Bag. 1

16.8K 522 26
                                    

Barangkali, di dunia yang semakin edan ini, menemukan perpaduan orang baik, berpondasi agama kokoh, berkharisma, juga memiliki prinsip kuat yang dijunjung tinggi-tinggi, adalah hal langka. Bagai menemukan permata di hamparan batu cadas.

Orang yang menemukan adalah orang yang paling beruntung, paling bahagia. Kalau sudah begitu, ucapkan selamat tinggal pada yang hanya bermoral materi dan ketampanan.

Akan tetapi, sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih batu cadas daripada permata. Memilih timah dari emas. Mungkin karena kedua hal itu lebih mudah ditemukan. Permata dan emas seakan menyembunyikan dirinya, hingga sebagian orang tak tahu, betapa tinggi nilai benda-benda itu.

Salah satu yang beruntung mendapatkan hal langka itu adalah gadis desa dari golongan keluarga biasa di sebuah desa kecil. Tidak kaya, pun tak miskin. Mereka hidup berkecukupan. Ada untuk makan hari ini, juga menabung untuk hari esok. Namun, tak berlebih-lebihan hingga mampu membeli barang di luar kebutuhan. Rumah beratap rumbia, dinding anyaman bambu, yang bila ditiup angin kencang, ia akan bergetar seluruh badan bagai anak ketakutan. Hingga akhirnya menyerah kalah pada sang angin yang menyusup masuk menebar hawa dingin menusuk tulang para penghuni rumah.

Begitulah gambaran kehidupan mereka, saat lelaki dari tempat yang sangat jauh itu datang, lalu meminang. Perhelatan sederhana, sanak-saudara menikmati makanan seadanya, hingga ditutup buku hari itu, semua pulang ke rumah masing-masing, dan pengantin baru pun digiring masuk ke dalam kamar.

Tak perlulah cerita dipanjang-panjangkan dalam bab pertama ini. Singkat kata, kedua insan yang bahkan tak saling mengenal sebelumnya itu, membangun rumah tangga, memikul tanggung jawab masing-masing. Empat anak hadir untuk menyemarakkan rumah mereka.

Keempat bocah itu lalu tumbuh dewasa. Meski hidup sederhana, seadanya, tak lantas mengubur cita-cita. Sang ayah tetap menginginkan pendidikan terbaik bagi putra-putrinya walau penghasilan yang didapatkannya jauh dari kata cukup. Ia menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SD lalu berpindah pada pendidikan pesantren dan madrasah. Secara bergilir, bila si sulung lulus, masuklah si nomor dua, begitu seterusnya. Karena perekonomian mereka masih berada di bawah rata-rata.

Si sulung, seorang gadis manis yang tengah mekar-mekarnya. Ia bagaikan kembang di pagi hari berembun. Lantaran hal itu pula, sang ayah mati-matian menjaga. Ia tidak boleh keluar rumah kalau tidak ada keperluan mendesak.

Roda kehidupan berputar atas mereka. Pergantian masa ke masa, perlahan-lahan nasib semakin membaik. Namun, seperti sudah disuratkan, bahwa semasih nyawa menetapi raga, cobaan datang menghantam manusia tanpa pandang bulu.

******

"Ulfi, baju bapakmu jangan disikat, ya, Nak. Cukup dikucek saja. Jangan lupa direndam dulu."

Terdengar bunyi kerekan timba lalu kucuran air ke dalam sebuah bak berukuran cukup besar. Busa-busa sabun mulai menampakkan diri.

"Ya, Bu," sahut sang anak. Gadis itu membasuh kedua tangannya selesai memisahkan pakaian berwarna dan putih ke dalam dua bak berbeda.

Ia masih harus menimba lagi untuk keperluan keluarganya mandi. Ritual yang rutin ia lakukan bahkan semenjak kanak-kanak. Beranjak dewasa, sebagai anak sulung, ia semakin cakap saja mengerjakan pekerjaan rumah. Didikan ayahnya yang disiplin telah membentuknya menjadi gadis tangkas.

Usianya menginjak angka 21. Deretan angka yang mungkin bagi generasi milenial, masih jauh untuk menata kehidupan bersama orang. Namun, tidak di kampung itu. Hal yang sangat wajar, saat anak gadis dipersunting bahkan sebelum ia lulus sekolah dasar. Wajarlah, Ulfi mulai menjadi bahan perbincangan. Mulanya bisik-bisik saja, lalu semakin meluas.

Mulai dari ucapan bahwa sang ayah pemilih, hingga dugaan bahwa ia bernasib sial. Sungguh benarlah kata pepatah, lidah manusia lebih tajam dari pedang.

Lamunan Ulfi terputus saat mendengar bunyi minyak goreng meletup-letup. Langkah-langkah ringan membawanya ke dapur, menemui sang ibu yang asyik meracik bumbu untuk menu makanan hari ini. Di luar, matahari belumlah sempurna menampakkan diri. Terdengar kokok ayam tetangga sahut-menyahut menyambut pagi.

"Nanti kamu ikut Bapak ke pondok. Biar Ibu di rumah jagain adikmu."

"Baik, Bu." Ulfi menyahut sementara tangannya dengan cekatan memotong kecil-kecil terong yang kemarin didapatkan ayahnya dari salah seorang kawan.

"Oh, ya. Sebentar lagi Kang Maman datang. Jangan lupa bawa bakul, belikan tahu lima potong." Ibu berkata sementara tangannya sibuk membolak-balikkan ikan di penggorengan. Sebelah tangannya menutup muka, menghindari letupan minyak panas.

Tak lama setelah itu, terdengar suara penjaja tahu keliling yang dimaksud ibunya. Ulfi meninggalkan terong dan pisaunya lalu bergegas melaksanakan perintah.

Langit masih remang-remang saat ia keluar rumah. Tanah becek sisa hujan semalam membuatnya berhati-hati melangkahkan kaki. Salah-salah, ia bisa jatuh terpeleset.

Kerumunan wanita terlihat setelah sepuluh langkah dilaluinya. Terdengar perbincangan khas penjual dan pembeli, tawar menawar. Ulfi tersenyum saat salah seorang temannya menyapa. Itu Asti, kawan sebangkunya dulu. Kini anaknya sudah tiga. Ia menggendong seorang balita yang belum genap tumbuh gigi di tangannya.

"Belanja, Ul?" sapanya.

Ulfi mengangguk. Ia lantas menggoda si balita yang bergelayut di pundak ibunya dengan kain gendongan membelit punggungnya. Asti terlihat berbeda. Meski mereka sebaya, wajah Asti tampak lebih tua dari usianya. Mungkin karena beban hidup yang harus dipikul, di saat baru saja pelajaran SD ia tamatkan.

Ulfi tersenyum. Meski begitu, tak dapat dipungkiri, ia iri pada kawannya itu. Memiliki bocah-bocah lucu nan menggemaskan, adalah impian setiap wanita di usia menikah.

Diusirnya pemikiran melankolis yang tiba-tiba menyergap. Ia lebih suka diam menunggu, daripada berebut hingga memaksa untuk dilayani sang penjual. Beberapa ibu rumah tangga yang mengerubungi di sekitar Kang Maman mulai beranjak pergi. Menyisakan Ulfi, Asti, dan seorang wanita paruh baya. Ulfi mengenal wanita itu, karena mereka masih bersaudara.

"Eh, Ulfi. Beli tahu, Nak? "

Ulfi tersenyum menanggapi basa-basi si wanita. Ia membiarkan Asti lebih dulu dilayani. Anak-anaknya pasti sudah menunggu di rumah.

"Oh, ya, Ul. Denger-denger, bapakmu nolak laki-laki lagi kemarin?"

Senyum Ulfi tak lagi selebar pertama kali. Ia menggeleng pelan.

"Ulfi kurang tahu, Bi. Lagi pula, itu urusan Bapak." Bukan sekali dua kali ia mendapat pertanyaan semacam ini, dan itulah satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan.

"Kamu itu udah dewasa, Ul. Sesekali kamu harus berontak. Tengok, si Asti. Anaknya sudah tiga. Sedangkan kamu, masak sampai tua kamu mau terus begini. Apa bapakmu itu ndak kepingin punya mantu?"

Tertohok, Ulfi hanya diam dengan senyum masih melekat. Ia menyerahkan lembaran uang ribuan seraya menerima bakul berisi tahu dari Kang Maman. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih.

"Bi, Ulfi permisi dulu. Kang ...." Ulfi mengangguk ke arah si wanita dan Kang Maman. Langkah kakinya lantas membawanya menjauhi gerobak tahu itu.

"Kasian, ya, Kang. Umur segitu belum bersuami. Bentar lagi jadi perawan tua, dia. Kalau kata Mbah Puji, Ulfi itu terkena guna-guna penghalang jodoh, loh, Kang. Mungkin dendam dari laki-laki yang ditolak bapaknya itu."

Ulfi masih bisa mendengarnya. Dihelanya napas berat lalu diembuskan. Entah disengaja atau tidak, wanita yang dipanggilnya Bibi itu mengatakan keras-keras.

Yang jelas, ada sesuatu yang memukul keras dada Ulfi hingga ia merasakan nyeri di sana.

Baginya, jodoh itu adalah misteri. Sama misterinya dengan kehidupan ini. Sekuat apa pun ia berusaha, jika belum tiba masanya, tentu tidak akan menghasilkan apa-apa.

Sayangnya, tak setiap orang berpikir seperti dirinya.

Guna-guna?

Ulfi menghela napas sekali lagi. Semoga ia dijauhkan dari segala bentuk kejahatan, doanya dalam hati.

********

Kisah nyata lagi.

Ada yang mau menyimak?

Jangan lupa tinggalkan jejak. Silakan kritik dan saran untuk perbaikan tulisan ini.
😊😊😊

SantetWhere stories live. Discover now