MEI 2014

9 1 0
                                    

Sore itu Nah duduk di bangku semen, di taman fakultas yang rindang dengan pepohonan. Burung-burung terlihat terbang ke arah barat, beramai-ramai, rapi dengan barisannya kembali ke peraduan. Cukup lama Nah duduk di sana dengan laptopnya dan tumblr 1 liter yang isinya tinggal ¼. Sesekali ia melihat sekelilingnya, melihat orang mondar-mandir di depannya, memperhatikan langkahnya, wajahnya bahkan baju yang dipakai. Lalu Nah bisa saja menerka-nerka perasaan orang yang tadi ia perhatikan. Nah memang begitu, ia adalah perempuan yang memiliki 80% intuisi. Kemampuan memahami sesuatu tanpa penjelasan yang rasional atau berdasar. Tiba-tiba saja pemahaman itu datang.
Nah juga memperhatikan beberapa pasangan yang sedang menikmati syahdunya hari jelang senja, di seberang tempat ia duduk. Beberapa teman menyapanya. Bertanya kabar, mengucapkan selamat atau hanya sekedar menyapa. “HAI NAH”

Matahari sudah nyaris tenggelam di Barat. Senja segera menyingsing. Sinar matahari yang seringkali cepat redup dan tiba-tiba hari gelap, membuat orang-orang ingin bergegas pulang. Tapi hari itu tidak. Sinarnya masih lekat di pelupuk mata lewat celah-celah dedaunan. Warna senja membuat suasana syahdu dan tenang sekali. Ditambah dengan semilir angin yang menyapu dedaunan yang gugur. Menurut Nah, menikmati hidup adalah ketika bisa merasakan hal-hal sederhana, seperti menikmati sore itu. Senja itu membuat Nah enggan pergi dari tempat itu.

Lamunannya terbang ke rencananya usai wisuda. Nah  masih galau dan cemas seperti fresh graduate pada umumnya yang bingung akan kemana setelah wisuda. Ya, jika ada yang tidak galau, mungkin itu tidak lebih dari 10% dari mahasiswa yang ada di kampus itu. Terlalu naif jika Nah mengaku sudah punya rencana matang akan ke mana. Ia tidak berbakat berbohong, apalagi kepada dirinya sendiri. Ia bingung, cemas dan gelisah. Nah hanya yakin satu hal bahwa yang diberikan, yang ditunjukkan sama yang Maha Kuasa adalah yang terbaik. Namun, sangat manusiawi seorang mahasiswa yang baru akan lulus dilanda kebingungan mau ke mana nanti. Asal tidak akut saja.

Lamunannya terhenti karena ada dering telpon

“Halo Ibu, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.. Lagi di mana? Jadi Wisudanya tanggal berapa? Malam ini bapak mau sewa mobil.”
“Masih di kampus bu. Wisudanya tanggal 20, hari Sabtu”
“Ohh. Yasudaah. Nanti biar dibooking bapak, mobilnya”
“Iya bu.”
“Hmmm, Anak ibuk udah mau diwisuda. Kok cepet ya. Lah nanti ada pendamping wisudamu ga?”
“Kan Ayah dan ibu yang jadi pendamping wisudaku,” kata Nah pura-pura tidak paham apa yang dimaksud ibunya.
“Ya bukan Ayah dan ibu maksudnya. Kalau itu kan pasti. Maksud ibu calon imammu nanti. Lah udah ada belum?
“Ibu tahu sendiri. Ya Belum ada kalau calon. Kalau yang ibu maksud pendamping wisuda. Gampang lah. Tar sewa. Gimana? Hahaa,” seloroh Nah.

Selama ini Nah tidak pernah banyak bercerita kepada ibunya tentang perasaannya selama kuliah. Meskipun ia sempat bercerita satu kali tentang seorang teman laki-laki yang ia kagumi. Dan itu sudah lama sekali di awal kuliah. Setelah itu Nah tidak pernah bercerita lagi kepada Ibunya. Nah enggan bercerita karena perasaan itu sudah terlalu dalam dan ia hanya ingin menyimpannya sendiri. Nah pun sejak perasaannya terlanjur dalam ia tak tahu harus menyimpannya sampai kapan. 

“Ya bukan apa Nah. Kamu kan udah besar. Udah dewasa. Mungkin sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu. Menemukan teman hidup. Tapi kok ibuk gak pernah dengar kamu cerita tentang seseorang yang kamu suka, atau yang suka sama kamu?”
“Hmmmmm,” gumam Nah sambil membereskan laptopnya dan seketika ingin mengakhiri pembicaraan itu.
“Kalau ada yang serius, ajaklah ke rumah. Kenalkan ke ayah dan ibu. Kamu tahu sendiri kami ini udah umur berapa.”
“Iya bu.. Doain yaa. Kan Nah juga mau ke pelosok dulu. Jadi nanti lah ya,” jawab Nah dengan enteng.

“Jangan sampai kayak tetangga kita yang ga ketemu jodohnya sampe umur 40 tahun. Nanti kalau udah di dunia kerja, semuanya akan beda. Kalau ga cari sekarang, kapan lagi. Nanti sulit lho kalau ga dapat pas masih di kampus,” lanjut ibunya.
Nah rasanya makin ingin mengakhiri percakpaan sore itu dengan ibunya.
“Ibuk ga usah khawatir berlebihan. Pokoknya doain aja. Ga usah takut yang aneh-aneh. Nanti kalau kejadian beneran gimana?”
“Naudzubillah.  JANGAN. "
“Makanya. Sekarang Nah musti berusaha jadi pribadi yang lebih baik dulu, berprestasi, bermanfaat buat orang banyak. Belajar yang banyak. Nanti juga sampai waktunya ketemu jodoh. Gitu Bu. Santaaiiiiii”. Terang Nah dengan nada santai meskipun perasaannya tiba-tiba menjadi sesak
“Allahuakbar Allahuakbar........” Adzan maghrib masjid kampus berkumandang
“Wah bu, udah Maghrib. Besok lagi ya telponnya. Mau ke masjid. Setelah itu pulang kos, setelah itu jam 8 mau rapat ketemu temen-temen.”
“Oh yaudah. Hati-hati. Jangan lupa makan teratur”
“Siap bosku. Daah ibu. Assalamu’alaikum”, Nah menutup telpon sambil mengangkat tas nya dan beranjak dari tempat duduk.”
“Wa’alaikumsalam”

KESEMPATAN KEDUA (NAMANYA NAH) Where stories live. Discover now