BAB 1

28 4 5
                                    


Semakin malam, udara semakin dingin. Warna bangunan didominasi batu bata berwarna merah semakin redup terlihat. Hanya lampu jalanan berwarna perak menyinari setiap jejak langkah.

Dinginnya kota Toulouse membuat orang-orang berlindung di rumah mereka. Tentu dengan penghangat ruangan. Di sekitar jalan Place Saint-Sernin sangat sepi sekali. Tak ada yang melintas kecuali aku yang terpaksa lewat gereja Basilique Saint-Sernin de Toulouse. Terpaksa melewati jalan ini, karena rumah kakakku yang berada di Rue Saint-Bernard. Jaraknya dengan gereja hanya sekitar 100 meter.

Aku salah memilih waktu berkeliling. Place du Capitole Toulouse memang agak ramai malam ini, namun ketika berjalan ke gang-gang kecil, jangan berharap menemukan keindahan kota Toulouse di siang hari. Semua terasa seperti berwarna abu-abu gelap dengan kabut dan lampu jalan berwarna perak.

"Je vous ai dit notre relation terminée!" seseorang dengan nada suaranya yang memekik berkata keras. Arahnya datang dari belakangku. Sementara, langkah sepatu heels-nya bersuara. Ia tak sendiri. Ada langkah sepatu pria yang cukup berat mengimbangi langkahnya. Pria itu berkata dengan bahasa Perancis yang sangat cepat sambil emosi tak karuan.

Hingga, wanita itu tak menyadari menubruk lengan kanan-ku saking juga emosi pada pria-nya. Mereka masih berdebat sampai diujung gang. Kanan dan kiri mereka bangunan merah bata bercampur warna gelap.

Dari belakang, aku melihat pria itu semakin kesal karena permintaannya tak digubris si wanita. Pria itu kemudian menarik kerah mantel si wanita. Ia mendorong dan mendesaknya ke tembok bangunan.

Aku bergidik ketakutan sambil kebingungan. Takut karena melihat pertengkaran mereka, juga bingung haruskah aku menolong wanita itu? Aku tak ingin ikut campur.

Namun, ada sebuah adrenalin yang membuncah membangunkan keberanianku ketika pria itu mengambil sebuah benda kecil dan runcing dari saku celananya. Lalu, ia menodongkan pisau kecil itu ke pipi wanitanya.

"Wait! Don't do that!" teriakku sambil berlari menghadang pria itu.

"Ne pas interferer!" desisnya. Berhadapan dengan pria yang lebih tinggi dariku itu membuatku bisa melihat tampilan wajahnya yang penuh emosi dan garang.

Pria Perancis itu semakin galak dan mengumpat dengan bahasa yang tak ku mengerti dan sangat cepat. Sementara, wanita di belakangku ketakutan dengan nafas yang tersengal-sengal. Pegangan tangan pria itu makin kuat menarik kerah sang wanita.

Aku ingin melawan pria itu. Namun, ada yang harus ku hindari. Aku harus menghindari tatapan mata-nya. Semakin garang dan semakin pekat mata hitam pria itu terlihat, kepalaku semakin pusing. Mulai ada suara-suara kecil yang menggaung di telingaku. Suara itu, semakin tajam terdengar ketika aku mulai tak sengaja melihat mata pria itu. Ini sebuah kutukan.

"dia berselingkuh dan ingin pisah dariku! Lebih baik ku bunuh saja dia!" suara itu terdengar ketika aku melihat matanya yang menyalak dalam. "bunuh dia!" suara itu terdengar jelas ketika makin membuka diri untuk melihat lama matanya. Ini seperti terhipnotis. Ragaku mulai tak sesuai dengan apa yang ku inginkan.

Suara itu masih memerintahku. Otakku merespon dengan menyuruh semua syaraf dan sendiku bergerak. Di dalam hati, aku mulai menyumpahi diriku yang lagi-lagi melakukan hal ini. Mataku hanya menatap satu titik. Kosong. Hingga kepalaku menoleh tanpa ku inginkan menatap pisau yang pria itu pegang.

Aku berbalik pada si wanita. Wanita itu menatapku dengan tatapan memohon ampun. Kepalanya digeleng-gelengkan agar aku tak melakukan apa yang pria itu inginkan. Tapi, tanganku yang memegang pisau perlahan-lahan terangkat dan siap menghunus wanita itu.

Ante Meridiem #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang