Bab 6

2.6K 174 4
                                    

Salahkah bila rindu ini selalu tumbuh, bahkan ia telah memenuhi ruang di dalamnya.
.................

Aku masih menengadah pada langit yang hampir senja. Beberapa ekor burung terlihat terbang di atas sana, mungkin mereka ingin pulang ke sarangnya.

Burung saja ingat waktu pulang, kenapa kamu tidak?

Menghela nafas, mengenang kenangan bersama dia dulu salah satu kebiasaan yang sering aku lalukan. Kenangan itu tak pantas 'tuk dilupakan. Tapi, karena waktu telah menciptakan jarak begitu jauh, sedikit membuat hati ini lelah.

Sungguh!

Seolah mendaki gunung yang tak kunjung ketemu puncaknya.
Tapi aku yakin, kalau apa yang di nanti ini akan berbuah baik. Vino bukanlah tipe seseorang pengikar janji.

Masih di cafe Istana Roti, aku mengedorkan pandangan ke dalam ruangan. Suasan sudah semakin ramai, terlihat semua kursi sudah terisi penuh dengan para pengunjung yang bersantai. Ditemani secangkir kopi serta beberapa piring kue dan brounis  tertata rapi di atas meja-meja mereka.

Aku melirik jam di lengan, hampir satu setengah jam lamanya kami duduk di sini. Waktu yang tidak sebentar.

"Put, pulang yuk!" ajakku padanya.

"Nanti, tunguin dia selesai nyanyi dulu," aku mengikuti arah tunjuk Puput mengarah pada pria yang tengah bernyanyi di atas panggung.

"Yes, dia ganteng ya?"
Aku mengiringis mendengar ucapan Puput. Wajah bulatnya terlihat berbinar membicarakan pria di atas panggung itu,"Manis lagi, uuh gemes!"

Mencoba memperhatikan sejenak pria yang di bilang manis oleh sohibku. Penampilannya cukup santai, celana pendek berpaduan kaos oversized, serta topi bulat berwarna hitam melingkar di kepalanya yang terlihat wow. Sangat cocok bagi seorang musisi seperti dia.

Aku beralih memperhatikan Puput lagi. Kini ia masih senyam-senyum sendiri. Kedua pipi gembulnya memerah bak tomat mateng. Mengundang kecurigaan dalam diri ini. Apa ini alasan Puput tak ingin pulang cepat? Aku kembali memperhatikan pria bertopi, ajaibnya ia juga tersenyum ke arah Puput.

"Put, kamu kenal dia?"

Puput mengangguk antusias,
"Namanya Hades, masa kamu gak kenal sih, dia kan vocalis baru band Kriyuk, nanti dia bakal ngisi acara di sini terus, Yes."

"Ooh!" aku berohria sembari manggut-manggut. Saking sibuknya di dapur, sampai tak faham dengan seluk beluk Cafe. Apa lagi para personil band yang selalu tampil untuk menghibur para pengunjung. Hingga pergantian vocalis seperti apa yang di katakan Puput tadi.

Kudet banget kamu Ayes!

"Jadi kamu mau pulang apa gak nih? Udah terlalu lama kita ngundur waktu pulangnya."

"Ih, gak sabaran banget sih! Dikit lagi napa."

"Udah hampir adzan ashar nih, Put!" tekanku padanya. Puput hanya memajukan bibirnya kedepan.

"Nggak Gak mau pulang? Nggak papa, aku pulang duluan kalau gitu!" bangkit dari kursi tak lupa meraih tas yang aku letakkan di kursi satunya.

"Iya iyak, ikut deh!" ungkapnya.

Aku mengulum senyum. Puput ikut bangkit dari sana, dan jalan lebih dulu menuju tangga. Pandangannya masih tertuju pada Hades. Di sana mereka masih saling melempar senyum.

Gini nih nasip jomlo, berasa gak di anggap, Ngenes!

Tak ingin memaksa Puput dan tak ingin mengganggunya. Mungkin saja mereka tak hanya kenal, melainkan deket. Mungkin saja mereka ingin mengobrol sejenak. Aku melangkah melewati Puput, tanpa bilang padanya, menuruni anak tangga hingga lantai satu. Lalu terus berjalan keluar toko.

Tidak di dalam cafe saja yang ramai, di luar pun ikut ramai oleh para penyuka kuliner. Karena memang Istana Roti berada di deretan ruko-ruko yang menyediakan berbagai jenis makanan. Apa lagi sore-sore begini, jamnya para pembeli.

Melangkah santai ke arah jalan pulang. Kedua tangan menggengam tali ransel kiri kanan. Sempat aku berpapasan dan menyapa karyawan mpek-mpek palembang sebagai tetangga toko roti. Pengunjung mereka juga tak kalah ramainya.

Lagi enaknya melangkah, ada sesuatu yang menggagu pemandanganku. Sungguh, aku kira dia tidak akan menunjukan wujudnya untuk sekarang ini.

Harun Abizar!

Entah sejak kapan dia berdiri di sana. Bersandar pada dinding mobil dengan senyum merekah padaku.

Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan pada adam satu ini. Apakah harus bersikap kasar? No no no, Ayesha bukanlah perempuan seperti itu.

"Assalamualaikum, Ayes. Akhirnya kamu pulang juga."

Aku mengeryit mendengar kata-kata Harun. Apa dia sudah lama menunggu di sini? Pandanganku beralih pada mobil sedan silver yang terparkir seenaknya di tepi jalan. Memang sih jalanan di sini itu lebar, dan jarang macet. Tapi hal seperti itu bisa menggangu ketenangan pejalan kaki bukan? Contohnya seperti aku, pulang dan pergi kerja jalan kaki. Jujur saja aku tak suka sama orang-orang yang tak memiliki aturan seperti itu.

"Wa'alaikumusalam!"

Pria berpakaian kemeja merah itu  tersenyum. Entah sejak kapan dia jadi seorang yang doyan senyum. Padahal waktu SMA dia termasuk manusia yang irit senyum. Dia akan tersenyum seperlunya jika itu penting. Itulah dia yang aku kenal dulu.

Aku tak bergeming, memandangnya dengan malas, berharap dia faham dengan maksud ini.

"Aku antar pulang, ya. Lagian sekarang juga udah sore banget, kamu juga capek kan kerja seharian kalau jalan kaki."

Menghela nafas, nyatanya dia itu bukan orang yang peka. Ingin rasanya menolak. Tapi bagaimana cara menolak? Ah, aku menyasal tidak menunggu Puput untuk pulang bareng. Setidaknya Puput bisa jadi alasan aku seperti sekarang ini.

"Sebelum ke sini, aku juga udah minta izin sama Ayah kamu kok, Yes. Untuk jemput kamu."

What? Izin ayah? Jadi dia lebih dulu ketemu ayah. Wah parah nih orang. Kenapa harus ajak-ajak ayah segala.

Aku benar-benar tambah tidak suka dengan sikap dia!

"Aku lagi pengen pulang sendiri, lagian jarak rumah dari sini juga deket."

"Akan lebih deket lagi jika naik mobil bersama aku kan."

"Makasih, lain kali aja, Harun!" ingin melanjutkan langkah, tapi suara Harun menghentikan aku.

"Apa salahnya sih kamu mau dan trima tawaran aku, Yes. sekalian kita bisa mengobrol di jalan nanti, biar saling kenal satu sama lain kan."

"Loh, kok kamu jadi maksa gitu!"

Harun tergagu,"Ma-maaf, maksud aku bukan gitu, Yes."

"Apanya bukan gitu, aku nggak suka ya di paksa-paksa!" nada suaraku sedikit meninggi.

Emosi, baru kali ini aku merasakan amarah yang menggebu-ngebu pada seseorang. Buru-buru beristigfar, dan menenangkan diri untuk tidak terpancing lagi.

Tak ingin berlama-lama berdiri di sana. Yang ada masalah akan terus memanjang. Aku melanjutkan langkah ke depan. Melewati si burung unta dengan hati gondok. Gimana tak kesal, di rumah selalu dapat tekanan tentang perjodohan, di sini dia seenaknya main paksa. Memangnya dia siapa?

Sedih, kesal, marah, semuanya tengah aku rasakan sekarang. Dan nanti jika tiba di rumah. Apa lagi yang akan aku dapatkan. Omelan ayah? sikap cueknya bunda? Apa lagi?

Ya Allah, aku pasrah apapun itu.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Where stories live. Discover now