Santet

5.7K 339 56
                                    


Seluruh wajah yang ada di tempat tersebut memucat, tak terkecuali wajah Faiz. Pias, tangannya mengepal erat. Pak Lurah menangkap gelagat tak nyaman dari lelaki itu, berusaha menenangkannya.

"Sabar, Pak. Biar dia selesaikan ucapannya."

Faiz menatap sekilas wajah khawatir Pak Lurah lalu mengangguk.

Lain halnya dengan Haris yang menunduk takut-takut, dan menjelaskan semua hal dengan terperinci, Mbah Puji sepatah kata pun tak membuka mulut. Ekspresinya mengeras.

"Kami hendak menyerang Faiz. Tapi dia terlampau kuat. Santet itu malah masuk ke tubuh putrinya. Telanjur basah, nyemplung sekalian." Belum selesai ia mengucapkan kalimat terakhirnya, Pak Syafii menendang dari belakang saking emosinya.

"Sabar! Sabar! Kita jangan main hakim sendiri. Saya minta keluarga kedua orang ini datang ke sini, sekarang juga!" Nada tegas dari Pak Lurah, diikuti dengan patuh oleh dua lelaki di sana untuk menjemput keluarga mereka.

Sedangkan Faiz, laki-laki itu terduduk dengan wajah lesu. Kedua tangannya menutup muka. Marah, kecewa, juga sedih luar biasa, tak bisa ia singkirkan begitu saja. Pria mana yang terima keluarganya diusik orang-orang tak bertanggung jawab? Ia mengembus napas kasar.

Tak seberapa lama kemudian, beberapa orang lebih banyak dari yang seharusnya, memadati balai desa tersebut. Penangkapan dua orang itu rupanya sudah menyebar luas. Tak terkecuali di sana, ibu Ulfi menghampiri suaminya dengan wajah berderai air mata.

Sidang yang dipimpin Pak Lurah berlangsung malam itu juga. Beberapa bahkan terlihat tak sabar ingin menghajar dua orang dengan kepala tertunduk di depan.

"Aaarrgh!" Jeritan kesakitan dari arah belakang membuat semua yang hadir di situ menoleh.

Faisal, putra bungsu Haris yang hadir di persidangan itu, memekik kesakitan, memegangi lehernya. Kepala mendongak. Tubuhnya bergetar hebat.

"Ya Allah, Nak! Kenapa kamu, Nak?" Istri Haris memekik ketakutan.

Fokus orang kini tertuju pada si remaja tanggung tersebut. Pecah, suasana mulai tak kondusif seperti sebelumnya.

Faiz merasa ada yang aneh. Ia mengedarkan pandangan, dan mendapati Mbah Puji menatap, lebih tepatnya melotot pada sesuatu tak kasat mata. Tanpa berpikir lagi, ia mendekati lelaki paruh baya itu, lantas memegang bahunya.

Sontak, Mbah Puji berteriak, "Lepaskan! Lepaskan, Bodoh! Panas!"

Ia terus menyerukan kata-kata itu berulang kali, hingga akhirnya Faiz melepaskan cengkeraman tangannya. Mbah Puji terbatuk-batuk.

"Ada apa ini?" Pak Lurah berusaha meredam kekacauan.

Aneh, Faisal mendadak seperti tersadar. Mulutnya masih mengalirkan darah, meski begitu, perlahan gerakan tubuhnya mulai terkontrol.

"Astaga! Kau berusaha menyantet anakku, Mbah? Dasar biadab!" Haris yang berjongkok di sisi anaknya, murka. Matanya membelalak tak percaya pada Mbah Puji. Ia bangkit berdiri, dan menarik laki-laki paruh baya tersebut, berusaha menghajarnya, andai tak dicegah beberapa orang di sekitar mereka.

Mbah Puji meringis kesakitan saat Haris mencoba mencekiknya. "Biadab, kau! Biadab!"

Ia mengembuskan napas memburu saat Haris akhirnya melepaskan cekikannya.

"Sudah! Sudah! Sekarang, kita lanjutkan sidang! Kalian semua setuju mereka diproses secara hukum?" Pak Lurah berseru di tengah keriuhan para warga.

"Setuju!" Jawaban para warga kompak, membuat kaki Haris lemas seketika. Istrinya terisak dalam pelukan.

Wanita itu lantas melepaskan pelukan, menyeret kakinya menghampiri ibu Ulfi yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Mbakyu mohon, Dik. Mbakyu minta maaf. Mbakyu dan Kakangmu memang salah. Tolong maafkan kami, Dik!" Ia bersimpuh, di depan kedua ipar yang sudah disakitinya.

Ibu Ulfi menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia menggeleng sesaat, sebelum meminta kakak iparnya berdiri.

"Jangan bersimpuh di depanku, Mbakyu. Jangan! Aku sudah memaafkanmu. Bagaimanapun, Mbakyu dan Kakang adalah keluargaku."

Isakan kedua perempuan itu semakin menjadi. Namun, sepedih apa pun, kenyataan tak berubah. Haris dan Mbah Puji digelandang ke sel tahanan, dan mendekam di sana hingga beberapa lama.

****

Tiga tahun berlalu dari peristiwa tersebut. Haris sudah bebas dari penjara, dan memutuskan memboyong keluarganya meninggalkan kampung halaman. Malu yang tak lagi tertanggung. Mereka akhirnya menetap di sebuah rumah kecil di sebuah desa Kabupaten Malang.

Ulfi telah menemukan jodohnya. Pernikahan mereka baru saja berlangsung beberapa bulan. Seorang santri sekaligus murid Faiz, kini menjadi suaminya. Berasal dari pulau yang sama dengan sang ayah. Madura.

Satu malam itu, Ulfi dikejutkan oleh pertanyaan sang suami yang tiba-tiba.

"Apa di sini ada yang namanya Mbah Puji?"

Tak dapat tidak, Ulfi heran. Tanpa sadar, ia menyentuh lengan suaminya.

"Dari mana Mas tahu?"

Sang suami hanya menggeleng kecil. "Aku bermimpi bertemu dengannya, semalam. Dia terus menerus menatapku, dan mengatakan semua ini belum berakhir. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ulfi menarik napas panjang. Berat rasanya mengingat kejadian menyakitkan tersebut. Peristiwa yang membuat seluruh keluarga besarnya terpukul hingga sang nenek sakit-sakitan.

Perlahan, akhirnya ia menceritakan semuanya. Sang suami manggut-manggut saat Ulfi menyelesaikan cerita.

"Ya sudah. Kita tidak boleh lengah. Pertebal keimanan. Banyak berzikir, mengingat Allah di mana pun kita berada. Karena hati yang kosong mudah dimasuki setan baik itu berupa gangguan fisik maupun mental."

Ulfi mengulas senyum, lalu mengangguk. Rumah tangga yang diidamkan sejak lama. Membangun sebuah keluarga bersama lelaki impian. Dia selalu percaya, jika sudah saatnya nanti, sang jodoh pun akan tiba.

Bukan karena Allah tak sayang, hanya saja menunggu saat yang tepat. Semuanya akan indah pada waktunya. Allah tidak akan pernah mengingkari janji.

****

Para pembaca sekalian,

Kalian percaya cerita ini nyata?

Ya, kalian harus percaya. Karena ini terjadi pada kakak sulungku, Ulfi.

Dan balita kecil dalam cerita itu ... adalah aku.

Terima kasih atas kesediaan membaca cerita ini. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah di dalamnya.

Aamiin ya Robbal Alamin.

Tamat

Bangkalan, 24 Februari 2019

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 24, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SantetWhere stories live. Discover now