Chapter 5

683 118 80
                                    

[Name] terkejut menatap amplop di tangan, beberapa menit sebelumnya, ibu datang memberikan surat tersebut dengan wajah ceria.

"Lukas?" [Name] heran, rumah di pinggir kok pake surat-surat segala. Ya ampun, mana alamatnya lengkap pula.

Daripada pusing, [Name] segera duduk di pinggir kasur sambil membuka surat dari tetangganya itu.

Hai, [Name]. Bila kau mendapatkan surat ini, itu berarti aku sudah tiada ....

Bercanda ...

Maaf, pasti kau terkejut mendapatkan ini, tapi aku ingin mengundangmu untuk melihat kembang api nanti malam; sekitar jam 19.00. Apakah bisa? Aku harap bisa, sih, soalnya es krim yang waktu itu belum kau bayar.

Jadi, daripada uang, mari kemari nanti malam dan menyaksikan kembang api bersama-sama di rumahku!

[Name] menghela napas lelah, paragraf awal sudah membuat ia jantungan. Bukan mana mungkin, sih, hanya saja kemarin dia masih melihat Lukas menyiram lagi rumput-rumput.
[Name] mulai bertampang lelah saat ingat belum membayar es krim, padahal sudah sok-sokan bilang "Nanti bakal aku bayar, kok, Lukas."

"Ihh, maluuu!"

Untuk alasan itulah, [Name] mulai menyiapkan pakaian bagus.

•∆•

Lukas bengong di depan pintu saat melihat siapa yang datang ke rumahnya. Gadis cantik dengan dress biru tua yang sederhana. Malah, dibalik kesederhanaan gaun tersebut, wajah si gadis begitu cantik. Dipoles dengan make-up sederhana, tak begitu mencolok membuat wajah si gadis tampak menggemaskan.

Lukas sedikit menyembunyikan diri. "Em, mau ke siapa?"

Mendengar pertanyaan Lukas, gadis itu segera merespons dengan segenap kekecewaan. "Eeeh? Lu-Lukas! Ini aku, aku [Name]!"

"Eh?" Setelah tahu identitas sosok bidadari di depan pintu, Lukas tanpa ia sadari melebarkan pintu.

"A-apa jangan-jangan surat itu hanya iseng seseorang? Aaah, maaf, seharusnya aku tahu su-surat undangan semacam itu tak mungkin." [Name] teringat bagaimana senangnya ayah dan ibu saat tahu tetangga sebelah-yang merupakan pemuda mapan nan lajang-mengundang [Name] untuk melihat kembang api di rumahnya. "Maaf telah mengganggu!" [Name] tanpa melihat Lukas, segera berbalik hendak berlari dan mengubur diri di kamar.

"Tunggu!" Lukas segera menangkap tangan [Name] kemudian menarik gadis itu ke tempat semula. "Itu ... benar-benar undangan dariku, masuklah."

"E-eh?"

Lukas menuntun [Name] masuk ke rumahnya. Setelah pintu ditutup, barulah Lukas meminta maaf. "Ma-maaf, penampilanmu sangat ... menarik, jadi, aku tak mengira itu kau."

Apa itu pujian? [Name] hanya mengangguk sambil menunduk.

Uhh, tiba-tiba suasana di tengah mereka hening. Setelah peristiwa beberapa menit yang lalu, jelas membuat mereka masuk ke dalam kecanggungan. Entah sudah berapa menit masuk ke dalam keheningan, baik Lukas maupun [Name], belum ada yang memulai pembicaraan. Dan, seharusnya Lukas melakukan sesuatu, benar? Dia sendiri yang mengundang [Name].

Untung saja, suara letusan kembang apa di beberapa puluh meter ke depan terdengar. [Name] dan Lukas sepakat untuk memulai acara. Keduanya bergegas menaiki tangga. Lukas entah mengapa ingin menuntun [Name] sampai ke balkon, dan entah mengapa juga [Name] membiarkan hal itu terjadi-wajahnya memerah sekali.

Setelah berada di balkon, [Name] melupakan serangkaian kejadian canggung tadi, kemudian sangat antusias melihat kilauan warna serta aneka bentuk yang terpampang di langit.

Lukas pun berjalan santai ke samping [Name]. "Itu kembang api buatan Emil."

"Heh? Buatan adikmu? Cantik sekali!" [Name] sangat riang.

Lukas memandangi keceriaan [Name]. Lukas jadi ingat, bagaimana percakapan dengan Emil lima hari yang lalu:

"Emil ... menurutmu, aku harus menggunakan jasa seseorang dalam melakukan apa?"

"Hah? Kenapa harus tanya padaku?"

"Ini mengenai, [Name], karena sepertinya kita teman, aku pikir es krim waktu itu lebih bagus dibayar dengan jasa."

"Lukas ... kata-katamu itu sangat ambigu. Kau benar-benar akan dikira mesum jika [Name] tahu pemakaian katamu itu."

"Benarkah?"

"Kau terlalu banyak bermain dengan France."

"Aku tak bermain, dia berada di kantor yang sama, jadi mungkin ... aku terpengaruh?"

"Kalau begitu pindah kerja saja."

"Tenang, Emil, gosip di kantor mengatakan, sebentar lagi France akan dipecat gara-gara sering menggoda perempuan di tempat kerja."

"...."

"Jadi, Emil, apa kau punya ide?"

"Tunggu sebentar."

"...."

"Aku punya. Ta-tapi ... eng, kau harus peka!"

"Hah?"

Lukas kini tahu perkataan Emil yang terakhir. Di beberapa kembang api di hamparan gelap langit, terukir sebuah pesan dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh ia dan Emil. Kata-kata yang tersusun di langit, ialah:

Aku mendukungmu dengan [Name].

"Wahh, ada namaku di langit!" [Name] hanya paham rangkaian terakhir di langit. "Tapi, bahasa apa sebelumnya itu?" [Name] berpikiran rangkaian cantik sebelum namanya hanya hiasan.

"Itu ... katanya, salam kenal, [Name]. Adikku agak pemalu, jadi maafkan bila ia telat menyapamu." Lukas tersenyum kecil memahami makna dari kembang api buatan Emil.

[Name] tertawa mendengar penjelasan Lukas. "Lain kali, aku harus benar-benar bertemu dengan adikmu."

"Ya ... nanti kalau sempat, sekalian aku kenalkan pada keluargaku."

[Name] pun terdiam.

•∆•

".... Ta-tadi maksud Lukas pasti, bukan sesuatu seperti komitmen, ya kan?" -[Name].

"Aku harus segera menghubungi ayah dan ibu." -Lukas.

...

Bersambung...

A/n:

Ekhem, tersisa dua chapter lagi buat fanfik ini (/ω\)

Tetangga Baru (Lukas Bondevik)Where stories live. Discover now