Bag. 5

5.7K 326 19
                                    


Suasana sarapan pagi di sebuah rumah itu seharusnya menjadi ajang kumpul keluarga yang menyenangkan. Tempat di mana antar anggota keluarga bisa berinteraksi dengan yang lain, membicarakan banyak hal, bercanda, dan berbagi satu sama lain. Betapa banyak momen manis keluarga tercipta di atas meja makan.

Ya, seharusnya seperti itu. Akan tetapi, kesunyian mencekam, menggerogoti setiap perasaan orang yang duduk menghadap meja. Mereka terdiam. Hanya sesekali terdengar bunyi sendok beradu dengan piring. Andai tak ada satu kejadian yang membuat kegeraman itu tercipta, mungkin mereka bercanda seperti biasa.

"Lancang sekali si Faiz itu. Dia kira dia siapa, berani menolak anakku?"

Suara setengah mendesis itu sontak membuat yang lain menoleh menatapnya. Lelaki paruh baya berwajah keras itu memasang tampang siap menerkam siapa pun yang berani menyela. Giginya bergemelutuk, mengunyah keras-keras masakan istrinya. Sementara itu, berjarak dua kursi darinya, seorang pemuda menarik napas perlahan. Ia juga merasa geram.

Lamarannya kemarin ditolak mentah-mentah oleh ayah dari perempuan yang diinginkannya.

"Memangnya kita kurang apa? Dia sudah merasa kaya? Hah? Gajinya sebulan saja tak sampai secuil dari hasil panen sawahku. Sombong sekali dia. Lihat saja nanti!"

Tidak henti-hentinya lelaki itu merutuk orang yang ia anggap telah merendahkan harga diri keluarganya. Ia beralih menatap sang istri yang balas memandangnya dengan alis mata terangkat.

"Apa?"

"Aku akan menemui Mbah Puji nanti. Sementara itu, kau bicarakan hal ini dengan Ibu."

Perempuan itu mengangguk.

****

Rimbunan tanaman mawar terhampar indah di tanah seluas 3 meter itu. Kelopaknya yang baru mekar kemarin, basah oleh air hujan semalam. Begitu pula daun-daunnya. Tumbuhan lain, beringin bonsai dalam pot, berderet-deret menghiasi depan teras rumah sederhana itu. Lantai teras dari keramik kuning yang baru dipasang sebagian, dindingnya pun belum terpoles semen. Hanya tumpukan bata membentuk hunian jauh dari kata mewah. Meski begitu, ketenangan dan keasrian terpancar jelas dari wajah-wajah penghuni rumah. Bukti nyata bahwa kebahagiaan bukanlah berasal dari harta semata.

Berdiri di depan pintu rumah itu, seorang lelaki mengamati hamparan kuntum bunga mawar dengan senyum simpul. Menanam dan merawatnya hingga secantik sekarang ini bukanlah perkara mudah. Butuh ketelatenan dan kesabaran lebih. Lelaki itu memang menyukai tanaman apa pun. Mawar khususnya.

Lelaki itu mengedarkan pandangan. Masih dengan kedua tangan tertaut di belakang tubuhnya. Langkah-langkah kaki mendekat membuatnya menoleh.

Tersenyum pada wanita yang baru datang.

"Pak," panggil wanita itu ragu-ragu.

Faiz menaikkan sebelah alisnya. Menangkap keraguan yang membias di wajah istrinya. Pasti ia hendak menyampaikan sesuatu, tetapi tertahan.

"Ada apa? Katakanlah."

Ibu Ulfi menarik napas sebelum mengutarakan beban pikirannya selama dua hari ini.

"Kenapa Bapak menolak Romi?" Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu. Kalimat yang ia tahan-tahan. Selama ini, ia memercayai apa pun keputusan sang suami. Hanya kali ini saja, ia mempertanyakannya.

Faiz menatap wajah istrinya. Sorot kecewa dan heran tersirat jelas di raut muka wanita itu. Ia memandang teduh. Alisnya berkerut.

"Aku bukannya membenci Romi. Tidak. Aku juga tak bermaksud merusak ikatan persaudaraan. Hanya saja ... ini terlalu beresiko. Kamu tahu sendiri, kan, Romi kalau berbicara dengan orang tuanya sering kasar. Jika pada ayah ibunya saja ia bersikap seperti itu, bagaimana dia akan memperlakukan anakku? Lagi pula, pernikahan antara saudara ini jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu, akan jauh lebih buruk akibatnya daripada menjalin ikatan dengan orang lain. Tapi, bukan berarti aku mengharap sesuatu buruk itu."
Faiz memandang lurus ke depan. Ke arah Ulfi tengah bercanda dengan adik bungsunya. Gadis itu memang sangat cakap merawat sang adik. Di awal-awal ibunya melahirkan dulu, Ulfi-lah yang menggantikan pekerjaan sang ibu. Bahkan hingga memandikan dan mengganti pakaian si bungsu.

SantetWhere stories live. Discover now