12. Dandelion [17+]

9.5K 793 111
                                    

Krist bisa bernapas lega sekarang, pasalnya Singto sudah tidak mengurungnya di kamar selama 24 jam. Singto membiarkannya menghirup udara bebas disekitar markas, hanya sampai sana. Jika Krist berani kabur, Singto tidak akan segan untuk menghancurkan tempat tinggalnya.

Seperti saat ini, Krist sedang melihat orang-orang bertarung. Mereka setidaknya memiliki satu jenis keahlian bela diri. Sementara dirinya? Bertarung hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada jenis bela diri yang diterapkan oleh Krist.

Liu tidak bersamanya, gadis itu sedang ada di rumah sakit markas. Entah untuk apa. Krist juga merasa bisa jalan-jalan sendiri.

Brukk

Krist belonjak kaget ketika merasakan tubuhnya ditabrak. Ia memandang wanita berambut cokelat tengah membereskan barang-barangnya yang berserakan.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Krist sedikit tak enak hati. Wanita itu mendongak, memamerkan seulas senyum tipis. Krist tertegun, wajah wanita itu mirip dengan Liu. Hanya bedanya sang wanita memiliki iris berwarna cokelat sementara Liu hitam.

"Aku baik-baik saja. Maaf sudah menabrakmu. Aku buru-buru." Jelas wanita itu.

"Tidak apa-apa."

"Aku permisi." Sang wanita berlalu. Krist memincingkan matanya melihat kalung berbandul persegi lima. Krist meraih kalung itu, pasti milik wanita tadi.

"He, kalungmu jatuh!" Krist mendekati sang wanita. Menyodorkan kalung tersebut. Wajah wanita itu langsung sumringah. Ia mengucapkan terima kasih lalu pergi begitu saja dengan langkah lebar.

Krist terdiam cukup lama.

"Sepertinya aku pernah melihat kalung seperti itu." Lirihnya.

.
.
Selepas menyelesaikan jobnya, Singto mengajak Krist pergi. Awalnya Krist pikir Singto akan membawanya ke kashino seperti saat itu. Tapi ternyata Singto membawanya ke padang rumput yang ditumbuhi dandelion. Krist takjub, ia tak pernah melihat pemandangan seperti ini. Krist kira Thailand tak punya tempat semacam ini. Mata Krist sulit berkedip, ia sangat menyukai pemandangan dan suasana seperti ini.

"Kau sudah lama tak bertarung kan?" Krist menoleh kearah Singto. Pemuda itu memandang lurus kedepan. "Ayo bertarung denganku."

Singto melangkah mendahului dirinya. Berdiri ditengah padang rumput, Krist menyusul Singto. Keduanya menanggalkan pakaian yang dikenakan. Menyisakan celana panjang.

Singto bisa melihat bekas luka Krist yang mungkin tidak akan hilang, sementara Krist memandang intens tubuh tegap Singto.

Keduanya mulai saling menyerang. Singto begitu pandai mengatur gerakannya dan bisa membaca dengan baik gerakan lawannya. Sementara Krist tetap pada teknik yang tak terduga.

Tidak ada emosi didalamnya. Mereka benar-benar serius untuk mengukur kemampuan satu sama lain.

Sebuah pukulan keras Singto daratkan diperut Krist. Menyebarkan rasa perih dan nyeri diperut pria itu.

"Ketika perutmu diserang. Sebisa mungkin keratkan. Itu tidak akan membuatmu sakit. Memang sulit, tapi kemampuanmu dalam membaca gerakan lawanmu sedang diuji." Singto berucap, masih menggerakkan tubuhnya menghindari serangan Krist.

Krist memberikan sebuah tendangan dari bawah dengan tak terduga. Sanggup membuat Singto mundur dua langkah karena merasakan nyeri di dagunya.

"Ketika kau menggunakan kakimu, kau harus mengumpulkan seluruh kekuatannya disana. Gerakan gesit dan tidak tergesa-gesa adalah kuncinya." Krist membalas Singto. Keduanya tidak ingin terpancing emosi, karena sebuah pertarungan tidak boleh dicampurkan dengan emosi. Harus benar-benar murni untuk melindungi diri.

Fighter [SingtoxKrist]Where stories live. Discover now