Bagian 18

24.4K 615 52
                                    

Pagi hari saat Dimas membuka matanya, dilihatnya bantal disebelahnya kosong. Tanpa memiliki pikiran apa-apa, dia kemudian duduk di tempat tidur. Setelah beberapa saat terasa kamarnya sepi tak ada suara.

"A?," dipanggilnya Ujang. Tak ada yang menyahut. Dimas kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Dibukanya pintu kamar mandi dan dilihatnya kamar mandi dalam keadaan kosong.

'Oh mungkin beli sarapan,' pikir Dimas dalam hati.

Dimas pun kemudian mandi, selesai mandi dia kemudian membuka pintu lemari bajunya. Terkejut, tumpukan baju-baju milik Ujang tampak berkurang banyak. Dilihatnya diatas lemari, tas yang biasa dipakai Ujang jika pulang ke kampungnya tidak ada. Dimas mulai panik. 'Aduh, ada apa lagi ini?.'

Ketika Dimas mau mengambil telepon tangannya, terlihat amplop bersandar di dekat telepon tangannya tersebut. Buru-buru diambilnya amplop tersebut dan dibukanya lalu dikeluarkannya selembar kertas dari amplop tersebut.

Buat Neng,

Aa minta maaf karena Aa tidak bilang atau cerita sama neng. Aa harus pulang ke kampung karena ada urusan yang harus diselesaikan disana. Neng ngga usah khawatir, ini urusan Aa pribadi ngga ada hubungannya sama neng sama sekali. Aa tahu neng kalo kita itu harus jujur, terbuka dan saling komunikasi dengan baik tapi untuk urusan satu ini Aa malu cerita sama neng.

Ibu terlibat urusan hutang sama orang di kampung dan kemarin dapat laporan dari anak-anak kampung katanya rumah disatroni sama orang yang nagih. Aa hanya dengar cerita separo separo, neng, Aa butuh kejelasan karena terakhir ketemu Ibu katanya udah ngga urusan utang dan ibu udah bayar lunas semuanya. Ini aneh. Sudana juga sudah coba cari info tapi belum dapat info yang benar makanya Aa mutusin untuk pulang. Aa udah ijin ke personalia dan ambil cuti.

Aa tahu kalo Aa cerita ama neng pasti neng akan suruh Aa tanya berapa utang ibu dan nanti pasti neng yang lunasin. Bukan itu urusannya, neng, lagian juga sebagai kepala keluarga (kan kita teeh sudah nikah hahaha) harus Aa yang beresin, neng mah ngga ada sangkut pautnya.

Nanti malaman Aa telepon yaa, neng, jangan kontak dulu ke Aa bisi riweuh. Sudana ada kalo neng butuh apa apa. Tong hawatos yaa, neng. Nanti tiga hari lagi juga kita ketemu lagi.

Sayangna neng,

Aa.

Dimas menarik napas lega walaupun hatinya kesal karena Ujang tak bercerita sedikit pun soal ibunya yang memiliki hutang. Kesal karena Ujang bisa membaca pikirannya bahwa dia tentu akan membantu berapa pun yang dibutuhkan oleh Ujang. Dimas hanya tidak mau orang yang disayangnya ini kesusahan.

Tak lama kemudian Dimas bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Dia berusaha menepati janjinya untuk tidak menelepon atau mengirimkan pesan via whatsapp ke Ujang.

Sesampainya di kantor, Dimas langsung naik ke ruangannya. Dilihatnya dimejanya sudah ada secangkir kopi hitam. Dimas tersenyum, Ujang sepertinya sudah menyiapkan segalanya termasuk perintah membuatkan secangkir kopi pada pagi hari.

"Pagi, mudah-mudahan kopinya seenak buatan Ujang," Pak Sudana tiba-tiba sudah berdiri dibelakang Dimas. Dimas terkejut.

"Ya Allah, Pak, bikin kaget saja. Maaf ini jadi merepotkan. Ngga usah dibikinin, Pak, ngga apa apa."

"Cuma bikin kopi saja, ngga apa apa," kata Pak Sudana tersenyum, " saya dibawah, kalo perlu apa-apa telepon saja."

Dimas mengangguk dan kemudian duduk di mejanya. Dinyalakannya komputernya dan dikeluarkannya bahan-bahan pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya.

Jelang pukul 8 malam Dimas membereskan mejanya, menumpuk pekerjaan yang sudah diselesaikan olehnya sepanjang hari. Kemudian dia mematikan komputernya. Setelah itu dia berjalan menuju tangga.

UJANGWhere stories live. Discover now