Bag. 9

4.6K 236 11
                                    


Kelabu di sore itu. Mendung berarak di langit, padahal siangnya, matahari bersinar cukup terik. Seakan menyajikan harapan, akan ada hujan di penghujung hari. Entah tertepati, atau tidak, karena biasanya, di musim kemarau seperti ini, awan-awan berwarna hitam hanya selintas lewat. Tak pernah singgah.

Pohon-pohon Jati mulai meranggas. Pertanda kemarau menapaki puncak usianya. Pagi dingin menggigit tulang, disambut panas memanggang punggung petani saat siang merekah. Di mana-mana, orang-orang sama membicarakan persediaan air yang mulai menipis.

Perbincangan dua orang di saung sawah itu, menarik perhatian seekor burung kecil mendekat, lalu hinggap di pucuk ranting pohon terdekat.

Terdengar pembicaraan serius, tampak dari raut muka keduanya.

"Kau sungguh-sungguh, Nap?" Laki-laki paruh baya yang mengenakan kaos biru kusam, dengan celana pendek selutut, menyuarakan rasa penasarannya, masih dengan suara pelan.

Manaf—yang dikarenakan lidah penduduk desa berubah menjadi Manap—mengangguk.

"Serius aku, Kang. Mana mungkin aku berbohong?"

Lelaki pertama tadi tampak memicingkan pandangan. Selayang ingatan berputar-putar dalam benaknya.

"Benar nanti malam?" tanyanya sekali lagi, memastikan.

Manaf mengangguk. "Aku denger sendiri, tadi pas berangkat ke sawah, Kang. Sumpah! Telingaku masih normal. Kalau tidak percaya, Kang Syafii datang saja nanti malam."

Syafii, lelaki lebih tua, mengangguk. "Jadi, nanti malam usaha kita ngawasi mereka beberapa hari ini, gak akan sia-sia."

Manaf mengiyakan. "Kalau perlu, kita bawa RT dan perangkat desa—"

"Tidak usah!" Syafii menyela cepat. "Kita lihat dulu. Salah-salah, kita yang dituduh memfitnah."

"Baik, Kang."

Obrolan itu terhenti. Keduanya, dengan memanggul cangkul, pulang ke rumah masing-masing. Langkah kaki lamat-lamat seakan menegaskan pikiran mereka dipenuhi kecamuk menegangkan.

****

Malam baru saja menapaki usianya, saat samar-samar dua bayangan tubuh manusia mengendap-endap di balik kegelapan, kentara benar agar tidak diketahui orang lain.

Rembulan tersisa separuh di langit pekat, dua sosok lainnya mengikuti pergerakan sepasang sosok pertama. Di antara rimbunnya batang-batang bambu, terdengar aliran deras air sungai yang menjadi sumber penghidupan sawah petani.

Ada salah satu bagian sungai itu yang alirannya membentuk kolam, dengan batu-batu cadas mengelilinginya. Tempat inilah yang dikeramatkan banyak penduduk desa, meski kini, seiring generasi berganti, mitos itu pun memudar. Orang-orang biasa menyebutnya, Kali Gedung.

Dulu, konon kabarnya, ada gedung/bangunan di sana. Entah bangunan secara harfiah atau justru tak kasat mata. Mitos yang beredar di kalangan warga, Kali Gedung dijaga oleh makhluk setengah monyet, setengah ikan.

Kembali pada empat manusia yang berjalan mengendap-endap tadi, salah satu dari dua sosok pertama, begitu mendapati Kali Gedung terhampar di depan mata, dengan antusias, meletakkan barang bawaannya di sana. Sementara itu, satu yang lain lebih terlihat waspada. Tampak sekali dari gestur tubuh, ia cemas.

"Mbah, Mbah yakin kita akan mengadakan ritual di sini?" bisiknya pelan.

Lelaki yang lebih tua mengangguk. "Tentu saja. Ritual di sini lebih terjamin berhasil. Lebih kuat daripada santet yang kita kirim dulu."

Pria kedua menelan ludah. "Angker sekali di sini, Mbah. Mbah Puji tidak takut ketemu Kolo Monggo?"

Suara tawa terbahak-bahak menggema. Mbah Puji menepuk bahu pria di sampingnya.

SantetWhere stories live. Discover now