BAB 3

15.4K 1.7K 33
                                    

"Wiih, Tante Diana keren abis." Felix, pemilik salah satu café and lounge di bilangan Kemang itu berdecak kagum. Tanpa memedulikan ekspresi muram di wajah pria yang duduk di depannya, ia memamerkan senyum secerah matahari, "Direbutin 30 cewek-cewek cantik? Beruntung banget nasib lo, Dan!"

"Beruntung 'pala lo!" Aydan langsung menyesal telah menceritakan masalahnya pada Felix, teman sejak kecil yang menurutnya somplak itu hampir mustahil diajak serius.

"Udahlah, nikmatin aja. Apa susahnya sih tinggal milih cewek doang? Kalau nanti akhirnya nggak cocok, ya putus. Gampang, 'kan?" seloroh Felix sambil memotong-motong tenderloin steak, menikmati makan malamnya tanpa beban.

Aydan mengeluarkan decakan kesal, tak berniat menanggapi ucapan yang sama sekali tak membantu itu.

"Keluarga lo punya saham di Soma 'kan?" ujar Felix kemudian, "Toh kalau rating TVnya bagus, lo ikut untung."

Itu mungkin salah satu alasan mengapa bukan hanya ibu, tapi juga ayahnya—Abimata Dirgantara, memaksanya berpartisipasi dalam TCO.

Belum selesai di situ kesialannya, tiba-tiba ponsel di saku Aydan bergetar sekali, menandakan ada pesan baru yang masuk. "Shit!" umpatnya begitu membaca e-mail dari PA-nya, Tantri.

"Kenapa lagi lo?" Felix bertanya sekenanya, seratus persen tetap fokus pada makanan di piringnya, "Ditagih utang?"

"Lusa gue ada jadwal ketemu sama orang Soma."

"Lusa?!" Felix sontak meletakkan garpu dan pisaunya. Matanya melebar, penuh minat, "Kapan mulai syuting?"

Aydan ingin sekali melempar gelas ke muka sahabat gilanya itu, "Kampret, gue lagi susah, lo malah happy!"

"Sorry, sorry, terus gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana. Mereka mau nunjukin kontrak, sama profile video para kontestan yang bakal ikut TCO." Aydan menusuk steak-nya ogah-ogahan. Nafsu makannya benar-benar sudah hilang setelah membaca pesan Tantri.

"Lo yang mau ikut perjodohan, kok gue yang deg-degan, ya?" Felix nyengir sambil mengelus-elus dadanya sendiri, "Eh, gue ikut dong. Penasaran kaya apa cewek-cewek yang bakal ngerebutin lo."

Aydan berpikir sejenak, sebelum memberikan anggukan setuju. Meski ia tahu Felix hanya ingin bermain-main, tapi setidaknya kehadiran Felix dapat sedikit membuatnya merasa nyaman di antara kru TV sialan itu.

***

"Gimana bisa?!" Sarah membentak Tasya yang ada di hadapannya. Kepanikan terjadi di Soma TV begitu si junior menerima sebuah panggilan telpon.

"I-iya, mbak. Manajernya Olivia barusan ngasih k-kabar." suara Tasya gemetaran, tak kuat menghadapi kemarahan produsernya, "Dia bilang Oliv terpaksa harus mundur dari TCO."

Sarah menggeram, antara frustrasi sekaligus putus asa. Suasana di ruangan itu benar-benar tegang. Olivia Wilson, artis muda terkenal yang telah ditetapkan sebagai salah satu partisipan TCO mendadak saja membawa kabar buruk bagi tim mereka.

Rapat insidental pun langsung dilakukan. Tak peduli meski sekarang sudah pukul delapan malam.

"Sya, bukannya lo bilang Oliv single? Gimana bisa tiba-tiba dia hamil sih? Jalan tiga bulan lagi." Tomi mengacak-acak rambut cepaknya dengan gerakan asal, tak kalah panik.

Tasya menelan ludah, merasa bersalah karena ialah yang pertama kali mengajukan nama Olivia, "Dia sudah putus dari mantannya tiga bulan lalu, mas. Kata manajernya, Oliv sendiri masih syok, baru tahu kemarin habis tes."

Sarah menekan-nekan pelipisnya dengan ujung jari. Dua hari lagi timnya memiliki janji temu dengan pihak Aydan. Bagaimanapun juga, ia harus mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini sebelum pertemuan mereka. "Kita harus dapat pengganti Oliv. Sekarang."

Perintah itu membuat seluruh anak buahnya terlonjak kaget.

"L-lo yakin, Sar?" Tomi akhirnya memberanikan diri bertanya, "Gimana kalau kita mundurin aja pertemuan dengan Dirgantara—"

"Nggak bisa, Tom." tolak Sarah tegas, "Gue nggak mau mempertaruhkan kredibilitas kita cuma gara-gara ini. Kalau first impression kita aja sudah cacat, ke depannya bakal sulit ngeyakinin Dirgantara buat kerjasama dengan kita. Gue nggak mau dia sampai berpikir tim kita nggak profesional."

Hening lagi. Kali ini benar-benar jalan buntu.

"Lo semua nggak ada yang punya ide?" Sarah mendesah letih.

"Nyari perempuan high profile dalam waktu sesingkat ini, dengan tambahan dia mau berpartisipasi di TCO... gue nggak tahu mau nyari di mana." Irwan, staf kreatif, bahkan sudah dalam tahap pasrah.

"Artis jelas nggak mungkin. Buat nyesuain schedule mereka sama kita aja nggak cukup satu dua hari." imbuh Tomi, berusaha memutar otaknya lebih keras, "Kita harus nyari profesi lain yang lebih fleksibel."

"Chef cantik yang lagi sering muncul di TV, siapa sih namanya... Jinan?" Irwan melihat rekan-rekannya, meminta persetujuan, "Kalau dia gimana?"

Tasya menggeleng lemas, "Udah punya pacar, mas."

"Hmm, kalau si lawyer muda, yang biasa ngurusin perceraian artis," staf lain memberi masukan, "Ayunda Yusuf?"

"No." Sarah langsung menolak, "Divorced."

Selama satu jam lebih, mereka terus mencari, namun tak ada satupun nama yang cocok. Ada yang akhirnya berhasil dihubungi, namun terpaksa menolak karena permasalahan jadwal. Sebagian besar kru sudah menyerah. Keterbatasan waktu menjadi halangan utama mereka.

Tasya nyaris tak melepaskan pandangan dari laptopnya. Ia terus mencari kandidat baru, sampai akhirnya ia bersorak, "Gue tahu!" matanya mendadak berbinar-binar. Ia segera menunjukkan layar laptopnya kepada Sarah.

"Apa?" Sarah cuma mengernyitkan kening, melihat foto ruangan yang dijadikan Tasya sebagai desktop wallpaper laptopnya.

"Ihh, mbak Sarah," rajuk Tasya, gemas dengan ekspresi linglung produsernya, "Masa nggak sadar sih ini desain siapa?" tak menunggu jawaban ia langsung menjentikkan jari, "Rayne Madaharsa! Dia orang yang cocok banget ngisi TCO. Kalau dilihat-lihat, kualitasnya mungkin lebih bagus dari pada Oliv."

Semua orang di ruangan itu langsung menahan napas.

"R-Rayne?" Sarah berbisik lirih, terlalu bingung untuk mengeluarkan reaksi.

Di saat ia masih speechless, staf di sekitarnya sudah bersorak gembira, bersahutan memberikan pujian pada Tasya.

"Pinter lo, Sya!" Irwan menepuk-nepuk pundak Tasya bangga, "Kebetulan banget dia sahabat bu produser. Jadi lebih gampang kita komunikasinya."

"Kalau gitu sudah ok, ya." melihat Sarah hanya diam, Tomi menganggapnya sebagai tanda setuju, "Terus kapan lo mau hubungin Rayne, Sar? Malam ini?"

Mati gue! adalah kalimat terakhir yang terlintas di pikiran Sarah.

***

TEASER for next chapter:

"Misi utama yang perlu lo lakukan adalah menjadi supernumerary character."

"Apaan tuh?"

"Di dunia pertunjukan, supernumerary adalah sebutan untuk karakter tambahan atau bahasa umumnya figuran. Biasanya muncul buat crowd scene gitu. Nyaris tanpa dialog, tanpa nama, dan nggak ada karakterisasi. Sama sekali nggak menonjol. Intinya, cuma buat ngeramein suasana doang."

A/N: Tunggu update berikutnya besok malam ya :)

The Supernumerary Project (TERBIT)Where stories live. Discover now