BAB 2

16 3 0
                                    

Aku menjejakkan kakiku di tangga eskalator kantor dengan penuh was-was. Aku memperhatikan di sekelilingku, bersiaga kalau ada yang membicarakanku pasca-peristiwa aku yang menampar staf sekretaris redaksi dengan tak sengaja. Ya, harus aku tegaskan aku tak sengaja karena itu bukanlah niatku untuk melakukannya.

Meski, di tangga eskalator aku merasa aman, tapi ternyata masuk ke dalam ruangan newsroom sebuah stasiun televisi yang penuh dengan banyak orang membuatku deg-degan tak karuan. Ini rasanya seperti aku berada pertama kali menjadi karyawan baru di ruangan yang sudah ku tempati 3 tahun belakangan ini. Rasa deg-degan bertemu dengan orang-orang baru menyeruak ke semua syarafku. Perasaan yang sangat aneh.

Tapi, yang harus ku lakukan pertama kali saat ini adalah menemui Lisa. Lisa staf sekretaris redaksi itu tengah sibuk di bangkunya. Tempat duduknya ada di tengah ruangan newsroom yang besar. Ia terlihat sendirian. Aku pun mendatanginya. Awalnya Lisa terkejut dan merasa tak senang melihatku. Ia mengeraskan rahangnya.

"Aku minta maaf karena telah berbuat seperti itu," ucapku yakin. Aku memang bersalah dan harus minta maaf.

"Baru sekarang mbak minta maaf?" Lisa kesal. "Kemana saja sudah seminggu lebih baru minta maaf," kata-katanya terdengar sewot. Aku sempat jengkel karena berani sekali dia, seorang staf sekretaris redaksi berkata seperti itu pada Produser sepertiku. Tapi, aku tahan emosiku karena aku tahu aku yang salah. Mungkin aku pantas menerima perkataanya.

Lisa nampak tak puas dengan apa yang Ia katakan. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menghadapku. Lalu, ia menatapku dengan penuh kekesalan. Dengan gerakan cepat aku menunduk. Bukan karena aku takut. Tapi, aku harus menghindari matanya atau sesuatu yang tak diinginkan bakal terjadi lagi.

"Maaf?" tanyanya sambil nada menyindir. "Tak semudah itu minta maaf!" Ia hampir berteriak. Membuat orang-orang di sekitar meja redaksi, termasuk teman-teman produser, koordinator liputan, editor dan beberapa orang lainnya menyadari pertengkaran kami.

Bukan maksudku ingin menambah panjang drama ini. Aku benar-benar ingin meminta maaf dan menutup buku permasalahan ini.

"Kenapa Mba menunduk?!" Lisa menghardikku. Astaga, wanita ini benar-benar mendramatisir keadaan. Sambil kesal aku sempat berpikir kalau dia kebanyakan nonton drama FTV. "Takut?!" katanya lagi.

Aku tidak tahan dengan perkatannya lagi. Ku tatap matanya dengan penuh berani. "Saya meminta maaf dengan tulus, bukan untuk mencari sensasi di newsroom seperti kamu ini," kataku.

Ia menajamkan matanya padaku. Mataku seolah terhisap ke dalam matanya. Pandanganku jadi blur dan buram. Seraya ada yang berbisik lagi di telingaku. "Berlutut!" teriak suara itu. Aku berusaha mengendalikan diri. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain selain mata perempuan ini. Aku mengedarkan pandangan. Terlihat beberapa produser mulai berdiri dari mejanya menyaksikan pertengkaran kami.

Aku tak boleh membiarkan "kelainan"ku ini muncul di saat-saat begini. Aku tak boleh membiarkan diriku menuruti apa yang ada di pikiran Lisa. Ia memintaku berlutut dan menyembahnya sambil meminta maaf.

Perintah "berlutut!" berkali-kali terdengar di kepalaku. Ragaku pun seperti terhipnotis. Badanku lemas dan lututku seakan-akan mati rasa. Aku menundukkan kepalaku dan kakiku tanpa seizinku mulai menekuk di lantai membuatku jongkok. Seperti ada yang mendorong badanku untuk jatuh, lututku pada akhirnya menempel pada lantai newsroom yang berkayu.

Ada beberapa orang yang menonton aksi kami, terpekik. Ia bersuara karena kaget. Seorang produser program utama berlutut di depan seorang staf. Sementara, hatiku meronta-ronta bukan main saking malunya.

"Berlutut saja tidak cukup ..." Lisa terdengar tidak puas. "Mbak harus ..." sebelum Lisa menyelesaikan perkataannya, aku merasakan lenganku ditarik ke atas oleh seseorang. Ia berjas hitam dengan sosok tinggi semampai. Ia menarikku hingga membuatku berdiri. Aku tak bisa melihat wajahnya yang membelakangiku. Tapi, aku bisa mencium wangi air dari parfum yang dikenakannya.

Ante Meridiem #GrasindoStoryIncWhere stories live. Discover now