gue aja. Remaja jomblo yang bahagia."

"Lo mah remaja jompo."

Dion tertawa lalu menggeleng. Jeda sejenak, ia menarik napas pelan. "Kapan sih Ka kita mulai ejek-ejekan sesantai kaya gini?" Lemparan tanyanya membuat suasana mulai sedikit berubah. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di permukaan meja. "Kayanya baru akhir-akhir ini aja nggak, sih?"

Kalimat Dion hanya dinikmati dalam diam oleh Arka. Rasanya, memang benar. Baru setelah ia pindah, candaan seperti ini terasa berbeda. Karena sebelumnya, percakapan seperti ini seolah tak memiliki jiwa. Selalu ada tekanan yang datang menghantam sehingga obrolan mereka terkesan tak memiliki arah.

"Emang udah paling tepat sih kita pindah sekolah." Dion kembali melanjutkan.

***

Rutin update, nih. Seneng banget bisa nulis cerita ini dengan suasana yang longgar, karena kesannya cerita yang lagi ditulis jadi kaya nggak dipaksain.

Tetep tinggalin jejak, ya.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora