17. Zona Nyaman

142 27 0
                                    

Hymne for the Weekend, lagu dari band terkenal Coldplay itu jadi backsound acaraku tertawa-tawa di depan laptop. Layar laptop menampilkan wajah Devina dengan mata panda karena Devina bilang itu efek menangisi drama tadi malam yang dia tonton secara marathon semalam suntuk.

Ini tuh efek weekend nggak ada yang ngajak kemana-mana, jadi ya gue pasrah aja tadi malem nonton Meteor Garden full series sampe pagi.” Di sana Devina menguap lebar karena baru bangun tidur, padahal ini sudah jam 1 siang.

“Terus kenapa vidcall gue kuyaaa? Udah tidur aja sana!” perintahku pada Devina yang masih terus berusaha melek di layar Skype.

Ini salah satu cara biar melek Ras, lo ngoceh kek, nyanyi kek, apa ngapain gitu, pokoknya yang buat kuping sakit.”

“Jadi maksudnya suara gue sumbang benget? Nggak inget ya, gini-gini gue juga mantan tim Padus tau di SMP.” Aku mencebik.

Yaelah, iya-iya! Yaudah sih, lagian tim Padus kan dulu nggak pernah juara, jangan sombong gitu dong.” Devina tertawa senang. Iya, dia itu tipe orang yang paling senang ketika aku kena bully.

“Kampret!” umpatku pelan.

Ih Raras, jangan badword gitu dong, nggak baik.

“Iya, maafin deh Bu Devina.”

Devina hanya tertawa-tawa di seberang sana, dengan muka yang masih amburadul itu aku yakin jika ku-screenshot  lalu kupajang di instastory, seminggu kemudian kami baru baikan. Itupun kalau kubujuk pakai makan gratis. Iya sih, sahabat emang kadang sekampret itu.

“Ih Vin lo mandi dulu sana, masa anak cewek jam 1 siang gini belum mandi sih. kotoran aja disiram, masa lo enggak.” Aku mengernyit sok jijik ke arah  Devina, tapi gadis itu malah makin merapatkan selimutnya dengan posisinya yang tengkurap di ranjang tidur.

“To be honesty, yang kaya gini tuh surga dunia. Zona nyaman ini namanya.” Devina menyengir lebar.

“Bilang aja mager total,” cibirku.

Abis gimana dong?”

“Ya kalo gitu lo out of the zona lah, ngapain kek. Intinya keluar dari zona nyaman lo yang kaya gitu. Jujur deh Vin, gue nggak suka acara weekend lo yang nggak ada faedahnya itu. Mending lo persiapan buat seleksi debat atau minimal mandi lah, biar segeran dikit.” Aku mengoceh kesal sambil menatap layar Skype yang isinya wajah suntuk Devina.

Devina menghela nafas. “Jadi buat apa orang nyari comfortable kalo akhirnya ada kata-kata ‘jangan terpaku pada zona nyaman, out of the zona!”

“Itu bedaa!” belaku.

Apanya coba yang beda?” Di seberang sana Devina mengangkat bahu. “Kita hidup buat cari kenyamanan kan Ras? Terus nggak tau siapa tiba-tiba orang bikin teori keluar dari zona nyaman itu. The point is, yang kita dapet setelah out of the comfort zone itu, kita dapet apa? Nyaman lagi? Kan sama aja!

“Keluar dari zona nyaman itu tergantung dari keadaan sekarang. Dilihat dari banyak perspektif tentang bener enggaknya yang kita lakuin sekarang. Kalau misalnya menurut kita hal itu udah bener-bener jadi yang paling pas sih, yaudah. Nggak ada hasil maksimal kalo niatnya aja terpaksa, jangan-jangan kalo lo sekarang disuruh mandi, nggak pake sabun saking malesnya,” kutatap Devina kesal.

Nggak gitu juga kali!” ujar Devina pelan dengan raut yang sidikit berbeda, dan baru kusadari sekarang, Devina itu tidak suka drama series, dia itu penggemar anime. Sahabatku itu emang pembohong yang buruk ketika kepepet.

Dimensi Kupu-KupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang