BAB 4

15 2 0
                                    

Hatiku berdegup-degup tak sabar bercampur gelisah, selagi menunggu pemuda yang ingin bicara padaku. Ia memintaku untuk menunggu di lobby kantor setelah pulang kerja. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan? Apa itu? Memikirkannya malah membuatku gelisah lagi. Sementara pemuda itu muncul di televisi yang dinyalakan di lobby.

Aku mengamati penampilannya yang sedang menyapa para pemirsa untuk news update pukul 9 malam setelah program petang selesai. Tapi, aku tak bisa fokus pada berita yang dibawakannya karena langit di luar sana mulai terlihat mendung. Kilatan-kilatan cahaya juga terlihat. Aku jadi menimbang-nimbang apa aku harus menunggunya atau menghiraukan ajakannya untuk berbicara empat mata? Toh, besok pun aku juga akan masih bertemu dengannya.

Setelah menimbang-nimbang keputusan, aku memilih untuk mengabaikannya saja. Ku pikir, memangnya siapa dia bisa menyuruhku untuk menunggunya? Jadi, aku meninggalkannya yang masih memberi salam penutup untuk pemirsa-nya di TV.

Benar saja. Rasanya keputusanku memang tepat untuk pulang duluan. Langit di atas sana mulai menghitam. Ia rasanya bakal mengamuk dengan angin yang kencang. Saking kencangnya, ujung jaketku tersibak. Pohon-pohon juga mulai bergoyang-goyang diguncang angin.

Aku harus mempercepat langkah untuk sampai ke apartemenku yang tak jauh dari kantor. Jaraknya hanya 5 km, jadi aku masih bisa berjalan kaki ke sana. Tapi, tak sampai beratus-ratus langkah, titik-titik air mulai jatuh. Aku mendongak ke langit sambil bereskpresi penuh tanya mengapa tak dilimpahkan saat aku sudah sampai apartemenku. Bukannya berhenti, langit di atas sana makin menghujani-ku dengan titik-titik air yang besar ke muka-ku. Rasanya sakit ketika titik air itu menetes ke pipiku karena saking kencangnya jatuh dari langit.

Aku memejamkan mata. Mengambil nafas. Udara petrichor, udara air bercampur dengan tanah, masuk ke paru-paruku. Aku menghirup udaranya lagi sambil merasakan titik-titik air mulai menyelinap ke kulitku melalui kerah kemeja.

Udara petrichor sangat menyejukan hati dan melegakan paru-paru, kan?

Ketika ku mengambil nafas lagi, ada wangi lain yang ku rasakan. Wangi air yang lebih terasa menyejukkan. Aku juga merasa titik-titik air tak lagi menerjang mukaku.

"Bukankah sudah ku minta menunggu?" suara itu membuat mataku terbuka. Pandanganku langsung menemukan wajah pemuda itu di atas wajahku. Sebuah payung berwarna hijau tua juga melindungi kami berdua.

Aku langsung berdiri tegak sebisa mungkin. Wajahku memerah antara malu dan kesal. Ya, aku merasa begitu malu ketika dia melihatku seakan sedang bermain-main hujan seperti anak kecil. Selain itu, rasa kesalku juga muncul karena pertanyaannya. Dia minta menunggu? Dia itu siapa berani memintaku?

Aku tak menjawab pertanyaannya. Sejenak aku menyadari aku tengah berdiri di depannya sangat dekat. Sampai jas hitamnya menyentuh jaket cokelatku di bagian punggung. Mengapa ia tak mengganti baju siarannya?

Aku juga harus pergi darinya sebelum aku tak sengaja menatap matanya yang bakal membuatku berbuat yang tidak-tidak. Sambil menghela nafas, aku melangkahkan kaki melewati batas payung hijau tua-nya yang melingkar. Titik-titik air dari langit terasa lagi menghujani ubun-ubunku.

Tapi, aku tak bisa melangkah lagi. Lengan kananku ditahan olehnya. Dengan sigap pula, ia melindungi kepalaku lagi dengan payungnya.

"Kau ... gadis yang waktu itu, kan?" tanyanya tanpa basa-basi lagi, meski aku masih membelakanginya. Tangannya masih berada di lengan jaketku. Jelas, pertanyaannya kali ini membuatku tergidik. Ternyata bukan hanya aku saja yang masih mengingat kejadian di malam itu. 

"Ya, itu aku!" jawabku sambil berbalik menghadapnya. Tapi, aku hanya bisa menunduk. Aku tak berani menatap matanya.

Lalu, ia membuat jantungku seperti berhenti satu detakkan. Jari-jarinya menyentuh pipiku. Rasanya dingin seperti es, mungkin karena kedinginan di tengah hujan begini. Aku yang masih seakan tak bisa bernafas, juga tak bisa menggerakkan tubuhku. Terlalu kaku dan terkejut seperti ada aliran listrik yang mengalir ke pipiku. Lalu, dengan lembut ia menengadahkan wajahku. Matanya berusaha menemukan mataku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 18, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ante Meridiem #GrasindoStoryIncWhere stories live. Discover now