28| REMEDY

13.3K 1.6K 250
                                    

"Nanti ke Dapur jam berapa?"

Galuh menoleh kala suara Gandhi terdengar.

"Oh, sekitar jam limaan," gumam Galuh kembali menghadap kompor.

Dirinya sedang memasak untuk makan malam. Tumis brokoli, jamur kancing, bawang bombay dan irisan daging ayam tepung yang sudah ia goreng sebelumnya. Galuh menambahkan sedikit saus tiram. Ia mengaduknya pelan sebelum mematikan kompor lalu menuangkan masakan ke dalam mangkuk saji.

"Papa, kukunya masih ada tanah," ucap Galuh memperingatkan kala melihat warna kehitaman di ujung jemari Gandhi. Seperti biasa, seharian Gandhi berkutat dengan anggrek-anggrek kesayangannya. Pria itu mengamati kukunya, lalu berjalan ke wastafel.

"Nanti jadi ketemu Karim?"

Mendengarnya, Galuh terdiam beberapa saat.

"Iya," jawabnya berdehem. Wanita itu membersihkan konter, melepas celemek dan mencuci tangan di wastafel sementara Gandhi duduk di meja makan. Pria itu mengawasi putrinya, juga raut mendung yang hadir sejak dua hari lalu meskipun Galuh tetap bisa bersikap tenang.

"Mau Papa temani?"

Galuh yang duduk di hadapannya tertawa pelan. "Aku nggak papa, Pa."

Gandhi menghela nafas panjang, lalu mengangguk.

"Aku mau mundur," ucap Galuh tiba-tiba. Galuh menelan ludah dan memainkan tisu di tangannya. "Aku nggak bisa."

Gandhi menatap putrinya beberapa saat, mengamati bagaimana manik mata hitam itu berkaca dengan cepat.

"Papa hormati keputusan kamu, Galuh," kata Gandhi. "Tapi kamu yakin?"

Galuh mengangguk pelan.

"Itu cuma akan menyakitkan," bisiknya tercekat. Dia sudah berpikir penuh sejak kemarin hingga sore ini, dan dia tidak yakin jika dirinya akan baik-baik saja berada dalam pernikahan sementara dia punya mertua yang selalu memandang rendah dirinya.

"Aku nggak menyalahkan Tante Tiya. Cuma...aku nggak bisa kalau harus dipandang rendah setiap kali kami ketemu. Itu sakit soalnya."

Galuh menunduk kala pelupuk matanya memberat. Ia menggulung tisu dengan main-main di pangkuan.

"Bekas lelaki lain,"

"Bekas lelaki lain,"

"Bekas lelaki lain,"

Rasa sesak di dada datang bersamaan dengan matanya yang berair lagi. Dia pernah mendengar bisik-bisik yang serupa jahatnya. Tapi kala Tiya yang berkata, semuanya terasa berbeda. Salahnya juga, terlalu berbaik sangka pada Tiya yang pernah dia kenal di masa kecil. Kendala yang ia dan Karim hadapi, bukan kendala yang hanya butuh keberanian saja. Meyakinkan Tiya butuh lebih dari itu.

"Nanti aku bicara sama Abang," isaknya lirih. "Aku nggak bisa."

Gandhi terdiam. Ia memberi waktu pada Galuh untuk menenangkan diri. Karim sudah bercerita semuanya, tentu. Dia paham beberapa orang akan memandang sebelah mata pada kondisi anaknya. Hanya saja sebagai sesama orangtua, dia menyayangkan sikap Tiya yang tidak bisa menghadapinya dengan lebih bijaksana.

"Nggak mudah mengubah pandangan seseorang," gumam Gandhi. "Tapi mungkin Karim juga berusaha di sana."

Iya, Karim juga berkata demikian. Tapi, Galuh sanksi jika pandangan seseorang tentang sesuatu bisa berubah secepat itu.

"Papa nggak berhak ikut campur lebih banyak pada hubunganmu dengannya, Galuh. Tapi jika sudah menyangkut Tiya, Papa akan mengambil tempat Papa." Gandhi berkata dengan tegas. "Kemarin Papa tawari Karim, apa dia butuh bantuan Papa untuk bicara dengan Tiya. Tapi dia menolak."

REMEDY [PUBLISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang