SURAT

3 0 0
                                    

Dear Ucha..

Assalamu’alaikum
Gimana Cha? Tikus-tikusmu? Aku harap mereka ga menderita di tanganmu. Wkwkwk Aku hanya bisa berdoa, tikus-tikusmu masuk surga karena luar biasanya berkorban untuk segala percobannmu. Aamin. Udah lama ya kita gak ngobrol kayak dulu lagi.

Jahat banget aku yak kesannya, bukannya doain pak dokter tapi malah doain tikusnya. Haha. Ya aku yakin kamu baik-baik aja. Kalau pun kamu sakit, paling ya kalau gak maag paling flu. Penyakit mahasiswa tingkat akhir.

Aku nulis surat ini karena aku pengen cerita keresahanku belakangan ini. Aku tahu mungkin aku gak pantes bilang ini semua. Tapi apa boleh buat. Ini pilihanku, dari pada aku resah terus-terusan. Emmm. Udah lama ya kita gak ngobrol bareng lagi, lengkap ber 4. Dan sejak saat itu juga, aku mulai ada yang gak beres sama perasannku. Aku pun gak tahu apa namanya. Aku cenderung mengabaikannya. Btw kalau ngobrol di chat sama kamu, aku ngerasa percakapaan kita beku. Kalau pun ketemu, aku malah takut. Ga bisa lagi kayak dulu ngebully kamu sepuasnya. Misalnya lihat kamu di kampus, aku lebih memilih jalan lain, biar gak papasan sama kamu. Gitu. Makanya, kayaknya itu yang membuat kita jarang ketemu. Padahal gedung kuliah kita deketan. Cuma jeda satu gedung doang kan.

Hingga aku menyadari. Entah sejak kapan perasaan itu ada. Aku gak pernah tahu Cha. Mungkin sejak kita ketemu lalu bersahabat. Mungkin sejak kita naik gunung bersama. Atau sejak kita jadi tim di Mountain Lover. Aku gak pernah tahu. Aku kalut dalam perasaanku sendiri. Aku bingung memposisikan diriku, karena aku takut perasaanku membuat persahabatan kita bakal gak baik-baik aja. Dan nyatanya, ketakutanku jadi kenyataan. Ah.  Kayak penelitianku. Aku serasa ditampar saat baca bertumpuk-tumpuk literaturnya. Karena ketakutan membuat sendi, otot dan syaraf-syaraf manusia mengiyakan itu terjadi. Aku rasa tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Meski aku gak tahu sebenarnya perasaanmu bagaimana. Lewat surat ini aku hanya ingin mengatakan sejujurnya jika aku memang punya perasaan dan sudah lama kupendam. Kini aku gak bisa lagi berpura-pura di depanmu. 

Aku punya firasat aku akan pergi jauh entah ke mana. Rasanya begitu. Mungkin ke suatu tempat antah berantah yang sangat asing. Dan sebelum waktu itu tiba. Aku ingin menyampaikannya. Jikalau kamu sedang mencari-cari siapakah perempuan yang akan mendampingimu untuk menikmati sisa hidup. Aku ingin menawarkan diriku untuk mendampingimu, menjadi penggenapmu. Menjadi teman hidup. Mungkin aku tidak sempurna. Bukan perempuan lemah lembut, berparas cantik seperti yang kamu idamkan-idamkan. Jika hitam putih adalah warna pasti. Maka biarkan jawabanmu pun pasti. Hitam atau putih. Jangan kelabu. Jika hitam, maka biarlah ia hitam. Lalu kita bisa melanjutkan hidup masing-masing. Menjadi sahabat yang selalu mendukung satu sama lain. Dan tidak ada lagi perasaan yang tersisa di sana. Namun, jika itu putih, maka bagaimana hidup di depan. Apapun jawabanmu nantinya, semoga kita akan lewati hidup ini dengan gagah.

Karena takdir telah tertulis. Maka yang perlu kita lakukan adalah memilih dan memutuskan. Lalu apapun yang terjadi, itu lah yang terbaik. Semoga

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Your Friend
An-Nahla

Ucha menjatuhkan selembar kertas putih dengan tulisan panjang dari Nah ke lantai. Tangannya dingin, begitu juga kakinya. Angin dingin di musim kemarau menerobos celah-celah jendela kamarnya. Membuatnya semakin beku dan kedinginan. Sebuah pesan yang tak pernah ia duga akan sampai di tangannya. Sebuah pesan yang tak pernah ia kira datangnya. Pikirannya semrawut. Seperti ada film yang diputar di otaknya dengan sangat cepat. Bayangan masa lalu dan peristiwa-peristiwa yang ia lewati bersama Nah muncul kembali di ingatannya. Ucha kalut di gelapnya malam. Ia tidak tahu betul perasaanya, dirinya dan apa yang selama ini Nah simpan rapat-rapat darinya.

“Aku harus bagaimana?” gumamnya dalam hati.

KESEMPATAN KEDUA (NAMANYA NAH) Where stories live. Discover now