9. Baloney

1.6K 205 50
                                    

"Kalo ada apa-apa bilang sama Ibu. Kita kan udah kaya keluarga."

Kalimat itu seperti sesuatu yang ditancapkan dalam memorinya sehingga ia terus berlarut-larut dalam mengingatnya. Tentu Rara tahu mengapa Nina mengatakan hal tersebut padanya. Wanita itu peduli-atau bahkan bisa dikatakan sangat peduli-padanya. Jasa yang diberikan terhadapnya terlalu banyak, sampai-sampai tak mampu ia hitung.

Semuanya karena Raka. Nina akan selalu sensitif apabila sudah menyangkut adiknya. Di umur yang sedemikian, seharusnya laki-laki itu mendapat nutrisi yang membuatnya bisa bertumbuh kembang dengan baik. Namun, peristiwa sakit yang menimpa Raka tempo hari, tentu sudah menjadi pertanda akan kurangnya mereka dalam bagian memperhatikan kondisi masing-masing.

Langkah Rara semakin lunglai. Ada dalam dirinya yang membenci semua ini. Ia marah, tapi tak tahu akan meluapkannya pada siapa. Dalam hasrat tersebut, yang mampu dilakukannya hanya memejamkan mata untuk menjaga pikirannya agar tetap tenang.

"Rara?"

Untuk sejenak, Rara pikir ia sedang berhalusinasi karena mendengar suara tak asing yang memasuki indera pendengarannya. Namun begitu menyadari sosok tersebut memang ada, ia tahu jika dirinya tidak sedang berimajinasi. Arka, pemuda itu tiba-tiba saja muncul di belakangnya dengan sepeda.

"Hai." Rara menyapa canggung. Ia mengamati Arka yang kini dalam setelan santai dan bersepeda sore.

"Lo nggak nyadar waktu gue nyeberang jalan tadi?" Pertanyaan itu spontan membuat Rara mengernyit bingung. Ia benar-benar tidak menyadari hal tersebut.

Arka tertawa pelan. "Kayanya lo lagi banyak banget pikiran sampai-sampai nggak nyadar gue nyeberang jalan buat nyamperin lo."

Terdiam sejenak, Rara mencoba menebak ke arah mana pemuda itu akan mengarahkan pembicaraan. Mengenal satu sama lain selama nyaris dua minggu, ia menyadari satu hal tentang lawan bicaranya tersebut; akan mengalihkan pembicaraan dengan segera jika topik obrolan mereka bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

"Lo tinggal deket sini ya, Ra? Jalan kaki gitu soalnya."

Pertanyaan mengenai alamat rumah, hal yang lumrah untuk mereka yang baru saja saling mengenal dan bertemu di tempat yang jarang didatangi bersamaan. Kendati demikian, Rara tak menebak hingga bagian itu.

Dengan pertanyaan yang dilontarkan tersebut, Rara menjawab, "Iya." Ia menyadari jika nada yang gunakan terdengar aneh. Lalu, untuk mencoba lebih membaur, ia lanjut bertanya, "Kamu juga tinggal deketan sini?"

"Rumah gue jauhan, sih. Cuma gue ngekos deket sini."

Penjelasan itu mampu membuat Rara menarik kesimpulan mengapa mereka bisa bertemu di luar sekolah secara kebetulan hingga dua kali. Pemuda itu rupanya tinggal di tempat yang tak berjauhan dengan rumahnya.

"Lo ... abis kerja?"

Rara yang mulanya mulai kehilangan fokus, kini kembali menyorot Arka. Ia mengangguk. "Iya. Ini mau pulang."

"Oh gitu." Arka mengangguk-angguk.

"Kalo gitu, aku pulang dulu, ya."

Mereka benar-benar berpisah setelahnya. Rara memutuskan untuk menjadi orang yang beranjak terlebih dahulu. Beberapa saat berjalan, ia membalikkan tubuh, mencoba memastikan di mana posisi Arka sekarang. Sayangnya, hal yang ia dapat benar-benar di luar ekspektasinya; pemuda itu memperhatikannya dan belum beranjak sama sekali.

***

"Lo masih di sini terus, ya?"

Rara tidak terkejut dengan kemunculan Arka di perpustakaan. Masih dengan senyum khasnya, pemuda itu lantas mengambil tempat pada kursi kosong di hadapannya.

"Gue pernah bilang kalo sekali atau dua kali gue masih bisa suka sama tempat ini, kan?" Arka memulai pembicaraan. "Tapi kayanya gue salah, deh. Sampai sekarang, gue nggak ngerasa bosen."

