Jobless

41.7K 4.2K 235
                                    

Pagi yang cerah dengan hati yang semrawut, kombinasi tepat yang mampu merusak hariku begitu terbangun dari tidur.

Mataku masih nanar memandang langit-langit kamar. Masih enggan untuk bangun karena menyadari sudah tidak ada lagi rutinitas pagi seperti hari-hari sebelumnya.

Aku tidak perlu lagi untuk segera mandi dan bersolek, tidak perlu bergegas turun untuk memanaskan mobil sambil sarapan di parkiran basement apartemen. Aku tidak perlu melakukan itu semua lagi karena per hari ini statusku adalah seorang pengangguran.

Aku mendengus kencang sembari menarik selimut sampai menutupi wajah, untuk kemudian menendang-nendang dengan kesal hingga posisi si selimut sekarang teronggok di lantai kamar.

Janda, tiga puluh tahun, dan pengangguran. Kombinasi tepat yang bisa dirangkum dengan satu kata : apes. Hidupku apes!!

Dengan semangat antara hidup dan mati, aku bangkit juga. Duduk di atas ranjang sejenak sambil mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

Jadi, kemarin kesabaranku untuk Randy, bosku, sudah habis. Selama ini, setelah dia tahu bahwa sekretarisnya, yaitu aku, adalah seorang janda, seringkali dia melecehkanku secara lisan. Aku maklumi karena aku butuh pekerjaan dan belum mendapatkan pekerjaan yang baru.

Tapi kejadian kemarin benar-benar sudah keterlaluan. Dia berusaha menyentuhku. Naik pitam, aku melepas sepatu hak tinggi yang kupakai dan menghajar wajahnya. Setelah kejadian itu, aku bergegas ke hrd untuk menyatakan pengunduran diri.

Dan inilah aku sekarang. Di apartemen, jobless. Nelangsa.

Kuhela napas panjang dengan berat, meraih ponsel di atas nakas dan bangkit dari atas ranjang. Dengan langkah yang kuseret-seret berjalan ke arah dapur, mengambil gelas di atas rak dan menuangkan air dari dispenser untuk kemudian kuminum habis dalam sekali teguk.

Lalu sekarang mau ngapain? Aku benar-benar kebingungan karena tidak ada yang bisa kukerjakan.

Akhirnya dengan enggan aku melangkah ke ruang depan, berbaring di atas sofa dan mulai mengutak-atik layar datar ponsel.

Yang ada di otakku saat ini adalah bagaimana cara membayar sewa apartemen bulan depan? Aku sama sekali tidak punya tabungan karena gaya hidupku yang lumayan tinggi dengan gaji yang tidak terlalu tinggi, dan sekarang mendadak tidak bergaji.

Sialan, Randy! Andai dia enggak coba-coba nyentuh aku, omongan-omongan joroknya masih bisa kutahan-tahan sampai aku dapat kerjaan baru. Tapi kalau sudah sentuh-sentuh, aku enggak terima. Aku enggak sehina itu. Mentang-mentang aku janda terus dia bisa seenaknya aja, gitu?

Hasil menjelajah internetku berhenti pada sebuah iklan lowongan pekerjaan.

Dengan cepat aku bangkit dari baring untuk meluruskan punggung. Menatap barisan kata yang sepertinya cocok dengan kriteriaku. Sekretaris untuk seorang direktur di sebuah perusahaan permainan online yang cukup besar. Usia di bawah tiga puluh lima tahun, berpenampilan menarik, berpengalaman dan single. Janda itu artinya juga single, kan?

Dengan bergegas aku bangkit dari duduk, berjalan dengan langkah lebar dan cepat ke dalam kamar untuk mengambil laptop. Tujuanku satu, kirim lamaran ke PT. Shem  Online Games yang terkenal itu, sambil baca doa biar lamaranku di terima. Aminnnn.

*******

"Kalau kamu lolos wawancara hari ini, kemungkinan wawancara selanjutnya adalah dengan pimpinan." Seorang perempian dengan blazer warna merah menjelaskan sambil menutup aplikasi lamaranku.

"Akan kami kabari lebih lanjut nanti. Kurang lebih, dua minggu dari sekarang. Semoga beruntung, Laya." Yang kali ini berbicara adalah yang rambutnya dicepol rapi.

Aku menggangukkan kepala lalu bangkit dari dudukku dengan percaya diri, menyalami dua orang perempuan yang baru saja selesai mewawancaraiku dan mengucapkan terima kasih.

Dengan langkah bak model aku melangkah ke luar ruangan, berhenti sejenak di balik pintu untuk mengatur napas dan menenangkan diri.

Sebenarnya, sama sekali tidak menyangka kalau ternyata aku bisa dipanggil untuk wawancara secepat ini di perusahaan yang baru dua hari lalu kukirimi surel lamaran pekerjaan.

Dan sesungguhnya, kepercayaan diriku yang selangit saat wawancara tadi berbanding terbalik dengan perasaan berdebar-debar di dalam hati.

Yang jadi masalah adalah aku yang sebenarnya tidak begitu akrab dengan yang namanya permainan online. Malahan sempat sebal setengah mati karena mantan suami yang tergila-gila permainan online sepuluh tahun lalu. Salah satu alasan aku minta cerai.

Syukurnya tidak ada pertanyaan tentang permainan online apa yang sedang hits saat ini. Atau permainan online apa yang menjadi kesukaanku, karena enggak ada yang aku suka.

Untung semua pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan normal tentang pengalaman dan kebisaanku bekerja sebagai sekretaris.

Tuhan memang adil. Aku percaya ini adalah rezeki janda yang teraniaya.

Lift di hadapanku berdenting, dengan bergegas aku masuk untuk turun.

*******

Langkahku agak terhalang karena rok sepan ketat sebawah lutut yang kugunakan. Tapi langkah tetap kupaksakan sampai ke halte di depan gedung.

Aku merutuk sendiri, mengapa tadi aku tidak membawa sandal dari apartemen? Jadi bisa kukenakan setelah wawancara. Sepatu hak tinggi ini terasa menyiksa ketika diajak berjalan di atas aspal dengan permukaan yang tidak semuanya mulus.

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam setengah sebelas siang, tapi matahari sudah lumayan terik. Aku menoleh ke tengah halte yang lumayan ramai. Tapi sepertinya masih ada ruang untuk bisa sedikit selip-selip di tengah, supaya aku bisa berteduh di bawah atap.

Aksi selip-selipku berhasil. Posisiku sekarang tidak lagi terpapar langsung oleh sinar matahari. Kubetulkan letak tas yang sejak tadi kusangga di pundak. Dengan karet rambut yang sejak tadi melingkar di pergelangan tangan, kuikat naik keseluruhan rambut agar leher belakangku terasa sedikit adem.

Aku menoleh terus ke arah kanan, berharap bus yang akan kutumpangi bisa segera datang. Tadinya mau naik taksi online, tapi sayang uangnya. Bedanya lumayan dengan ongkos naik bus. Harus hemat kalau pengangguran, mobil saja tidak kubawa demi menghemat uang beli bensin.

Seperti yang kubilang, aku tidak punya tabungan. Kalau mentok paling nanti jual aset. Asetku ya cuma satu, mobil. Ampun!

Tidak lama dari kejauhan terlihat sebuah bus yang warna oranyenya mencolok mata. Aku langsung bersiap-siap. Itu adalah bus yang akan kunaiki.

Bus berhenti tepat di depan halte. Kerumunan manusia di sekitarku mulai bergerak maju untuk berebut naik.

Sama seperti mereka, aku juga bergerak maju. Tapi langkahku terhenti ketika seseorang menarik lenganku hingga mau tidak mau aku mundur menjauh. Mulutku hanya bisa terngaga ketika melihat si bus oranye langsung tancap gas, padahal aku tidak berhasil naik.

Sial! Siapa yang narik-narik?!

Dengan marah aku berbalik. Tapi amarah di ujung lidah langsung tertelan kembali ketika melihat siapa yang berdiri di depanku dengan senyum super lebar.

Aku berkedip beberapa kali demi meyakinkan diri. Pria necis dengan setelan berwarna abu itu menyimpan kedua tangannya di saku celana, menatapku dengan mata berbinar-binar dan senyum yang menawan.

"Apa kabar, Janda Bram Herawan?" sapanya  membuat hatiku berdesar.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now