2. Magic Shop; kth-pjm

501 32 0
                                    

Magic Shop; kth-pjm

Lagi-lagi kedua bahu itu naik turun tidak beraturan saat Jimin baru saja membuka pintu kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lagi-lagi kedua bahu itu naik turun tidak beraturan saat Jimin baru saja membuka pintu kamar. Jimin mengehela nafas untuk kesekian kali ia menemukan punggung rapuh yang masih gemetar hebat sejak kemarin. Pemuda berkulit tan dan bertubuh kurus itu belum bergerak, bahkan tidak sama sekali memindahkan selimut bulu yang menutup bagian perut hingga kakinya. Tidak bisa disangkal jika angin musim dingin memang kerap kali masuk melalui sela jendela membuat siapa saja membutuhkan benda berbulu demi mengemis kehangatan.

Langkah kaki Jimin sudah yang ke tiga setelah ia menutup daun pintu secara perlahan agar tidak menimbulkan bunyi bising. Suara isak tangis tersamar oleh musik handphone yang sengaja diputar dengan volume kecil, namun di malam dingin yang sepi ini, Jimin bisa mendengarkan saup-saup liriknya.

"Jangan mendengarkan lagu yang membuatmu tambah sedih, Taehyung-ah" Jimin berhenti diatas nakas samping ranjang king size berwarna putih, kemudian meletakan semangkuk bubur dan segelas air minum disana.

Punggung itu tidak berbalik, bahkan setelah Jimin mencoba mencairkan suasana. Suara musik diruangan semakin membesar, Taehyung menaikan volumenya tanpa bergerak dari posisi. Membuat isak tangis yang memenuhi ruangan seolah lenyap terkikis oleh alunan musik.

Ranjang berwarna putih itu bergoyang, mengeluarkan bunyi decit walau tidak terdengar jelas. Entah kenapa Jimin memerlukan usaha lebih untuk menjangkau Taehyung di ujung ranjang sebelah sana. Jangan salahkan lengan kecil milik Jimin; ukuran ranjang Taehyung saja yang terlalu besar, umpat Jimin dalam hati.

"Aku tau kau sedih," Jimin menarik nafas panjang, mencoba menyembunyikan getar yang bisa saja mendominasi suaranya saat ini, tangan kecil itu akhirnya menggapai belakang kemeja Taehyung. "Lihat! Bahkan kamu masih memakai kemeja yang kemarin," pekik Jimin.

"Kau ti-tidak s-sedih, hyung?"

Jimin tersenyum sendu, terukir sudut bibir yang pintar menyembunyikan pilu walau Taehyung tidak melihatnya secara langsung; "aku s-sangat kehilangan Kakek.. s-sangat Taehyung-ah.." Jimin tidak bisa menahannya lagi, kesedihan Taehyung terlalu kuat mempengaruhi perasaannya. Ia tidak bisa melihat Taehyung se-menderita ini. Ia tidak bisa melihat Taehyung menangis. Suara Jimin bergetar membuat Taehyung berbalik tanpa aba-aba. Mata berkaca-kaca mereka saling bertemu.

Jimin terkejut, awalnya. Sejak acara penguburan sang kakek kemarin sore ia tidak melihat wajah Taehyung sedikitpun, adik semata wayangnya mengurung diri dikamar hingga malam ini. Entah dewi fortuna macam apa yang membantunya kala dengan susah payah Jimin terus membujuk Taehyung untuk membuka kunci kamarnya.

Mata Taehyung bengkak bersamaan dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata, siap jatuh kapan saja Taehyung mengedipkan mata. Warna merah mendominasi daun telinganya dan tidak lupa cairan kental yang masih mengalir deras dari hidungnya. Taehyung sungguh kacau kali ini.

Dan saat ini, Jimin tidak boleh menangis. Ia menahan setiap air mata yang menggenang dan berpikir, Taehyung-nya membutuhkan sebuah sandaran.

Lantas kaki mungilnya ia naikan keatas ranjang, bunyi decit lagi-lagi nyaring di telinga. Jimin berbaring tepat disebelah Taehyung. "Jangan menangis" ucapnya lembut.

Saat melihat kedua manik hazel milik Taehyung yang tergenang air, Jimin menilik kembali betapa sakit hati sang adik kala mengingat kedekatan mereka begitu erat tidak terbatas pada jarak usia seorang kakek dan cucu. Taehyung dan kakeknya terlampau dekat, terlebih saat istri tercintanya pergi meninggalkan mereka terlebih dahulu setahun yang lalu. Maka Jimin tidak heran jika Taehyung sempat meraung-raung dirumah sakit ketika dokter mereka mengatakan hal yang sama saat neneknya meninggal dulu.

Jimin memainkan ujung rambut Taehyung, melilitnya pada jari telujuk, melepasnya kemudian melilitnya lagi. "Kami semua sedih, kamu tau.. tapi kakek akan lebih sedih jika kamu tidak mengiklaskannya" Jimin mencoba tersenyum, walau nihil ketika ada setitik air mata yang keluar tanpa perintah dari ujung mata. "Aku sedih, jika kamu terus seperti ini.."

Taehyung mencoba mengatur nafasnya, seguknya masih mengiringi walau tidak sekencang kemarin dan siang ini. Ia menatap mata Jimin lekat, seolah mencari sebuah kepercayaan yang dapat ia sandarkan. "Jangan menyakiti dirimu.. atau hatiku, eomma dan appa akan ikut sakit." Taehyung tidak berkutik, hanya sebuah suara manis yang seolah mencair dalam indra pendengarnya. Belaian lembut di belakang surai hitamnya menekan tombol 'off' sehingga air matanya berhenti keluar, kecuali cairan di dalam hidungnya.

"Hyung.." tangan Taehyung bergerak, kali ini ia memeluk pinggang Jimin dan menenggelamkan kepalanya menyentuh dada sang kakak. "Mereka.. mereka pergi, hyung. Meninggalkan cucu-cucu kesayangan mereka.." Taehyung berujar pelan.

"Mereka mungkin pergi, tapi kakek dan nenek tetap ada di hati kita" Jawab Jimin mengeratkan pelukannya. "Kamu percaya itu 'kan, Tae?" Dan pertanyaan dadakan itu membuat Taehyung kembali merasakan sesak dalam waktu singkat sehingga ia tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh lagi.

"Jangan menangis lagi, wajahmu jadi jelek!" Canda Jimin sambil menghapus jejak air mata dipipi Taehyung yang basah.

-End-

Sumpeh, gue bikin Taehyung manja banget di sini..
mo-on maap (๑'ڡ'๑)

Love Yourself; TearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang