BAB 3

17 2 2
                                    

Sambil mengetikkan kata-kata untuk LEAD atau paragraf pertama berisi informasi penting dari sebuah berita, otak bagian kananku mulai meracau. Di kepalaku mulai muncul bayangan sosok pria dengan mata cokelat kehitamannya yang malam itu menatap lekat padaku. Tatapan tajam namun membuatku tak berdaya.

Pandanganku masih terpaku pada monitor komputer di newsroom setelah kami selesai rapat program petang tadi. Tepatnya, aku tak bisa fokus dengan apa yang ku kerjakan. Masalahnya, di sebelahku adalah orang yang sesungguhnya paling sangat ingin ku hindari. Pria pemilik mata yang membuatku luluh itu.

Sebagai pendatang baru di program kami, Ezra tak mengalami kesulitan sama sekali menggunakan program yang dipakai kantor kami untuk mengolah berita. Nampaknya, ia juga sudah lihai. Aku sekali-sekali melirik ke monitor komputernya. Bertanya-tanya sambil memastikan apa kerjaannya itu benar. Aku sudah seperti senior yang sedang mengawasi dan siap mencari kesalahan juniornya.

Aku berlanjut untuk mendengarkan SOT (sound of tape) atau potongan dari pernyataan narasumber yang sudah didapatkan oleh reporter kami di lapangan. Sambil terfokus pada layar monitor, dengan yakin tangan kiri-ku ingin merogoh ear piece yang ada di sisi kiri meja.

Namun, hatiku terhenyak! Seperti jantungku berhenti mendadak satu kali detakan. Bukan ear piece yang kurasakan di jari-jariku, melainkan kulit yang halus. Aku menoleh ke arah sesuatu yang ku sentuh. Aku tak mampu lagi menoleh ke seseorang yang tangannya ku sentuh. Argh! Gumamku dalam hati. Mengapa tangan kanan dan mouse-nya itu di sebelah kiri-ku! Aku mengumpat penuh kekesalan sambil memperhatikan ear piece-ku yang berada di sebelah tangannya.

Pemuda itu tak berkomentar apapun. Tapi, pandangan matanya berhasil menghunus pipiku yang memerah. Aku segera menge-save pekerjaanku secepat mungkin, lalu langsung mematikan komputer di depanku.

Tanpa basa-basi dan penuh dengan rasa malu, aku segera bangkit dari tempat dudukku mengambil tas. Aku setengah berlari sampai Armi kaget dan memandangiku. Aku langsung mengambil alih komputer yang ada di paling ujung dari newsroom kami. Di mana pun, asal jauh-jauh dari presenter News Update itu.

Satu jam di tempat ini, aku mampu fokus dengan pekerjaanku. Aku berhasil membuat 3 item berita di segmen 1 seperti yang William minta. Aku juga telah berkoordinasi dengan reporter bernama Selina Ardiwiratama untuk laporan langsungnya nanti.

Aku beristirahat sejenak. Menghela nafas sambil merebahkan punggungku di kursi. Ketika mengedarkan pandangan, seseorang terlihat memperhatikanku. Pandangannya membuat hatiku tergelitik. Pemuda itu lagi.

* * * * *

Bumper in program petang terdengar melalui Control Room ruang siaran HKTV. Aku tidak bertugas sebagai show producer, tapi aku bersiaga di belakang kaca ruang control room, karena ada live report dari reporter dari lapangan di salah satu segmen yang ku pegang.

Dua orang presenter di dalam ruangan dengan background hijau di dalam sana mulai menyapa pemirsa. Presenter cowok dengan badan agak gemuk bernama Denny Roberto menyapa pemirsa yang menontonnya dengan cara yang lihai. Senyumnya terus mengembang sembari ditimpali oleh presenter cewek dengan kecantikannya yang luar biasa, Ratu Marina. Kharisma-nya membuat para kru di control room terutama yang cowok-cowok menjadi hanya terfokus padanya.

Raut keduanya yang tadi sangat ramah dan tersenyum saat menyapa pemirsa di rumah, langsung berubah ketika masuk pada berita pertama. Kali ini kami menyajikan informasi mengenai rentetan pembunuhan yang belakangan sering terjadi. Denny dan Ratu berhasil menyampaikan peristiwa itu dengan nada serius dan penuh penekanan. 

Hari ini, aku membaca media on-line dan membaca naskah dari reporter mengenai peristiwa pembunuhan di bilangan Jakarta Selatan. Pembunuhan satu keluarga itu masih didalami oleh pihak kepolisian. Belum ada motif yang menjadi kesimpulan.

Pikiranku buyar karena aku harus menelpon reporter dari lokasi kejadian. Aku masuk ke control room dan menuju telepon di meja panel. Setelah mengetikan nomor handphone Selina Ardiwiratama, nada sambung pun terdengar.

"Halo ..." jawabnya di seberang.