"Kayanya cuma kamu yang bilang kaya gitu." Untuk seseorang dengan kesulitan merespon orang lain, kalimat itu sudah Rara upayakan untuk muncul. "Yang lain malah sering tanya apa bagusnya tempat ini, tanpa nyoba."

Salah satu alis Arka tertarik ke atas, tampaknya cukup menyukai topik obrolan yang sedang berlangsung. "Ada yang bilang kaya gitu?"

"Beberapa."

Jeda. Keduanya kehabisan topik. Rara yang menyadari hal tersebut, lantas memilih untuk melempar pandang ke luar jendela.

Entah mengapa, pikirannya terlempar jauh ke belakang. Dulu, saat ia masih pertama kali masuk sekolah, ada satu kakak kelas yang membuat pipinya selalu bersemu merah kala bertemu. Namun sekali lagi, ia tidak berlakon dalam kehidupan pemuda itu. Yang dilakukannya hanyalah menatap sedari jauh, sehingga mau tak mau secara perlahan perasaannya memudar. Sesederhana itu memang.

Sesuatu yang indah; cinta semasa remaja, pertemanan dengan siswi satu kelas, atau mungkin menjadi murid yang populer, mungkin bukan diciptakan untuknya. Hanya ada tengah-tengah untuknya, yang kemudian membuat ia secara perlahan akan tersisih.

"Gue penasaran, Ra."

Suara Arka menarik Rara dari keheningan. Dialihkannya pandangan dari luar jendela pada sosok yang duduk berseberangan dengannya.

"Lo pernah suka sama cowok, nggak?"

Seakan bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan, pertanyaan itulah yang terlontar. Rara cukup terkejut mendengarnya, mengingat bahkan tak pernah terbesit di benaknya kalimat itu untuk diajukan.

Butuh dua detik untuk Rara menjawab, "Pernah."

"Beneran?" Arka mengulang, sepertinya ingin memastikan. "Gue penasaran tipe lo kaya apa."

"Orang yang nggak sespesial kamu bayangin."

Rupanya jawaban itu malah semakin membuat Arka penasaran, hal itu tampak dari pemuda itu yang tiba-tiba menumpukkan tubuh di permukaan meja. Tanpa ragu, lawan bicaranya tersebut lanjut bertanya, "Dan gue penasaran orang itu kaya apa."

Rara melempar tatap pada rak buku yang berdiri tak jauh dari tempat keduanya duduk. "Seseorang yang suka sama buku-buku itu."

"Orang yang lo suka harus identik sama perpustakaan, ya?" Pemuda itu tertawa pelan.

Rara tak sanggup untuk tak juga ikut tertawa. "Mungkin iya."

"Jadi ... gue mungkin bisa jadi orang yang lo suka?" Butuh satu detik untuk Rara mencerna, hingga pada akhirnya senyum yang muncul di bibirnya lenyap. "Gue sering ke perpustakaan ya walaupun nggak selalu baca buku, dan kita selalu ngobrol kaya gini," lanjutnya.

Rara tidak mengerti. Ia mungkin sama layaknya perempuan lain yang akan menyenangi laki-laki berwajah rupawan, seperti halnya Arka. Namun untuk jatuh cinta, rasanya tidak mungkin. Mereka masih terlalu dini dalam mengenal satu sama lain. Ia tidak semudah itu membiarkan kehidupan merah jambunya ditangkap oleh orang lain.

"Itu mungkin aja, kan?" Suara Arka menjadi yang pertama keluar setelah saling berdiam diri. "Gue udah dua tahun nggak punya status hubungan sama cewek. Jadi, kalo lo ada niat jatuh cinta sama gue, bilang."

"Karena aku satu-satunya perempuan yang deket sama kamu sekarang?" Maka pertanyaan itu yang Rara berikan pada lawan bicaranya.

Arka mengangguk-angguk. "Mungkin gue bisa buka hati ke lo." Senyumnya timbul. "Kita bisa belajar saling suka, kan?"

Itu benar-benar terdengar gila. Rara tak pernah membayangkannya. Belajar saling menyukai? Kalimat itu terdengar seperti memang tidak pernah ada kehidupan merah muda, hanya ada manusia yang berakting untuk saling mencintai.

"Kenapa?" Rara dengan ragu bertanya. "Kenapa cuma aku yang bisa deket sama kamu?"

***

Nggak tau kenapa ceritanya jadi kaya gini. Mungkin kalian akan ngerasa aneh, tapi aku harap itu nggak aneh-aneh banget *emot menangis. Terus kasih support buat cerita ini, ya.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang