11. Raindrops

4.5K 1.1K 71
                                    

Setetes air jatuh dari sudut matanya. Jaemin mengeratkan pelukan pada sepasang lututnya yang ditekuk. Pandangannya terlempar keluar, dimana cuaca langit saat ini sedang sama seperti suasana hatinya. Tetesan air hujan membuat kaca jendela kamarnya nampak buram dan beruap, dia tak dapat melihat dengan jelas keadaan di luar sana.

Dalam hati merenung, mengapa dia begitu lemah? Kodratnya sebagai lelaki akan dipertanyakan disini. Mengapa hanya karena hal sepele dia sampai segininya? Apakah berlebihan? Mengapa dia tak bisa lebih menunjukkan kelebihannya daripada kekurangannya? Mengapa dunia ini begitu tidak adil padanya? Mengapa Dewi Fortuna tak pernah berpihak padanya? Mengapa Tuhan tak pernah mendengarnya doanya? Bolehkah Jaemin segera berpulang saja? Rasanya lelah terus-terusan hidup di dalam kepalsuan.

Hanya kebahagiaan yang diinginkannya. Tetapi itu rasanya begitu mustahil. Ketika ayah kandungnya direnggut paksa, ketika ibunya mulai bertingkah lebih kekanakan daripada dirinyaㅡJaemin merasa eksistensinya di dunia ini sia-sia. Bagaimana caranya menikmati hidup jika kebahagiaan saja tak pernah tercatat di memoar hidupnya? Lagi-lagi, Jaemin mengeluh, betapa tidak adilnya dunia ini.

"Aku rindu ayah," gumam Jaemin di tengah kesunyian yang menenggelamkan dirinya.

Jaemin yakin, ayahnya dapat mendengar ucapannya dari sini, dan berharap beliau akan merindukannya juga. Jaemin tak dapat bertahan lebih lama lagi dengan seorang wanita yang menjual jiwanya kepada setan. Setan yang berbentuk kekayaan, kekuasaan, dan kebanggaan.

Di saat seperti ini, tentu saja cutter usang ㅡyang ditemukannya di gudang sewaktu pindah ke rumah iniㅡ terlihat sangat menggoda untuk disentuh. Jaemin meraih benda tajam itu dari atas meja belajarnya. Menaik-turunkan pisau berkarat tersebut sambil menatapnya dengan penuh binar bahagia. Dia beralih menatap masing-masing lengannya sendiri. Penuh, tidak ada tempat kosong lagi baginya untuk berkarya. Lalu Jaemin meraba-raba pahanya sendiri, kemudian menyingkap celana santai yang hanya selututnya itu.

Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan berat. Cutter itu mulai menyentuh permukaan kulit paha Jaemin, membelai lembut dengan sentuhan dingin besi berkaratnya. Dia menggigit bilah bibir bawahnya sambil menekan-nekan ringan mata pisau pada epidermis. Jaemin memejamkan matanya, membayangkan apapun yang dapat diukirnya di atas kulit. Kemudian, dengan perlahan membiarkan benda itu menembus dagingnya.

Satu-satunya suara berasal dari suara petir yang menggelegar di luar, menyeruak diantara keheningan kamar Jaemin.

Suara kencang dari sambaran kilat di luar sana membuat Jeno refleks terbangun dari tidur nyenyaknya. Mengerjap sebentar, barulah dia menyadari bahwa hujan tengah turun. Dia melirik ke arah kaca jendelanya yang lupa dia tutupi dengan gorden. Hujan lebat rupanya tengah mengguyur bumi. Jeno kira, tidak akan ada hujan selebat ini di musim semi yang begitu cerah, seperti kata orang.

Jeno menyibak selimut, kemudian berusaha mengangkat kepalanya dari bantal. Namun, rasa sakit dan berat dengan segera menyerang kepalanya. Refleks dia bertumpu menggunakan salah satu lengannya. Rasanya seperti terus dihujami batu dari langit, sedangkan lehernya terasa seperti ditimpa seratus buku yang ditumpuk. Dia terpaksa menyenderkan punggungnya kepada kepala ranjang terlebih dahulu, berusaha menunggu hingga rasa sakitnya mereda.

"Nyonya, saya rasa, Tuan Muda tidak enak badan."

Mata kiri Jeno menyipit ketika samar-samar dia mendengar suara langkah kaki serta suara pelayan kepercayaan ibu di luar kamarnya. Jeno tahu, dia adalah objek pembicaraan mereka. Dan, dia juga yakin, ibunya tidak akan terlalu memedulikan dirinya, entah dia sakit atau tidak. Selama bukan sakit parah yang memerlukan fasilitas khusus rumah sakit, kedua orang tua Jeno takkan tergerak hatinya. Toh, dia sudah biasa. Dicueki dan mencueki adalah hal yang normal ditemui di keluarga kecil itu. Barangkali masih canggung bagi kedua orang tuanya untuk memulai sebuah perang dingin, tetapi nampaknya Jeno tak pernah keberatan. Atau memang dia yang tak pernah mengekspresikannya blak-blakan.

Kemudian sebuah suara wanita lain menyahut dengan lembut, "oh, begitukah? Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Belum tahu, Nyonya. Tuan Muda langsung masuk kamar dan menguncinya sejak pulang tadi."

"Kalau begitu tolong buatkan sup untuknya, dia pasti sakit karena kehujanan."

"Baik, Nyonya."

Langkah kaki yang menjauh kemudian terdengar, entah dari si pelayan, ibunya, atau bahkan keduanya. Ibunya tidak berusaha menyapa dan menjenguknya di kamar, tapi tak apalah. Diam-diam Jeno menyeringai, rupanya masih ada kepedulian juga yang ditujukan untuknya, ya?

✧✧

teliti dikit, aku nyelipin sedikit clue nih.

23 October 2018

i. prisoner ✔Where stories live. Discover now