Mood

26.6K 3.3K 229
                                    

Jadi tadi itu Amira, istrinya Bram. Cantik, mana tinggi lagi. Jangan bandingkan dengan aku. Enggak apple to apple, alias enggak imbang.

"Kenapa bengong?!" Ruri berseru tepat di telinga, membuat aku yang sedang mengangkat kardus berisi barang-barang, terlonjak karena terkejut. Untungnya kardus tidak terlepas, kalau tidak bakal jadi pe-er mungutin barang.

"Kenapa harus teriak, sih?" kesalku tidak terima.

Ruri nyengir, gigi-giginya yang rapi terlihat di balik cengirnya.

"Pintu liftnya sudah terbuka, Laya sayang ...," sahutnya sambil berjalan maju, mendahuluiku ke luar dari lift, menuju lobi apartemen. Aku mengikuti dari belakang masih dengan perasaan dongkol.

Ruri menambah cutinya hari ini, karena kami memutuskan untuk menyicil memindahkan beberapa barangku dari apartemen ke kos yang akan kami tempati per minggu depan.

Ada beberapa kotak kardus yang sudah kami angkat sebelumnya, menumpuk di sisi meja resepsionis. Jumlahnya lima dus ukuran sedang, tidak termasuk yang aku dan Ruri pegang saat ini. Jadi totalnya, tujuh kardus.

Karena sudah tidak memiliki kendaraan lagi, maka aku memesan taksi online. Namun ketika si taksi datang, aku dan Ruri malah saling pandang. Masalahnya yang muncul adalah city car yang jelas ukurannya kecil, tidak imbang dengan banyaknya barang yang akan kami bawa. Padahal jelas-jelas tadi aku lihat di aplikasi dapetnya jenis MPV.

"Pak, mobilnya kok beda?" tanyaku masih dengan kardus di tangan, ketika si pengemudi menurunkan jendela dan melongok ke arah kami.

"Lagi di servis, Mbak," sahutnya dengan wajah meringis.

"Yah bagasinya enggak muat dong, Pak!" keluhku sambil melirik ke arah jejeran kardus.

"Cancel aja, Pak!" Ruri menyahut di sampingku. Dia kayaknya juga jengkel.

Si supir ngedumel, tapi ya mau bagaimana lagi? Barang kami enggak akan muat.

"Mau dianterin?" Sebuah suara yang begitu akrab belakangan di telinga, terdengar dari balik punggung.

Aku dan Ruri sama-sama berbalik. Di sana Bram berdiri berdampingan dengan si cantik Amira yang terlihat mendekap Aria di pelukan. Aria tersenyum lebar menatapku. Seperti biasa binar-binar di matanya membuatku gemas. Detik itu juga aku menyadari bahwa wajah Aria benar-benar mirip dengan ibunya.

Amira terlihat memukau menggunakan gaun tanpa lengan berwarna biru muda sebatas betis. Rambut kecokelatannya tergerai bebas dengan poni menutup kening. Dia bak seorang model. Ditambah dengan Aria yang terlihat nyaman dalam dekapannya, Amira terlihat begitu sempurna.

Tampan, cantik dan lucu. Mereka cocok. Jangan bandingkan denganku!

Dasar Bram kurang ajar, bisa-bisanya dia berguyon dengan memintaku kembali kepadanya disaat Amira masih ada, sehat, dan hidup.

Brengsek! Leluconnya semakin lama semakin enggak lucu. Hatiku jadi geram sendiri mengingat bagaimana Bram bercanda dengan perasaanku. Untungnya aku enggak mau sama dia. Fiuhhh.

Tiba-tiba lenganku disenggol, lalu suara Ruri terdengar jelas di telinga.

"Mau enggak dianterin sama Bram?" bisiknya.

Aku segera memicingkan mata. Jawabanku sudah jelas, aku enggak mau dipermainkan lagi.

"Enggak usah!" ketusku.

Bram menghela napas, Ruri juga. Amira justru mengernyitkan kening.

"Temennya Bram, ya? Yang tadi pagi di kolam, kan?" tanya Amira ke arahku dengan suara super ramah.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitWhere stories live. Discover now