BAB 4

15.1K 1.8K 74
                                    

"Woi, Sar, istri gue mau lo bawa ke mana?" Leo menahan lengan kanan Gisel. Ekspresinya tampak sangat kesal.

"Yo, ini emergency." dengan tak sabaran Sarah menggeret Gisel dari ruang keluarga, "Udah deh, lo tidur sama guling aja malem ini."

"Nggak, nggak. Enak aja lo. Balikin istri gue!" Leo yang jauh lebih tinggi dari Sarah dengan mudah menghalangi wanita itu melangkah maju.

"Minggir, nggak? Gue aduin ke papa mama kalau lo sudah gangguin kerjaan gue!" ancam Sarah, tak mau melepaskan pegangan tangannya dari Gisel.

"Aduin aja!" tantang Leo tak mau kalah, "Gue juga bakal bilang ke papa mama kalau lo yang ngehalangin gue bikin cucu buat mereka."

Sarah merengut, menunjukkan raut jijik, "Bro before hoes, dude!"

"Terus gue hoe-nya gitu?"

"Nah itu lo tahu!"

Gisel yang semenjak tadi pasrah diseret ke sana-sini, akhirnya turun tangan. Jika dibiarkan, pertengkaran sepasang saudara kembar itu mungkin bisa berlangsung sampai subuh.

"Yoyo, kamu ngalah dong." Gisel mengusap-usap lengan Leo lembut—memanggil pria itu dengan nama kesayangannya, "Malam ini aja, ok? Sarah kasihan tuh, mukanya sampai kucel gitu."

Mendapati wajah memelas istrinya, Leo langsung luluh tanpa syarat. Dengan menghela napas berat, ia menarik Gisel kedalam pelukannya, "tapi cuma hari ini aja, ya. Besok pagi aku jemput kamu di rumah Rayne."

"Nggak usah drama deh lo. Dia bukan mau gue ajak perang." celetuk Sarah yang sudah berjalan lebih dulu, "Gue tunggu di mobil, Gis. Buruan."

"Dasar! Mama dulu ngidam apa sih bisa punya anak resek kaya dia?" gerutu Leo sambil mengantar Gisel menuju teras.

"Ngidamnya pasti sama kaya kamu lah, kan barengan keluarnya."

***

Gisel memijat-mijat dahinya begitu selesai mendengar penjelasan Sarah, "Terus lo mau gue gimana? Maksa Rayne ikut TCO?"

"Sorry, Gis. Gue sudah nggak bisa mikir lagi." Sarah melirik sekilas, sebelum kembali memerhatikan jalanan di depannya, "Lo satu-satunya orang selain ortunya yang dia dengerin."

"Siapa yang ngira becandaan gue waktu itu jadi kenyataan?" Gisel bertanya retoris.

Tidak sampai tiga puluh menit, mobil Sarah telah berhenti di depan lobi apartemen Rayne.

"Ready?" Sarah mematikan mesin mobil, menatap cemas ke arah wanita di sebelahnya.

Gisel mengedikkan bahu, terlalu gugup untuk menjawab. "Kalau sampai Ray ngamuk, gue kabur duluan."

Sepuluh menit kemudian, perkiraan Gisel pun menjadi kenyataan. Awalnya Rayne sempat terpingkal-pingkal, menganggap cerita Sarah sebagai lelucon basi. Namun ekspresinya berubah histeris begitu menyadari bahwa Sarah benar-benar serius.

"Nggak! Nggak!" Rayne tak mau menerima tawaran apapun. "Foto aja gue ogah, apalagi muncul di TV? Pokoknya nggak!"

"Cuma lo satu-satunya harapan gue, Ray." Sarah sampai memohon, sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan sebelumnya, "Lo boleh ngelakuin apapun di program gue. Mau lo-nya cuek, garang, terserah, anything you want. Semakin lo nunjukin nggak tertarik sama Aydan, gue yakin lo bakal cepat dieliminasi. Mungkin episode 2 atau 3 lo sudah out."

Rayne tak menanggapi. Ia hanya duduk sambil melipat kedua tangan di depan dada. Kedua matanya terpejam, seolah tak ingin melihat Sarah.

"Gis," Sarah berbisik pelan, memberi kode pada Gisel yang semenjak tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun. "Bantuin ngomong dong."

The Supernumerary Project (TERBIT)Where stories live. Discover now