3. Lee Jeno

8.2K 1.4K 137
                                    

Rumah adalah tempat dimana kita akan menemukan kasih sayang, cinta, dukungan, dan kehangatan. Definisi ini menurut opini sebagian. Sisanya mungkin malah menganggap rumah adalah tempat yang paling mereka hindari, atau bahkan ada beberapa yang tidak memiliki rumah. Bukan secara materialㅡbukan artinya mereka gelandangan. Mungkin ada masalah besar di dalam rumah tangga yang tidak dapat dihapus dari memoar. Sehingga rumah dianggap sebagai pembawa nasib buruk, dan eksistensinya lambat laun akan dilupakan.

Tidak semua orang dewasa bijak. Ya, Jaemin menyetujui pernyataan itu. Ibunya adalah orang dewasa, ditambah sudah menyabet gelar orangtua malahan. Tetapi pikirannya belum terbuka, belum bijak sama sekali. Meninggalkan ayah Jaemin demi seorang pria kaya? Yang benar saja? Apakah ibunya mengira kehidupan pernikahan itu semudah membalik telapak tangan? Tak bisa lihatkah dia betapa baik dan tulusnya ayah Jaemin?

Jaemin sering kali terkekeh sendiri ketika memikirkan itu. Kebaikan dikalahkan oleh uang, eh?

__

Tidak ada definisi rumah dalam kamus Jeno.

Dia punya rumah, punya keluarga, sedang ketidakpunyaannya adalah kasih sayang yang cukup. Perihal pernyataan, 'anak tunggal lebih disayang' adalah sebuah omong kosong besar baginya. Disayang? Jeno menyarankan, mungkin kata disiksa jauh lebih pantas untuk menggambarkan kehidupannya yang menyedihkan. Selalu dipilihkan, dipaksakan, dan digempur terus-terusan. Jeno akan dihabisi jika kesempurnaannya tidak mencapai standar orangtua. Gila? Yah, manusia zaman sekarang mana ada yang tidak gila?

Jeno merupakan budak mereka dulu. Kendali penuh dibawah orangtua. Kebebasan tidak pernah didapatnya, jiwanya terkurung dalam sebuah sangkar dan haus akan udara segar diluar. Dan untuk saat ini, mungkin Jeno harus banyak berterimakasih pada sisi gelap di dalam dirinya. Setan kecil itu terpelihara sejak dulu, tetapi tidak tersentuh. Hingga pada saat Jeno merasa punggungnya remuk menanggung beban, kepalanya ingin meledak, jiwanya menyerah untuk meneruskan hidupㅡdia pun memberontak.

Jeno yang kalian lihat sekarang, adalah Jeno hasil campur tangan setan kecil itu. Berterimakasihlah.

"Jaemin!"

Si pemilik nama buru-buru menarik lagi lengan sweater yang sempat tersingkap oleh ulahnya sendiri. Dia kemudian membalik badan, dilihatnya seorang pemuda yang sebaya sedang berlari kecil ke arahnya. Jaemin menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan ukiran senyum tipis di wajah.

"Eric, sudah kerjakan pekerjaan rumahmu?"

"Aih, Jaemin," keningnya berkerut. "Aku bahkan tidak membuka tasku sama sekali kecuali tadi pagiㅡhanya untuk membereskan buku sesuai jadwal hari ini."

"Tidak tidur karena bermain lagi?" Eric mengangguk antusias setelahnya.

Namanya Eric Son, teman sekelas Jaemin sejak kelas sepuluh, yang berakhir menjadi teman dekat di kelas sebelas. Hobinya bermain gim, dan keahliannya adalah bisa terjaga seharian tanpa merasa mengantuk. Tapi ingat, hanya seharian alias dua puluh empat jam. Lebih dari ituㅡtidak mungkin, karena Eric kalau sudah lelah pasti tidak tahu tempat. Dia bahkan pernah hampir tertidur di bawah guyuran shower kalau saja Jaemin tidak menggedor pintu kamar mandinya, protes kenapa Eric mandi lama sekali. Nilai akademiknya lumayan, tidak sangat bagus, tapi tidak juga jelek. Ada kalanya juga dia kesulitan pada materi yang terlalu sulit.

"Omong-omong, kau dengar beritanya tidak?"

Jaemin menggeleng, "tidak dengar dan tidak ingin dengar."

Eric sudah biasa disarkasi seperti itu, "ada murid baru di sekolah kita."

"Oh." Tangan Jaemin yang sedang menyimpan baju olahraga di loker sempat berhenti ketika Eric berujar demikian. "Begitukah?"

Eric spontan melongo, "reaksimu cuma begitu?"

