Dua: Kenapa harus dirimu?

1.4K 190 28
                                    

"Papa!"

Sebuah hantaman cukup keras mendarat pada bagian atas tubuhnya. Memaksa Arthit yang semula sedang fokus berselancar kealam mimpi, mau tak mau tersadar. Matanya terasa berat, begitu pula pada sesuatu yang membuat berat area dada hingga perutnya. Bermaksud membuka mata, ia lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang membangunkannya dengan semanis ini.

"Papa, ayo bangun! Sekolah! Sekolah!"

Anak lelaki kesayangannya, duduk diatas perutnya--bergoyang-goyang membuat perutnya nyeri. Bocah dengan piyama bergambar matahari itu memasang raut lucu, mengerucutkan bibirnya.

Arthit merasa hidup. Seluruh kelelahannya mencari masa depan yang baik untuk malaikat kecilnya seolah lunas terbayar.

"Peluk papa dulu."

Arthit membawa tubuh kecil itu dalam pelukannya. Mengecup sayang pada sekujur wajah imut itu. Ah, kalau sudah begini rasanya ia enggan beranjak kemanapun. Cukup dengan memeluk bocah yang dijadikannya sebagai pelipur lara itu ia merasa dunianya sudah lengkap.

Sunny.

Dinamakannya begitu. Karena suatu hal, ia menjiplak makna namanya sendiri untuk diberikan pada anak semata wayangnya. Menginjak usia lima tahun, Sunny selalu manja padanya namun ia tetaplah anak yang dewasa. Salah satu bukti nyata, selalu Sunny yang berperan sebagai alarm baginya.
Kadang anak itu rewel, namun setelahnya selalu ada kesan manis yang muncul. Beberapa kecupan selalu sosok kecil itu berikan padanya sebagai ganti permintaan maaf karena sudah merepotkan papanya.

Sungguh manis.

Sama seperti saat ini.

"Sunny sayang papa."

Arthit tersenyum. Hatinya menghangat. Tak perlu sapaan pagi dari orang lain, jika ucapan sayang dari orang terkasih seperti Sunny selalu mampu menaikkan semangatnya sampai titik tertinggi.

Lalu Arthit tertawa sama manisnya dengan perkataan Sunny. Bangkit dari ranjang dengan si matahari kecil yang sengaja ia gendong.

"Mandi bersama papa na."

Sunny mengangguk. Memeluk leher papanya lebih erat.
.
.
.
"Limmy bilang kalau gambarku itu jelek. Padahal aku sudah menggambar matahari tersenyum diantara dua gunung."

Sunny berceloteh ria. Baru saja ia menyelesaikan sarapan, walau sederhana tapi Arthit boleh menyombongkan diri jika itu asli buatan tangannya. Berusaha keras sudah pasti, bocah sekecil Sunny memang butuh banyak nutrisi. Wajar saja jika Arthit berkali-kali lebih rewel ketibang apapun jika meyangkut hal itu.

"Lalu Daeng bilang kalau suaraku jelek. Padahal menurutku lagu twinkel twinkel little star itu bagus. Papa, mereka itu suka sekali mengejekku."

Bibir mencebik, dua alis bertaut tajam. Arthit yang semula sedang fokus memakaikan anaknya sepatu mau tak mau ikut tertawa. Ia bersyukur bisa menjadi tempat untuk Sunny mengadu. Setelah selesai mengikat tali sepatu anaknya, Arthit mengadahkan kepala. Memasang senyum terbaik, dan menggenggam erat dua tangan kecil itu.

"Coba lain kali Sunny menggambar rumah. Gambarlah rumah kita. Dan hmm-- gambar juga papa dan Sunny disana. Papa lihat dibuku gambarmu isinya gambar gunung semua."

Sunny berbinar. Mungkin ia merasa seperti mendapat inspirasi baru, atau memang watak anak kecil selalu mudah dialihkan.

"Nanti aku akan menggambar rumah!"

Arthit tersenyum lagi, mengecup lembut punggung tangan Sunny. "Lainkali Sunny bernyanyi lagu lain saja. Mungkin Daeng bosan mendengar twinkle twinkle little star."

Beside YouWhere stories live. Discover now