"Hai, Sel .. sekitar 10 menit lagi kita naik untuk live report ya!" kataku. "Please, stand by ..." kataku lagi. "Pertanyaannya sama seperti yang sudah kita bahas sebelumnya ya. Pertanyaan pertama bagaimana jalannya olah tempat kejadian perkara oleh polisi di sana? Dan kedua apakah pelaku sudah diketahui," jelasku.

"Siap!" Selina menjawab dari seberang sana. Nadanya menyatakan seperti apa yang sudah dia katakan. Ia sudah siap live report.

"Oke, naikkan gambar ya 5 menit lagi," tutupku.

Ternyata tak sampai harus menunggu 5 menit lamanya, kameramen Selinda di lokasi kejadian sudah sigap dengan menaikkan gambarnya. Muncullah gambar suasana rumah korban pembunuhan sekeluarga di Jakarta Selatan itu.

Saat masuk ke waktu iklan, aku menelepon Selina lagi. Kali ini aku harus menyambungkannya pada presenter di dalam sana. Denny yang akan memandu jalannya live report bersama Selina. Setelah memastikan Selina bisa mendengar suara Denny dan sebaliknya, aku pun harus memastikan tulisan yang ada di layar sesuai dengan apa yang diucapkan Selina sesuai dengan laporan langsungnya nanti.

Bumper in masuk program petang dimulai lagi. Aku memastikan Selina siap dilayar, sementara Denny berterima kasih kepada pemirsa karena masih setia menonton acara kami. Ia pun memberi pengantar kepada pemirsa bahwa reporter kami, Selin akan memberikan laporannya langsung dari lokasi kejadian pembunuhan satu keluarga.

"Selamat petang, Selina bisa anda jelaskan bagaimana jalannya olah TKP di sana?" Denny bertanya sesuai dengan skenario yang ku buat.

"Selamat petang, Denny. Olah TKP oleh pihak kepolisian di kediaman Rikardo Nemas masih berlangsung hingga petang ini ...." Selina melaporkan data-data yang ia dapatkan kepada Denny sekaligus kepada pemirsa yang menyaksikan siaran kami.

Beberapa data  yang ku peroleh dari laporan Selina adalah jenazah para korban yaitu Rikardo beserta istri dan kedua anaknya sudah dibawa ke Rumah Sakit kepolisian. Selain itu, Selina juga menjabarkan kronologis pembunuhan berdasarkan saksi. Saksi yang ditanya oleh Selina adalah asisten rumah tangga dan tetangga yang ada di samping rumah mereka. Para saksi mengatakan, pembunuhan terjadi pukul 11.30 Waktu Indonesia Barat. Terdengar suara teriakan salah satu korban, namun tetangga sekitar kehilangan pelaku yang membunuh satu keluarga itu. Salah satu saksi juga mengatakan bahwa pelaku cukup lihai karena tak meninggalkan jejak sedikit pun.

Awalnya, aku merasa kejadian ini hanya peristiwa yang 'biasa saja'. Maksudku, bukan aku menyepelekan pembunuhan satu keluarga dan tak simpati dengan apa yang terjadi pada para korban. Maksudku adalah aku berpikir bahwa ini hanya akan menjadi kasus yang lewat begitu saja. Namun, melihat beberapa kasus belakangan, ini membuat aku dan juga redaksi kami berpikir sudah menjadi sebuah fenomena. Fenomena pembunuhan sekeluarga.

Jujur saja aku kepusingan sendiri memikirkan semua fakta yang ada soal kriminal. Bukan keahlianku menganalisis soal kriminal di dunia jurnalistik seperti begini. Aku lebih fokus pada persoalan politik dan megapolitan yang menyangkut orang banyak.

Semua pikiranku buyar ketika Selina telah selesai melaporkan informasi yang ia sampaikan dari lapangan. Selina mengembalikan ke Denny di studio dan Denny berterima kasih pada laporannya.

"Halo, Sel ... laporan yang bagus! Terima kasih ya!" pujiku pada Selina. Oke aku akui aku memang tak sepenuhnya memperhatikan laporan Selina karena larut pada lamunanku sendiri akan kasus itu. Tapi, tak ada salahnya memuji hasil dari sesama rekan kerja. Toh, laporan dia memang cukup baik dan lancar tadi.

Aku berterima kasih pada semua kru yang ada di control room dan juga William karena telah membantuku memperlancar laporan langsung Selina tadi. Setelah itu, aku membuka pintu control room. Terciumlah wangi parfum air yang sebelumnya pernah ku hirup. Wangi air yang menyegarkan.

Mataku terbelalak saking kagetnya. Sementara mata Ezra juga bertatapan denganku. Tatapannya tajam bercampur teduh.

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya. Suaranya yang berat itu membuatku sesak tak karuan. Aku hanya bisa menatapnya penuh dengan tanda tanya sambil jantungku berdegup kuat. Tak percaya, untuk pertama kalinya Ia membuka mulutnya untuk berkata padaku.

Ante Meridiem #GrasindoStoryIncWhere stories live. Discover now