"Lantas, aku harus bereaksi seperti apa?" Jaemin menutup pintu loker dan menguncinya.

"Ah, kau begini karena kau belum dengar yang selanjutnya."

"Memangnya apa kelanjutannya?" Jaemin diam-diam merotasikan sepasang bola matanya dengan malas.

Eric tiba-tiba menarik Jaemin hingga pemuda itu menghentikan langkahnya sendiri. Bibirnya didekatkan pada telinga Jaemin. Suaranya lebih kecil dari intonasi normalnya.

"Dia itu seorang psikopat."

Pasca Eric berbisik mengenai anak baru yang katanya seorang psikopat itu, Jaemin tak dapat menghentikan dirinya sendiri untuk tidak mencuri pandang pada pemuda asing yang memperkenalkan diri sebagai Lee Jeno itu. Suatu kebetulan mungkin, dia ditempatkan di kelas Jaemin karena jumlah muridnya paling sedikit jika dibandingkan dengan kelas lain.

Di dalam benaknya, terjalinlah ratusan utasan pertanyaan yang masing-masing tidak dapat Jaemin ketahui jawabannya. Pengecualian kalau dia sendiri yang meruntuhkan tembok harga dirinya dan bertanya pada orangnya langsung. Tapi, 'kan, tidak mungkin. Hal itu sangat konyol dan tidak masuk akal. Lagipula, untuk apa dia repot dengan kehidupan orang lain?

"Dari wajahnya saja, sudah kelihatan seperti pembunuh berdarah dingin."

Eric berujar tepat di sebelahnya. Suasana kelas kala itu sedang ribut karena jam kosong, ditambah anak baru itu duduk jauh dari mereka, jadi Eric bisa sesuka hati membicarakannya. Seingat Jaemin, Eric bukan tipe orang yang suka membicarakan orang di belakang seperti ini. Biasanya Nakyung yang melakukannya, tetapi sayang sekali anak itu sedang absen hari ini. Sedangkan Chaeyeon dan Seungmin agak pasif. Sama seperti Jaemin, seadanya saja dan tidak mau ambil pusing mengenai hidup orang lain.

"Sepertinya Eric akan menjadi Nakyung versi laki-laki," komentar Seungmin.

"Eric, kau seharusnya mengurangi pergaulanmu dengan Nakyung," timpal Chaeyeon.

Jaemin terkekeh. Kalau urusan begini, sudah pasti dia yang sendiri. Nakyung dengan Eric, Chaeyeon dengan Seungmin. Jaemin satu-satunya pihak netral disini. Dan ketika dua kubu itu saling menyerang, Jaemin akan duduk di tengah dan menyaksikan keributan yang terjadi, tanpa ada niat untuk melerai atau menengahi sedikitpun. Dari beberapa perseteruan tidak jelas yang pernah mereka alami, Jaemin dapat menyimpulkan bahwa lama kelamaan, mereka juga akan lelah sendiri dan nantinya menyerah.

Persahabatan mereka sudah terjalin sejak duduk di bangku kelas sepuluh. Kala itu, hanya ada Eric dan Jaemin, serta Nakyung dan Chaeyeon. Seungmin masih agak menyendiri, sifat pendiamnya selalu muncul setiap dia berusaha beradaptasi dengan lingkungan. Pernah suatu saat Jaemin ditempatkan sebangku dengan Nakyung, dan Seungmin dengan Eric. Dari situlah mereka saling berkenalan lebih jauh dan membangun tali persahabatan bersama.

"Omong-omong, Eric, kau tahu darimana?"

Eric mengernyit bingung, "apa?"

"Tentang anak baru itu." Jaemin menunjuk ke arah Jeno dengan dagunya.

"Dengar-dengar saja," jawab Eric. "Kenalanku, 'kan, cukup banyak."

"Menurutku Eric hanya melebih-lebihkan saja. Wajahnya memang dingin seperti itu, bisa diapakan memang?" Chaeyeon berpendapat.

Chaeyeon benar juga. Mungkin wajah ayah atau ibunya seperti itu juga. Aura dingin itu berasal dari wajah datar dan sifat pendiamnya. Dia, 'kan, masih anak baru yang belum memiliki teman. Kenapa semua orang malah berpikir yang jelek tentang dirinya? Bukankah wajar saja kalau dia begitu?

Tapi, duh, kenapa pula Jaemin jadi terus memikirkan si Lee Jeno itu?

✧✧

gausah takut tmn" ciwi jaemin bakalan dipasangin sm yg cowo atau jaemin sendiri atau bahkan jeno. hell no, kalian tau aku anti yang namanya straight, kan?

5 October 2018

i. prisoner ✔Where stories live. Discover now