6. Reverie

1.6K 218 59
                                    

"Jadi, gue harus mulai dari mana tentang pegawai itu? Dimulai dari dia yang yatim piatu?"

Arka tidak punya hati nurani sebesar orang-orang yang ditayangkan di televisi. Namun, pernyataan pemuda itu mengenai Rara benar-benar membuat ia merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang benar-benar mengganggu pikirannya.

"Gue masih satu setengah tahun di sini. Jadi nggak terlalu banyak tau soal apa aja yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Sejak gue pindah, dia emang udah kerja di sana."

Sosok canggung Rara muncul dalam pikirannya. Gadis itu bukanlah perempuan paling manis atau bahkan paling lugu yang pernah dijumpainya. Rara benar-benar berada dalam tengah-tengah, tidak terlalu menonjol atau bahkan tidak terlalu tenggelam. Orang-orang seperti itu pula yang entah mengapa biasanya mudah untuk dilupakan. Sayangnya, dalam kasus ini ada sesuatu yang lain. Arka terlalu kesulitan untuk melupakan gadis itu.

Seolah ada magnet yang akan selalu menghubungkan keduanya meski ia sendiri selalu menolak, begitu Arka menggambarkan. Jika memang benar ia merasa tidak asing dengan gadis itu, mengapa tak segera ia menemukan kepingan memori yang dulu pernah mempertemukan keduanya?

Memikirkan hal ini membuat Arka merasa seperti hampir meledakkan kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa sangat tak nyaman, seakan meminta agar hal ini segera diselesaikan.

Dering ponsel membuat fokus Arka teralihkan. Diambilnya benda pipih yang kini berada di sisi tubuh. Menatap layar ponselnya, didapati jika sosok itu kembali menghubungi.

"Tebak apa?" Dua kata itu menjadi pengganti kalimat sapaan. "Gue minta pindah sekolah ke bokap-nyokap."

Pernyataan itu spontan membuat Arka merubah posisinya menjadi duduk. "Lo gila?"

"Gue udah gila sejak temenan sama lo."

Arka kehabisan kata-kata. "Reputasi lo, Yon. Lo pikir aja kalo ikut pindah."

"Lo pindah, ternyata masih mikir tentang reputasi juga?" Ada jeda dalam kalimat yang dilontarkannya. "Reputasi bukan hal berharga buat gue. Nggak peduli seberapa gue berjuang, tapi kalo orang mandang gue buruk, ya udah."

Reputasi; satu kata yang menggambarkan tentang dirinya. Dari dulu hingga sekarang, hanya satu itu yang ia jaga. Sedang pernyataan lawan bicaranya kini, benar-benar menamparnya.

"Sekalipun gue nggak pindah, reputasi gue udah sama kaya lo, Ka. Ancur. Semuanya nggak ada yang bisa dibenerin. Jadi, gue pikir ini jalan terbaik."

Ada helaan napas berat dari celah bibirnya. "Orang tua lo. Gimana waktu lo minta buat pindah?"

"Ya lo pikir? Seenggak suka apapun mereka sama lo, tapi semuanya bakal terselamatkan sama bokap lo, kan?"

Benar. Apa yang dikatakan lawan bicaranya memang demikian.

"Mungkin minggu depan gue bakal muncul di depan lo. Jadi jangan rindu-rindu banget sama gue."

"Gue nggak rindu sama lo. Gue benci sama lo "

Ada tawa yang muncul akibat respon yang ia berikan. "Gue juga benci sama lo."

***

"Mentang-mentang dia ganteng aja lo ngebaikin dia."

Pernyataan itu mampu membuat Arka yang baru saja memasuki kelas, lantas mengalihkan pandang terhadap seseorang yang kini sedang berbicara pada seorang siswi yang berstatus sebagai sekretaris kelas. Tepat saat itu, pemuda yang baru saja berbicara, lantas menghentikan kalimatnya begitu menyadari ia datang. Tentu Arka tahu apa yang terjadi; ia menjadi topik obrolan mereka.

Siswa itu-pemuda yang tak menyukainya-mungkin adalah salah satu orang yang mengetahui siapa ia sebelum kedatangannya di sekolah ini. Sehingga sangat mungkin untuk meninggalkan kesan buruk bahkan ketika ia masih belum genap dua minggu bersekolah di tempat yang sama.

Mencoba abai dengan hal tersebut, ia memilih untuk berjalan menuju tempatnya duduk dan mengeluarkan beberapa buku untuk diletakkan di permukaan meja, mengingat bel sebentar lagi akan berbunyi. Ia yang baru akan menempati kursinya, dikejutkan dengan sosok siswi yang tiba-tiba sudah berdiri di sisinya. Itu si sekretaris kelas.

"Gue denger-denger lo belum punya catatan lengkap, ya?" Siswi itu menyerahkan buku tulisnya. "Mungkin nggak selengkap yang lain, tapi gue harap bisa ngebantu lo."

Arka sungguh bingung hendak merespon seperti apa. Dapat ia rasakan jika seluruh atensi di kelas sedang terarah padanya.

"Thanks." Yang mampu dilakukannya hanyalah menerima buku yang diserahkan, sedang siswi itu kembali duduk di kursinya. Sempat ia dengar beberapa teman si gadis menggoda karena telah memberanikan diri untuk berhadapan dengannya.

Dulu, mungkin ia akan merasa senang. Akan ada sesuatu yang membuncah dalam dadanya ketika ia menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Namun kini, perhatian hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman. Ada ketakutan dalam dirinya.

***

Mungkin, Arka menyukai berdialog dengan Rara karena ia-lah yang selalu mendominasi pembicaraan. Gadis itu-Rara-adalah sosok yang kesulitan dalam membuat topik baru dalam sebuah percakapan. Ketidakaktifan gadis itu membuatnya merasa tidak terlalu diperhatikan, yang entah kenapa membuatnya merasa lebih nyaman.

Saat pertemuan pertama kali mereka. Arka bisa menangkap gestur tak nyaman yang ditunjukkan gadis itu. Rara yang mengedarkan pandang untuk mencari orang lain agar bisa dimintai tolong, adalah satu hal yang membuatnya senang. Setidaknya, Rara adalah orang pertama yang ia ketahui sebagai sosok yang tidak mengenalnya.

Kesenangan itu pulalah yang kembali mengantarkan ia berjalan kembali ke perpustakaan. Udara dingin ketika ia memasuki ruang baca, membuat Arka merasa nyaman. Diedarkannya tatapan ke sudut ruangan, mencari sosok yang biasanya mengisi tempat tersebut. Sayangnya, tidak ada orang di sana. Tempat itu kosong, tak ada orang yang suka menyendiri di sudut ruangan untuk mengisi waktu selama istirahat.

"Permisi, Rara-nya nggak ada, ya?" Orang pertama yang Arka tuju adalah wanita muda yang bertugas sebagai pengawas perpustakaan.

Wanita muda itu kemudian mengalihkan pandang dari novel yang baru saja ia baca. Matanya menyorot lurus Arka. "Rara-nya dari tadi belum datang. Nggak tau ke mana."

Jawaban itu mampu menimbulkan rasa kecewa. Arka pikir, dengan kedatangannya ke perpustakaan, akan membuatnya bertemu dengan Rara. Lalu, tidak ingin habis rencana, ia lanjut bertanya, "Rara di kelas mana, ya?"

Raut bingung muncul di wajah lawan bicaranya. Mungkin, memang terasa aneh karena tidak mengetahui di mana kelas Rara, sedang tempo hari mereka mengobrol panjang di perpustakaan.

11 IPA 1. Begitu kata pengawas perpustakaan. Tak butuh berpikir lebih lama untuk Arka segera menuju kelas tersebut.

Sayangnya, jawaban yang tak ia duga-duga muncul sesudah ia bertanya pada salah seorang penghuni kelas.

"Rara?" Siswi tersebut tampak penasaran dengan ia yang tiba-tiba memasuki kelas dan bertanya mengenai Rara. "Dia nggak masuk hari ini. Adeknya sakit. Kenapa?"

***

Aku nggak terlalu bisa mengekspresikan diri sebagai orang yang 'pendiam', mengingat aku sendiri sering mendominasi dalam pembicaraan. Mungkin ada beberapa kenalanku yang emang pendiam, cuma itu bukan temen deket. Temen deketku kebetulan punya sifat yang sebelas-dua belas kaya aku, suka hal yang rame-rame. Jadi rasanya unik waktu buat cerita yang watak/karakternya berbanding terbalik sama apa yang kita punya.

Kalau kalian merasa tidak nyaman dalam hal penyampaian atau dalam hal-hal lainnya. Kalian komen, ya. Biar aku tau di mana aja kesalahan yang aku perbuat.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang