Kecewa

30.8K 3.8K 206
                                    

Langkahku lebar-lebar mengikuti Bram yang berjalan super cepat di depanku. Kardigan berwarna abu yang kupakai, kutarik rapat menutup dada karena udara yang cukup dingin.

Kami berjalan menyusuri taman di lingkungan apartemen yang--tumbennya--sepi malam ini, untuk mencapai menara apartemen Bram. Tadinya Ruri mau ikut, tapi kucegah. Berjaga-jaga kalau Aria muncul di unit apartemenku.

Mataku menatap sekeliling, mencari-cari siapa tahu Aria ada di suatu sudut. Tapi nihil.

"Cepat-cemat amat, sih!" keluhku lalu setengah berlari untuk meraih lengan Bram.

Bram sama sekali tidak menghentikan langkah. Dia terus berjalan dan aku terengah mengikuti langkahnya sambil mencengkram lengan.

"Sakit, Laya ...," gerutunya sembari menepis tanganku, lalu diraihnya lagi untuk kemudian di genggam.

Aku terhenyak, terus mengikuti langkah Bram sambil menatap tanganku yang digenggam.

Kalau kemarin dia aku tonjok, sekarang aku apakan enaknya?

Keningku berkerut, mataku tidak lepas dari genggaman, dan kakiku terseret-seret mengikuti langkah Bram.

Tepat ketika kami nyaris mencapai teras menara apartemen, mataku menangkap sesosok kecil yang berjongkok di sisi mini market, tempat biasa aku membeli kopi. Lokasinya memang tidak jauh dari menara apartemen di mana unit Bram berada.

Serta merta kuhentikan langkah. Bram menarik tanganku namun kutahan.

"Kenapa, sih?" sungutnya sambil menoleh ke arahku.

Aku menatap Bram sembari meletakkan telunjuk yang bebas ke atas bibir. Bram mengernyit. Tapi ketika aku menggunakan telunjuk yang sama untuk menunjuk sosok kecil yang berjongkok sambil memeluk kedua kaki, Bram menghela napas lega. Pandangan cemasnya segera mencair, berganti dengan pandangan penuh luka.

*******

Aku menatap Bram yang memeluk Aria dalam dekapan sepanjang jalan menuju unit apartemen mereka.

Bukan hanya Bram, akupun merasa terluka melihat Aria yang seperti tadi. Ketika kutanya kenapa dia meninggalkan apartemen, dia jawab, "nunggu Mami."

Nyesss rasanya. Siapa yang enggak sedih dengarnya?

Ketika aku mengalihkan pandangan ke arah Aria, dia sedang menatapku dengan pandangan sedih dan wajah muram, aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman yang kurasa terlihat aneh. Soalnya, aku enggak sanggup tersenyum lagi sejak dengar alasannya meninggalkan apartemen.

Lalu Aria menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Bram.

Aku menghela napas. Sepertinya akan kupaksa Bram menceritakan kebenaran tentang Amira pada Aria supaya kejadian seperti ini tidak terus berulang.

*******

Aria berada di kamarnya dan tidak mengizinkan ayahnya maupun aku masuk. Memang tidak dikunci, tapi setiap kali aku dan Bram mencoba membujuknya dia akan membenamkan wajah ke dalam selimut dan mulai merengek.

Jadi, kami putuskan untuk tidak mengganggunya dulu.

Berdiam diri berdua di balkon apartemen Bram, aku mendudukan diri di sebuah kursi rotan nyaman yang berada di sana. Bram sendiri bersandar pada pagar pembatas dan sepertinya sedang menatapku dengan secangkir teh panas di tangannya. Tidak tahu juga, sih. Aku enggan menatap ke arahnya. Satu-satunya alasanku untuk tetap tinggal adalah Aria. Aku harus memastikan kalau dia sudah baik-baik saja.

"Kamu khawatir sama Aria?" Bram memecah keheningan, sementara aku yang sedang menghitung bintang, terpaksa menghentikan kegiatanku karena pertanyaannya membuatku lupa sudah berapa banyak yang kuhitung.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang