Gengsi

32.9K 4.1K 242
                                    

"Oh, jadi kamu sebelumnya juga sekretaris direksi?" Bram bertanya sambil membuka lembaran aplikasi lamaranku.

Aku duduk di depannya dengan gelisah. Aku memang butuh pekerjaan, tapi jika kemungkinannya aku akan menjadi sekretarisnya Bram ... hati kecilku--hati besarku juga--langsung berdemo. Ini seperti sebuah penghinaan.

"Laya?"

Bram menengadah dari berkas di tangannya, menatapku menunggu dengan seksama.

"I-iya," gagapku saking tidak nyamannya.

Ya Tuhan, aku mau cepat ke luar dari sini. Ini terasa seperti sebuah penyiksaan bagiku. Entah mengapa menatap Bram dalam posisi ini membuatku seperti seorang tersangka. Padahal binar jail di matanya sudah hilang sama sekali. Dia terlihat profesional sekarang. Tapi demi apapun, aku merasa tertekan.

Bram kembali menundukkan kepala. Lalu aku melihat keningnya berkerut.

"Ada yang aneh di aplikasi lamaran kamu ini," katanya dengan serius.

Aku mematung. Apa yang aneh? Kayaknya semu yang aku cantumkan di sana semua sesuatu yang normal.

"Aku kenal kamu banget, Laya. Dan aku enggak ngerti kenapa kamu nulis kebohongan di aplikasi lamaran kamu ini." Bram mengangkat kepala dan meletakkan berkasku ke atas meja.

Aku terkesiap. Apa kebohongan yang aku tulis? 

"Ini." Bram menunjuk berkasku, tapi aku enggak mau repot-repot melihat karena jantungku saja sekarang rasanya sudah mau copot. Aku seperti seorang pelaku kriminal yang tertangkap basah oleh mantan sendiri. Iyuhhh ... ini lebih dari sekadar memalukan.

"Kamu tulis di sini lajang. Kamu tau enggak bedanya divorce dan lajang?" katanya lagi.

Aku terpana. Rasa tegangku berangsur pergi, beralih dengan rasa kesal dan emosi. Ini sudah tidak bisa di tolelir lagi.

Dengan segenap harga diri yang kupunya, aku bangkit dari duduk. Mencangklongkan tas ke bahu dan menatap Bram dengan bengis. Yang di tatap jadi ikut-ikutan berdiri dan menatapku serba salah.

"Terima kasih atas kesempatannya, Bapak Bram Herawan," kataku dengan berwibawa. "Tapi saya rasa, saya sudah tidak tertarik lagi dengan pekerjaan ini. Terima kasih banyak," tutupku sambil membalik tubuh, melangkah ke arah pintu dengan tergesa, meninggalkan Bram yang terlihat takjub akan sikapku.

"Laya ... Laya ... Laya ...." Tiba-tiba saja lenganku ditarik lagi. Sekarang tanpa perlu berputar balik pun aku tahu siapa yang narik. Hanya ada aku dan si mantan di ruangan ini.

Aku menghentak lengan, menolak untuk di pegang. 

"Apa aku nyinggung kamu?" tanyanya.

Rasanya aku mau pites ini orang. Tapi bukannya mites, aku malah menggelengkan kepala tanpa mau berbalik. Bram menghela napas dan melepas genggaman dari lenganku.

"Aku enggak bermaksud begitu," pelannya. "Kita professional saja,"--sambungnya--"aku suka dengan aplikasi lamaran kamu, ini di luar dari konteks kita sudah lama saling mengenal. Kamu butuh pekerjaan, dan aku butuh kamu untuk mengisi posisi sekretaris. Bagaimana?"

Aku menahan napas, menahan agar bulir air mata tidak jatuh dan membuat malu. Aku sedang benar-benar disiksa sekarang. Disiksa dengan omongan sok profesionalnya yang jelas-jelas merupakan penghinaan buatku.

Aku rasa aku enggak perlu jawab pertanyaannya. Langkahku tegas melangkah ke luar ruangan. Mengabaikan panggilan Bram sekali lagi di belakangku. 

Aku terlalu malu untuk berbalik dan menyahutnya. 

*******

Kopi pahit sepahit moodku saat ini. Duduk sendirian di taman, tapi kali ini bukan taman di apartemen, melainkan taman di tengah kota. Duduk sendirian di bawah teriknya matahari tengah hari. Masih berpakaian lengkap ala kantoran, outfit tadi saat wawancara. Aku seperti orang tolol.

Kusesap kopi dan meringis sendiri akibat dari rasa panasnya kopi yang kuramu tanpa gula hasil beli dari mini market dekat gedung perkantoran tadi. Sialnya nasibmu, Laya. Sial.  

Syukurnya karena panas yang sangat siang ini, hanya aku yang berani duduk beratap langit. Taman kota sepi sekali sekarang ini. 

Sesungguhnya perasaanku berkecamuk. Harga diriku luluh lantak hanya karena sebuah aplikasi lamaran kerja yang nyasar ke perusahaan mantan suami. 

Aku menunduk menatap gelas plastik yang kurengkuh dengan kedua telapak tangan. Dan sebulir cairan bening menetes begitu saja ke dalam gelas, bercampur dengan pekatnya kopi. Bahuku mulai bergetar, dan isakku mulai terdengar tanpa mau kutahan. 

Ya Gusti, aku malu sangat. Aku benar-benar malu sampai rasanya mau menghilang saja. Ya Gusti, pintaku saat ini, bisa enggak Engkau singkirkan kebetulan-kebetulan yang mengharuskanku bersinggungan dengan Bram lagi? Kalau Engkau enggak mau dan mau bercanda dengan keadaanku yang sudah terlanjur menyedihkan ini, seenggaknya biarkan aku dapat pekerjaan di tempat lain dengan segera. Atau kasih aku pasangan CEO tajir, asal bukan Bram. Supaya kalau aku ketemu Bram lagi dikebetulan selanjutnya, aku enggak perlu malu-malu amat.

*******

Aku menatap cermin di kamar mandi apartemen. Kedua mataku benar-benar sembab, bengkak. Aku benar-benar meluapkan persaaan di taman kota tadi. Mungkin sekitar satu setengah jam aku menangis, baru setelahnya menyetir pulang.

Aku membuka keran pancuran, membiarkan kepala dan tubuh telanjangku basah dengan air dingin. Supaya otakku juga dingin. Hatiku juga sekalian.

Harapanku sekarang adalah tiga aplikasi lamaran yang baru kukirimkan semalam. Untuk lamaran yang di Shem Online Games, kunyatakan gagal. Meski Bram bilang dia membutuhkanku untuk posisi itu, gengsiku lebih tinggi dari pada kebutuhan mencari pekerjaan. Kalau kelamaan, paling-paling aku bakal gadai BPKB mobil, terus pindah dari apartemen ke kos-kosan. Atau sekalian pulang kampung saja? 

Setelah membungkus tubuh dan kepala dengan handuk, aku beranjak ke luar kamar mandi. Nyaris berbelok ke dalam kamar ketika suara bel di pintu terdengar.

Sebaiknya pakai baju dulu baru buka pintu. Aku nyaris melangkah lagi, ketika bel kembali berbunyi. Kali ini dua kali berturut-turut.

Mendesakkah? Siapa? Ruri? Enggak mungkin. Ruri seharusnya masih bekerja sesore ini.

Dengan kening berkerut aku berjalan ke arah pintu, masih mengenakan handuk. Aku bisa intip dulu dari lubang intip di pintu, dan meminta siapapun yang di luar sana menunggu sampai aku selesai berpakaian.

Aku mendekatkan mata pada lubang intip, bersamaan dengan yang bel ditekan lagi. Kali ini tiga kali berturut-turut seakan tidak sabaran. Mataku menyipit, bingung karena tidak dapat melihat siapa pun di balik pintu. Tapi toh belnya sudah tidak berbunyi lagi. Mungkin bukan sesuatu yang penting. Jadi aku memutar tubuh hendak kembali ke kamar.

Baru tiga langkah, bel berbunyi lagi. Kali ini aku enggak sempat hitung berapa kali karena rentetannya sudah seperti orang kesetanan. Dengan sebal aku berbalik, dan tanpa intip-intip langsung membuka pintu dengan kesal. Siapa yang berani main-main dengan orang yang lagi bad mood?

Pintu terbuka lebar. Aku tidak menangkap sosok siapapun yang sejajar dengan mataku.

"Ante Laya ...," suara kecil membuatku menunduk.

Aku terperangah. Aria menatapku dengan kedip-kedip takjub, sementara tangannya memegang plastik es krim rasa cokelat vanilla.

"Aria?" sapaku terkejut.

Dan tambah terkejut ketika mendengar bisik-bisik di balik tembok sisi pintu, "Tantenya enggak kenapa-napa, kan, Sayang? Tanya kenapa lama buka pintunya."

Bram.

Aria menggeleng, masih menatapku dengan takjub.

Aku menunduk. Astaga! Tubuhku masih berbalut handuk. 

"Antenya cekcih, Papi ...," sahut Aria dengan senyum melebar. Ear to ear.

O my God!

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now