6. Free It

835 52 0
                                    

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Beri sedikit waktu pada hatimu untuk beristirahat sejenak. Hilangkanlah segala kemelut yang dapat mengusik benak. Hari ini, milikmu. Sementara esok, masih menjadi bayangan semu.

***

Perasaan lega Shila rasakan ketika ia bisa terbebas dari cengkeraman mamanya Najma. Sekujur tubuhnya yang sudah terasa lengket karena belum terguyur air sedari pagi, membuat Shila tak bisa berlama-lama di rumah temannya itu.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Shila bisa sampai rumah dengan selamat.

"Mobil siapa itu, sepertinya aku pernah lihat? Tapi di mana ya?" Shila bermonolog saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah Reva.

Demi menjawab pertanyaannya, segera saja Shila memasuki halaman rumah. Setelah berada tepat di depan rumahnya, Shila mematung. Motor matic yang ia bawa tak langsung dimasukkan ke dalam, tatkala melihat sepatu yang ia hapal tergeletak di teras rumahnya.

Apa jangan-jangan....

Belum tuntas Shila berpikir, Reva sudah datang dengan segala tingkah rempongnya, dan langsung bertutur panjang lebar.

"Teh Shilaaaa! Aduh, dari mana aja sih ngampus kok lama banget, kayak orang lagi munggah haji aja. Ayo Teh cepetan masuk, semua orang udah pada nungguin Teteh di dalam. Ditelepon dari tadi juga kenapa gak ada yang diangkat sih. Sampai lumutan nih aku nungguin Teteh."

"Tunggu, tunggu, Re. Bisa gak sih kamu ngomongnya pelan-pelan aja, jelaskan apa maksudnya. Jangan nyerocos terus seperti beo."

"Udah, jelasinnya nanti aja, di dalam udah ada yang menunggu."

Reva menarik paksa tangan Shila sampai ia terseret-seret. Saat Shila berhasil menyamakan langkahnya dengan Reva, dan masuk ke ruang tamu, dia langsung menghentikan langkah kaki begitu matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Seketika, tubuh Shila terkunci. Bahkan kakinya pun seperti terpaku ke dasar bumi. Embusan napasnya mendadak berat. Ternyata dugaannya benar, dia yang datang.

Ucapan pria itu tak main-main. Baru kemarin Shila terkejut dengan keputusannya yang tiba-tiba. Sekarang ia semakin dibuat terkejut atas keberanian orang yang kini tengah menatapnya.

"Assalamu'alaikum, Shila."

Belum ada jawaban salam dari Shila. Ia malah membiarkan salam Deri tak bersambut. Lidahnya terlalu kelu hanya untuk mengucapkan satu huruf saja. Bahkan wajahnya saat ini sangat menunjukkan kecemasan yang luar biasa.

Sekarang apa? Ingin memintanya langsung pada orang tua Shila? Silakan, ia tidak keberatan. Bahkan Shila sangat ingin melihat, seberapa hebat kemampuan orang itu dalam berakting di hadapan keluarganya. Bagaimana cara dia meyakinkan Shila agar mau menerima pinangannya.

"Shila, jawab salamnya, Nak." Suara Pak Qomar menyadarkan Shila.

"W-wa-wa'alaikumsalam."

"Sini duduk," ajak Bu Ema.

Setelah Bu Ema membawa Shila duduk di sampingnya, Shila langsung menatap orang yang ada di sana satu persatu. Ayah dan ibu, kakaknya--Intan, kedua paman dan bibinya, termasuk adik sepupunya--Reva. Mereka terlihat bahagia karena bisa kedatangan pria yang berniat ingin melamarnya.

Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan mereka oleh keegoisanku? Haruskah aku meredam segala rasa tidak sukaku terhadapnya? Seandainya bukan dia, aku ingin. Tapi ini ... sungguh, aku tidak bisa hidup berdampingan dengan orang yang sudah berkali-kali menumpahkan air mataku.

Takdirku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang