Peka

31.4K 4K 125
                                    

Maaf?

Aku segera merunduk, mengambil salah satu sepatu yang tercecer dan melemparnya ke arah Bram dengan sepenuh hati.

Bram tersentak, tapi bisa menghindar.

Kesal. Aku menunduk lagi, mengambil sepatuku yang lain dan kembali melemparnya ke arah Bram.

"Gila! Dasar gila!!" jeritku.

Bram menunduk, dan sepatu terlempar membentur pintu, lalu terserak begitu saja ke lantai.

"Laya! Kamu kenapa, sih?!" paniknya yang terlihat berjongkok sambil merunduk melindungi kepala dengan ke dua telapak tangan.

"Dengar ya, Bram,"--Aku menatapnya sangar--"aku enggak mau es krim dari kamu!" hentakku sambil menunjuk plastik es krim yang saat ini sudah tercecer di lantai.

"Kalau enggak mau ya udah. Enggak usah lempar-lempar sepatu," ringisnya sambil bangkit berdiri dan memungut plastik es krim untuk kemudian membuangnya ke dalam kotak sampah di dekat pintu. "Beres!"

Setelahnya dia langsung melenggang dan duduk di atas sofa tanpa izin. Menopang salah satu kaki dengan kaki yang lain dan menatapku dengan wajah merengut.

"Kalau tadi sepatunya kena kepala, bisa-bisa aku harus langsung ke UGD," keluhnya.

Aku menghela napas berat. Heran mengapa Bram bisa berubah sebegitu drastis, kecuali ketidak pekaannya.

Akhirnya dari pada buang-buang energi, aku ikut duduk di sofa, di seberangnya. Menatap Bram dengan lelah. Aku benar-benar lelah secara fisik dan mental.

"Jadi kamu mau apa?" Suaraku benar-benar rendah sekarang.

"Aku mau merayu kamu," jawabnya dengan senyum mengembang yang malah membuatku semakin kecut.

"Ngerayu apa lagi? Hubungan kita sudah kelar sejak sepuluh tahun lalu. Enggak usah rayu-rayu lagi," kataku sedikit jengkel.

"Aku enggak minta kita balikan lagi, kok!" Wajahnya berkerut, terlihat tidak suka dengan apa yang barusan dia dengar.

Kuangkat kedua tangan tanda menyerah. Menyerahkan hak bicara penuh pada Bram agar semua cepat selesai.

"Kamu gagal di interview tadi pagi, kan?" tebaknya dengan cengir lebar.

Kedua alisku segera bertaut. Kok Bram bisa tahu?

Bram tertawa singkat sebelum kembali berkata, "Irwan itu salah satu rekan bisnisku. Tadi dia curhat di telepon ada salah satu kandidat yang bikin dia naik darah. Dan itu kamu."

Aku terkejut bukan main. Tidak menyangka kalau kejadian tadi pagi bisa sampai ke Bram dengan begitu cepat. Dan lagi-lagi, semua berputar-putar saja seperti sebuah pusaran air yang berujung pada Bram. Dunia sempit. Tapi duniaku terlalu sempit dan semakin sempit belakangan ini.

"Mengapa kamu pergi ke tempat lain saat aku sudah menawarkan tempat untukmu?" Bram merendahkan suaranya.

Aku mendengkus. Memijat-mijat kening yang tiba-tiba terasa pening.

"Kamu malu sama aku?"

Pertanyaan Bram yang satu ini sontak membuat pijatanku berhenti. Emosi yang sejak tadi kutahan-tahan terbakar kembali.

"Malu kenapa?" sinisku kencang sembari menggertakkan gigi. "Karena kamu menikah, punya anak dan sukses sementara aku gini-gini aja?"

Bram mengedipkan matanya berkali-kali. "Apa benar begitu?" tanyanya tanpa rasa berdosa membuatku semakin geram.

"Sudah-sudah!" Aku benar-benar lelah sekarang. Dengan menghentakkan kaki aku bangun dari dudukku dan berjalan ke arah pintu.

Kugerakkan jari telunjuk agar Bram turut berdiri mengikutiku. Dan dia patuh.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now