10

32.2K 3.7K 535
                                    

-

-

-

Pagi itu Jaemin terbangun dengan gejolak tidak menyenangkan diperutnya. Sesuatu memaksa keluar dari mulutnya. Ia berjalan dengan sempoyongan menuju kamar mandi yang berada di dapur, Jaemin memuntahkan isi dalam perutnya. Tidak sampai disitu, rasa mualnya masih berlanjut bahkan sampai perutnya tidak bisa mengeluarkan apa-apa lagi. Ia menjadi lemas tidak sanggup berdiri.

Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pelakunya, Jeno tanpa bertanya memijit tengkuk Jaemin, membuat Jaemin kembali mengeluarkan suara sendawa yang terdengar mencekik.

"Kau tak apa?"

Jaemin ingin mengumpati Jeno. Namun ia tidak memiliki tenaga hanya untuk beradu mulut. Sudah sangat jelas jika ia tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Apa kita perlu ke dokter? Jangan khawatir aku masih punya uang tabungan. Aku takut kau kenapa-napa." Jeno ikut berjongkok di sampingnya. Jaemin bisa melihat jika Jeno dalam keadaan tidak memakai baju. Hanya memakai celananya saja dan Jaemin cukup merasa malu sempat mengingat bagaimana mereka menghabiskan malam panas dalam keadaan sadar sepenuhnya.

"Tidak perlu." Jaemin menggeleng. "Ini normal." Ucapnya.

Jeno menghela nafas.
"Aku tau, tapi kau berbeda. Kehamilan laki-laki jauh lebih berisiko." Terangnya. Jelas sekali Jeno sangat terlihat khawatir, masalahnya Jeno hanya takut, Jaemin seperti ini karena dirinya.

"Tidak perlu. Jangan berlebihan. Dokter bilang aku sehat."

"Aku hanya takut kau begini karena ulahku."

Jaemin mendelik. Ia mendengus mendengar ucapan Jeno. Ini memang sepenuhnya karena ulah Jeno.

"Kau lupa, ini juga karena ulahmu." Sinisnya. Ia kembali mual setelah mengatakan itu. Jeno kembali memijit tengkuknya dengan raut wajah cemas.

"Aku tidak akan mengulanginya lagi kalau begitu. Lain kali tolak saja aku, dengan begitu kau tidak harus merasakan ini." Jeno berkata. Jaemin ingin berteriak marah namun ia benar-benar kehabisan tenaga, sampai kapan Jeno akan salah mengartikan ucapannya. Mereka tidak akan mendapati ujung pembicaraan jika terus begini.

"Jeno, aku begini karena perbuatanmu dua bulan yang lalu, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang kau lakukan padaku tadi malam, dalam tubuhku sudah tumbuh janin, dan ini normal untuk setiap orang yang tengah hamil, kau harus mulai membaca lebih banyak buku mulai sekarang." Jelasnya. Jaemin bisa melihat semburat merah menghiasi kedua pipi Jeno. Namun Jeno segera berdeham menghilangkan rasa malunya. Jeno merona adalah sesuatu yang baru bagi Jaemin.

"O-oh, maafkan aku kalau begitu.", ucapnya. "Apa yang bisa aku lakukan sekarang?" Tanyanya kemudian.

Jaemin menggeleng. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan, Jaemin hanya ingin berdekatan dengan Jeno itu saja, tapi Jeno tidak pernah mengerti bagaimana memanjakannya.

"Jen, aku ingin memelukmu..." ucap Jaemin. Kepalanya sudah jatuh di pundak Jeno. Menelusup di lekukan lehernya menghirup bau tubuh Jeno yang di sukainya.
seketika rasa mualnya menghilang begitu saja.

"Kau boleh memelukku sepuasnya." Jeno menjawab, tangannya mengelus punggung Jaemin dengan pelan.

Merasa tidak ada pergerakan apapun dari Jaemin, Jeno memilih mengangkat tubuh ramping itu, membawanya kembali ke tempat tidur, ini masih terlalu pagi mereka bangun, masih ada waktu beberapa jam lagi untuk mereka kuliah. Jaemin sudah kembali tertidur sambil memeluknya dan Jeno terus mengelus punggungnya. Rasa kantuknya menghilang begitu saja.




Dear Nana [Nomin]Where stories live. Discover now