BAB 5

103 28 12
                                    

Anak buah kapal Lindemann diam, mereka tidak bersuara dan hanya mendayung kembali mengikuti perintah kaptennya. Anak lelaki telanjang di depan mereka terlalu misterius dan mereka tidak mengerti mengapa Lindemann ingin membawanya serta ke Batavia.

Lindemann meneliti anak lelaki di depannya, bola matanya naik turun memindai tanda apapun yang dilihatnya. Usia anak lelaki ini mungkin sekitar 9 tahun. Ketampanannya terlihat dari wajahnya dan hidungnya yang mancung. Rambut hitamnya agak panjang dan sedikit ikal. Bentuk matanya indah seperti mata burung dengan manik mata yang tajam, memancarkan kecerdasan.

Menilik dari wajahnya, Lindemann tidak dapat menebak asal anak ini. Wajahnya bukan khas anak-anak Eropa maupun Amerika, bukan pula berasal dari dataran Hindia-Belanda yang mana berkulit gelap.

Kulit anak lelaki ini berwarna kekuningan, ketika matahari menimpanya kulit itu bersinar seperti dilapisi serbuk emas. Tanda tanya mulai timbul ketika matanya meneliti bahwa tidak ada tanda-tanda bahkan segores luka pun di tubuh anak lelaki di depannya.

"Darimana asalmu?" Lindemann memecah keheningan.

"Saya tidak tau, meneer. Saya terbangun dan berada disana. Tanah itu panas dan langit tidak berwarna." Semua yang mendengar keterangan anak lelaki itu terbelalak dan menahan nafasnya.

"Sudah berapa hari kamu ada disana, kind?"

"Hari?" Anak itu menggeleng, kemudian melanjutkan, "tetapi dua kali saya melihat matahari terbit." Sahutnya. Dua hari? Bagaimana anak ini bertahan hidup tanpa air dan makanan? Darimana pula ketahanan tubuhnya bisa melawan bau belerang yang menyengat itu?

"Apakah kamu lapar?"

"Apa itu lapar?"

"Perutmu bersuara dan terasa sakit disini." Lindemann menunjuk kepada perut anak lelaki itu. Anak itu menggeleng. Cemas, namun Lindemann tidak boleh memperlihatkannya pada anak buahnya, ia khawatir akan menyebabkan kepanikan sekembalinya mereka ke kapal.

"Apa itu?" Lindemann menunjuk pada semacam bulu sepanjang 50 senti yang terus dipegang anak itu di tangannya seakan-akan itu adalah senjata yang dapat melindunginya dari orang jahat.

"Bulu burung, meneer. Ini milik saya." Anak itu tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapih.

"Burung apa yang memiliki bulu sepanjang ini dan berwarna merah jingga terang seperti api? Dan diujungnya, benda apa itu yang berkilau? Boleh kulihat?" Anak itu menatap Lindemann lama sebelum dengan ragu-ragu menyerahkan bulu burung di tangannya.

Lindemann memperhatikan bulu burung itu, mendekatkan ke hidung dan matanya dengan penasaran. Ia membelai bulu burung itu dan menggesek dengan jarinya untuk menyelidiki apakah warna aneh itu adalah hasil pewarnaan ataukah asli. Bulu ini terasa asli dan tidak diwarnai, pikir Lindemann heran.

Ia membolak balikkan bulu panjang itu dan kemudian menatap diam pada ujung bulu burung yang berkilau bak tetesan embun. Lindemann mencoba menariknya lepas dari ujung tulangan bulu, anak lelaki dengan cepat mendekat dan mencengkram tangannya keras. Lindemann terkejut, darimana anak ini memiliki kekuatan untuk mencengkramnya setelah tidak makan dua hari.

Lindemann menatap manik mata anak itu yang marah. Ia menenangkan bocah itu dengan menangkup tangannya lembut dan mengangguk pelan. "Tenang, kind. Saya tidak akan merusaknya." Perlahan cengkraman itu melemah sebelum akhirnya anak itu mundur ke tempat duduknya lagi. Lindemann meneruskan analisanya pada bulu burung itu, ia mengangkat bentuk wajik yang berkilau itu ke arah matahari dan terkesiap, berlian?

Lindemann mengembalikan bulu itu ke anak kecil di depannya. Dahinya berkerut-kerut namun mulutnya terkatup diam. Sesampai sekocinya di atas, Lindemann menyerahkan anak kecil itu ke anak buahnya untuk diberikan pakaian dan makanan yang hangat kemudian kamar untuk beristirahat.

Lindemann bergegas ke belakang kemudinya dan dengan kekuatan penuh dia menjalankan kapalnya membelah laut menuju Batavia.

A Strand of Phoenix FeatherWhere stories live. Discover now