33. The Predators

3K 667 70
                                    

Ketika Jeno membuka pintu rumahnya, dia melihat ada sesosok pemuda manis yang berderai air mata di sana. Tak butuh waktu lama bagi Jeno untuk membulatkan kedua matanya. Di hadapannya, jelas-jelas berdiri seorang Na Jaemin, dengan kedua tangannya yang berwarna merah darah dan juga kaki yang bergetar. Demi apapun juga di dunia ini, apa yang Jaemin telah alami?

"Jaemㅡ"

"Bisa kau tutup pintunya dan kita bicara di luar?"

Jeno punya firasat yang tidak begitu baik mengenai ini. Kenapa Jaemin tidak melangkah masuk dan menangis di pelukannya sembari menceritakan segala sesuatu yang menimpanya barusan?

Tapi, Jeno menurut. Dia menutup pintu rumahnya dan mengekori Jaemin hingga mereka tiba di sebuah taman kecil di daerah komplek perumahan Jeno. Kening Pemuda Lee itu mengernyit, bagaimana pula Jaemin bisa tahu tempat itu?

"Kau berutang banyak penjelasan padaku, Jaemin."

Jaemin mengutuk dirinya sendiri berulang-ulang ketika lebih banyak air mata meluncur ke pipi. Dia memang sudah kehilangan akal. Dia harus menemui psikiater atau mendekam di salah satu kamar di rumah sakit jiwa, kalau perlu.

Melihat Jaemin yang tak kunjung bicara membuat Jeno berusaha menilik secara kasar. Sambil menggerakkan ibu jari guna menghapus air matanya, Jeno diam-diam memperhatikan Jaemin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Si manis muncul tiba-tiba di depan pintu rumahnya dengan keadaan mengenaskan. Apakah dia baru saja menolong korban kecelakaan, karena itulah tangannya dilumuri darah yang mengering?

"Ingat Lucas?"

Jeno menoleh cepat dan mengangguk. Baguslah kalau pemuda manis itu sudah mau bicara. "Aku ingat."

"Aku membunuhnya."

"A-apa?"

Jeno justru lebih terkejut ketika mendengar suara Jaemin yang begitu tenang dan dingin. Seolah Lucas memang pantas lenyap dari muka bumi. Seolah dendam Jaemin memang sebesar itu. Seolah membunuh bukanlah sebuah hal yang ilegal dan bertentangan tegas dengan agama.

"Aku membunuhnya." Jaemin bahkan tidak segan mempertegas ucapannya.

"Kenapa, Jaemin?" Jeno meraih bahu sempit itu untuk diguncangnya. "Kenapa?"

"Kebencianku sudah mendarah daging," kata Jaemin tanpa beban, dia menatap lurus tanpa ekspresi ke manik Jeno. "Dia nyaris merusak masa depanku, jadi aku renggut masa depannya secara keseluruhan."

"Jaeㅡ"

"Aku sudah bermain dengan benda tajam sejak lama, terus melukis luka baru di kulitku. Kau mungkin pernah mengira, orang sepertiku pasti sering kali mencoba untuk bunuh diri, 'kan?" Sela Jaemin cepat. "Jawabannya adalah tidak pernah. Lucas Wong adalah alasanku untuk bertahan hidup di dunia kejam ini."

"Lantas, kenapa kau membunuhnya?" Lirih Jeno.

"Simpel, karena aku tidak boleh mati sebelum melihat dia mati di tanganku."

Jeno tidak tahu harus merasa senang atau apa. Jaemin jelas-jelas mengaku telah membunuh seseorang yang dia benci, tepat di hadapan Jeno langsung. Bukankah ini berarti, Pemuda Lee itu telah berhasil? Bukankah dia telah menjadi kawan yang baik bagi si lemah Na Jaemin? Jeno, untuk suatu alasan, merasa bangga karena Jaemin telah belajar banyak darinya.

"Kau terkejut, Jeno?" Jaemin menjilat bibirnya yang terasa kering.

"Terkejut?" Jeno mengernyit. "Tidak sama sekali."

"Lalu, apa kau takut?"

"Takut padamu?" Tawanya pecah kemudian. "Kau serius?"

Sekonyong-konyong Jeno menarik Jaemin untuk duduk lebih dekat dengannya. Tangannya membelai pipi Jaemin yang masih meninggalkan jejak-jejak air mata kering di sana. Dia menatap si manis dalam-dalam, kemudian senyum miring diukirnya. Tangannya beralih ke tengkuk Jaemin. Dia mengikis jarak diantara mereka secara perlahan. Kepalanya dimiringkan, dan bibir keduanya pun bertemu.

Jaemin memagut bibir tebal itu rakus, melesakkan lidahnya tanpa permisi ke dalam mulut Jeno. Sang dominan menanggapi dengan senang hati, tentu saja. Tangannya kembali turun dan berakhir di pinggang Jaemin, meremasnya lembut, hingga membuat sang empunya merasa ada jutaan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Jeno menjadi orang pertama yang menyudahi ciuman. Dia menekan pelan tengkuk Jaemin agar kening keduanya tetap bersentuhan. Napas hangat milik masing-masing saling menerpa kulit. Seringai lebar terukir di wajah rupawannya, Jeno menggesek pucuk hidung miliknya dengan milik Jaemin.

"Aku bangga, Jaem," ujarnya sembari menghapus sisa saliva di sudut bibir Jaemin dengan ibu jarinya. "Kau cepat tanggap dan dapat diandalkan."

"Dan, apa artinya itu?"

"Kau kini mengerti bahwa terkadang, kita harus menjadi monster untuk membunuh monster lain," Jeno mengecup kilat bibir Jaemin. "Kau harus membunuh kalau tidak ingin dibunuh. Kau harus merenggut sebelum direnggut. Jadilah predator untuk tetap bertahan hidup."

Jaemin tahu bahwa dirinya sudah berhasil. Dunia memang kejam, tapi Jeno telah mengajarinya apa itu kehidupan yang sesungguhnya. Matanya telah sepenuhnya terbuka. Jeno bukan orang jahat. Pemuda itu adalah orang yang paling rasional, pola berpikirnya realistis agar tidak terlena nikmat duniawi. Karena, dunia bisa melakukan apa saja hanya untuk menendangmu jatuh ke jurang.

"Kita harus menjadi monster untuk membunuh monster lain."

Namun, sayang, Jaemin tidak menyadari bahwa dirinya kini adalah monster, sama seperti Lee Jeno.

Dan, karena Jeno adalah seorang monster, tentunya dia dapat membunuh Jaemin, kapan saja.

✧✧

pendek aja. bentar lagi end

21 June 2019

i. prisoner ✔Where stories live. Discover now