Tiga: Kenapa terasa aneh?

1.3K 169 37
                                    

Ingatkan Kongpob jika apa yang ia lakukan kini bersama Arthit semata-mata bukanlah kencan. Diluar nalar dan perkiraannya, Arthit merupakan pribadi yang hangat dan murah senyum. Bagaimana tiap reaksi pria itu selalu diiringi dengan lekungan yang memancing cekung dikedua pipi itu muncul. Kongpob yakin--jika kinerja otaknya masih dalam kendali. Entah nanti bagaimana selanjutnya--jika Arthit masih saja menjejalinya dengan senyum-senyum manis.

"Aku akan pesan pinkmilk. Khun Kongpob pesanlah sesukamu."

Wow. Apa semua manusia manis seperti Arthit menyukai minuman yang serasa dengannya? Dibawah meja Kongpob mengusap-usap telapak tangannya yang--entah kenapa mendadak basah.

"Aku pesan es kopi."

Kongpob melirik sekilas sosok dihadapannya setelah lebih dari 5 detik ucapannya tak ditanggapi. Mendapati sepasang mata bulat itu kini menatapnya, Kongpob yakin jika ada unsur sendu disana.

"Es kopi?"

"Ya. Ada apa?"

Arthit menggeleng, memamerkan senyumnya lagi. Ketukan kecil yang menyerang sudut hatinya membuatnya reflek menggigit pipi bagian dalamnya sendiri guna meredam rasa.

"Es kopi. Seperti kesukaan istriku."

Jackpot. Kongpob meringis, tentu saja ia sudah tahu jika Arthit pria beristri. Ia sepenuhnya tahu, begitu jelas terpampang melalui cincin perak yang tersemat dijari manis Arthit. Lalu kenapa ia jadi mempermasalahkan fakta itu.

Arthit memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya dan pesanan Kongpob. Setelah pelayan itu datang kembali dan menyajikan dua minuman berbeda warna itu, Arthit masih berpikir, mengapa Kongpob mulai enggan bersuara seperti tadi.

"Hm... berapa usiamu Khun Kongpob?"

Arthit segera buka suara setelah menemukan sebuah topik pembicaraan yang pas. Ia akui ini bukanlah bidangnya--memulai pembicaraan dengan pria yang menurutnya pendiam macam Kongpob.

"25. Bagaimana denganmu, Khun Arthit?"

Arthit menyesap minuman pinknya, mengusap sudut bibir bewarna senada itu menggunakan punggung tangannya. Kongpob yang notabene melihat--hanya bisa merutuki dalam hati.

"Aku 28. Mulai sekarang jangan panggil aku seformal itu."

Oh. Lihatlah bagaimana manusia berjenis kelamin lelaki ini terlihat begitu ramah? Kongpob lagi-lagi merutuk dalam hati bagaimana sosok yang tengah menjepit sedotan diantara dua belah daging merah muda itu berkata demikian sembari tersenyum.

'Aku harus memanggilmu apa? Manis?'

Hampir saja. Benar-benar hampir saja. Jika kalimat laknat itu sampai keluar dari mulutnya-- Kongpob benar-benar tak tahu harus bagaimana, terutama terhadap istri Arthit.

"Kau bisa memanggilku P' "
Sambungnya. Kongpob mencelos, tak pernah ia tahu jika panggilan umum macam P' bisa semenarik ini ia dengar. Amat sangat biasa cenderung membosankan apabila ia menyebut kata itu untuk kakak perempuan kandungnya yang beringas.

"P'Arthit..."

Oih. Bibirnya berkedut setelah iseng-iseng berkata demikian.
"Nah. Itu lebih baik. Kalau begitu, aku akan memanggilmu Kongpob saja."

'Berhenti memberiku senyum--atau selanjutnya aku benar-benar akan kehabisan nafas!'

Batin Kongpob menjerit. Sampai pada es kopi pesanan nya terhidang dimeja, Arthit masih saja menjejalinya seulas senyum. Bisa dipastikan kadar gula darah Kongpob naik selama kontrak kerjasama ini.

Lagipula ia masih saja penasaran, tentang apa yang terjadi. Terkhusus mengapa reaksi tubuhnya terasa aneh seperti ini. Ia yakin jika beberapa hari lalu--sebelum ia bertemu dengan Arthit-- seleranya masih sama.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Beside YouWhere stories live. Discover now