OKTOBER 2014

3 0 0
                                    

Di sebuah pulau antah berantah yang hanya berdiameter 0,7 km. Adalah pulau Matutuang, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Ia adalah pulau terluar Indonesia bagian utara. Letakknya lebih dekat ke Philipina dari dari pada ke Manado, ibukota provinsi. Hampir semua masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka sering sekali menangkap hiu, lalu menjual siripnya ke Philipina. Kebetulan hiu bukan ikan yang dilarang untuk ditangkap di Matutuang. Selain siripnya, para nelayan juga menjual sebagian dagingnya, dan sebagian lagi mereka konsumsi sendiri.

"Enci, Engku Al mo menikah. Enci Sasi pun sudah. Enci kapan?" ujar Satrio mengabarkan Pak Al mau menikah. Engku adalah kata lain dari pak guru dan enci adalah panggilan untuk bu guru. Pak Al dan Bu Sasi adalah relawan pengajar pendahulu Nah di pulau itu.
"Nanti, kalau sudah pulang ke Jawa. Kan ibu masih di sini sama kalian", Jawab Nah sambil menatap anak-anak muridnya yang sedang bersiap-siap berenang.
"Apa jangan-jangan enci tak mo menikah. Haha"
"AH HAHAHA"., tawa beberapa anak bersama-sama.
"Heee. Enci mo lai. Hahaha (ibu mau juga. hahaha)
"Cieeee. Menikah semua engku-engku dan enci-enci kitorang. Haha"
"Wkwkw. Sudah jo. Mari kitorang balompat su darmaga." (sudah. Ayo kita lompat ke dermaga)
"Byuur," Nah dan 5 muridnya menceburkan diri ke laut dan berenang senang di laut.

Riak-riak ombak pantai Matutuang menemani Nah dan murid-muridnya bersenang-senang sore itu. Deburan ombak sesekali membuat jeritan dan tawa anak-anak tidak terdengar, karena begitu kerasnya. Jika ombak datang, mereka menutup telinga supaya tidak kemasukan air. Hampir setiap hari mereka berenang di dermaga atau sekedar bermain di pantai sambil mengambil buah kepala.

Sudah dua bulan Nah berada di pulau Matutuang, tapi belum ada jawaban dari Ucha. Dua minggu lalu saat ia ke Tahuna, ibukota Kabupaten untuk mencari sinyal, ia menghubungi Alam untuk menanyakan perihal Ucha. Selain Alam sudah tahu tentang surat itu, selama Nah berada di pelosok, Alam lah yang jadi perantara antara mereka. Kebetulan di pulau Nah tidak ada sinyal. Jangankan sinyal Internet, sinyal biasa saja pun tak ada. Jika ada hal yang sangat mendesak, Nah butuh naik pohon untuk menggantungkan HP supaya mendapatkan sinyal.

Nah tak berharap banyak sekarang. Yang terpenting baginya adalah balasan Ucha. Agar asumsi-asumsinya selama ini terjawab dan tidak ada lagi prasangka. Tapi Nah tahu benar kenapa Ucha lama memberikan jawaban. Sudah 6 bulan sejak Nah memberikan pesan lewat surat itu. Memang cukup lama. Tapi Nah sadar, memang bukan sesuatu yang mudah. Bukan keputusan yang mudah dipilih dan diambil. Seperti Nah juga yang tidak mudah untuk memilih jalan itu. Memilih untuk mengatakan dan siap menghadapi jawaban apapun di depan. Sebenarnya Nah sudah ingin mengatakannya sejak lama, tapi kondisinya belum memungkinkan. Butuh bertahun-tahun ia memilih untuk menyampaikan maksudnya. Nah memamg berencana untuk mengatakannya ketika urusan skripsinya sudah selesai semua.
Angin sore semilir berhembus. Air laut semakin naik ke daratan.

Matahari mulai tergelincir di ufuk Barat. Hari mulai gelap. Tapi senja di matutuang memang tidak ada duanya. Membuat Nah tidak ingin beranjak pulang ke rumah piaranya. Senja terbaik yang pernah Nah lihat, selain senja di pantai-pantai Banda Aceh. Tapi tetap berbeda. Ada nuansa senja yang berbeda. Hening, sendu. Bahagia dan damai. Tanah timur yang sungguh permai dan subur. Anak-anak berlarian menuju jalanan kampung diikuti Nah di belakangnya. Ia sungguh bersyukur dapat berada di tempat seperti surga itu. Sesampainya di pekarangan rumah piara Nah, ada mamak sedang berada di halaman. Piara adalah sebutan keluarga angkat di penempatan Nah bertugas. Di tempat lain, mungkin sebutannya bisa saja berbeda.

"Enci, ada surat dari kantor pos," kata mamak piara Nah ketika ia baru saja sampai rumah "oh. Iya mamak. Kase bue mamak" (terima kasih mamak)
"Mamak letakkan di atas televisi."

Bergegas Nah masuk ke rumah dan menuju ke ruang tengah. Ia melihat amplop coklat di atas televisi. Ia langsung mengambilnya dan menuju ke kamar. Nah segera membersihkan dirinya karena waktu maghrib akan segera tiba. Ia akan membukanya nanti malam, usai makan malam. Pikirnya.

Di sebuah kamar 2x3 meter dengan dinding bambu, Nah terbaring di kasur yang tebalnya tak lebih dari 10 cm. Ia memandangi langit-langit kamar yang penuh dengan sarang laba-laba dan beberapa cicak yang mengejar semut-semut di atap. Nah meraih amplop coklat tadi sore dan segera membukanya

KESEMPATAN KEDUA (NAMANYA NAH) Where stories live. Discover now