22. Sleepover

4K 931 113
                                    

Jeno dan Jaemin baru saja menghabiskan makan malam mereka di sebuah kedai mie pedas dekat Sungai Han. Menikmati bagaimana rasa terbakar di lidah mereka seketika luntur ketika semilir angin musim semi pada malam hari yang terasa lembab, menerpa setiap inci kulit mereka secara teratur. Di bawah sinar rembulan yang redup dan taburan bintang yang tersebar di cakrawalaㅡJaemin sangat menikmati malam itu dibandingkan apapun juga.

Dua pemuda itu kini tengah duduk di atas rerumputan, di pinggir Sungai Han. Semuanya ide Jaemin. Ini dikarenakan dia sangat jarang keluar rumah pada malam hari, dan otomatis jarang juga menikmati pemandangan kota pada malam hari. Jaemin tidak tahu, semuanya terasa begitu menyenangkan sampai-sampai dia ingin kabur dari rumah saja.

"Jaemin." Sebuah suara berat milik Jeno memecah keheningan diantara desiran ombak halus sungai.

Menoleh, dan menatap pemuda lain di sana, "ya?"

"Aku bertanya-tanya apakah orangtuamu mencarimu atau tidak."

Jaemin mendengus, "jangankan mencari, menanyakan saja mungkin tidak."

"Oh?" Jeno mengangkat sebelah alisnya. "Kukira kau punya orangtua yang ketat."

"Tidak juga," suara Jaemin terdengar lirih. "Mereka merasa aku sudah bisa dilepas."

"Dan, kurasa mereka salah mengenai hal itu."

Jaemin kembali memandang lurus ke depan, ke arah sungai yang hanya ditemani dengan lampu jalan temaram. Kemudian, dia beralih mendongak. Menatap dan bertanya-tanya, seberapa luas langit dapat membentangkan dirinya? Seberapa banyak bintang yang ditaburkan? Dan, setangguh apa sang raja malam menyinari bumi meski tengah kesepian yang dialami?

"Maksudmu, aku belum cukup dewasa, ya?"

"Itu termasuk," jawab Jeno. "Lagipula, ada banyak masalah yang seharusnya kau bagi dengan mereka. Sayangnya, kelihatannya mereka bahkan tidak peduli lagi padamu."

"Yah, sebenarnya itu semua ulah ibuku."

"Aku tahu," tukas Jeno. "Kau sudah menceritakan sedikit tentangnya."

Jaemin mengusap wajahnya, merasa gusar entah kenapa. "Aku belum siap untuk keseluruhannya."

"Aku tidak memaksa."

Tangan Jeno merayap pada punggung Jaemin, mengusap-usap lembut agar empunya merasa tenang. Jaemin pun tanpa disadari, beringsut mendekat ke arah Jeno. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu si pemuda Lee.

Jaemin memeluk dirinya sendiri, enggan meminta Jeno untuk mendekapnya di dada. Tidak begitu dingin, sebenarnya. Tapi, karena merasa kesepian, udara malam jadi beribu-ribu kali lebih terasa dinginnya. Jaemin merindukan rumah yang sesungguhnya. Jaemin merindukan desa neneknya. Jaemin merindukan ayahnya. Jaemin merindukan masa kecil sebelum badai menerjang hidup sampai hancur lebur.

"Ayo pulang," ajak Jeno.

Pada awalnya, Jaemin menggeleng. Dia ingin menikmati momen ini lebih lama lagi. Perasaan rindu yang meluap di hati, menyesakkan dada, tetapi dia menyukainya. Rasanya, lebih baik dia menyiksa diri dengan kenestapaan ini dibanding harus tersenyum karena kebahagiaan palsu. Jaemin tidak bisa munafik kali ini.

"Menginaplah di rumahku."

"Hm?" Jeno bergumam pelan, tangannya berhenti mengusap punggung Jaemin. "Kenapa tiba-tiba?"

Jaemin hanya mampu menjawab dalam hati; karena dia rindu akan sentuhan kasih sayang seseorang.

Kesan pertama ketika melangkahkan kaki di rumah Jaemin adalah, dia tak menyangka bahwa rumah Jaemin akan sebesar ini. Dengan gaya elegan dan berkelas di saat yang bersamaan, namun juga dilingkupi suasana yang elusif yang elok. Ukiran rumit menyapanya pertama kali di gerbang masuk yang tingginya mencapai sekitar tiga belas kaki. Kemudian, di dekatnya, ada sebuah taman yang tidak begitu luas, namun memiliki banyak sekali berbagai macam bunga yang bermekaran di saat bersamaanㅡmengingat ini musim semi. Masuk ke dalam rumahnya, Jeno disambut dengan lukisan Interchange milik Willem de Kooning, yang setahunya adalah salah satu dari lukisan termahal di dunia.

i. prisoner ✔Where stories live. Discover now