BAB 10

70 22 1
                                    

Lindemann sedang masuk ke kamarnya setelah sarapan pagi ketika telepon di meja samping sofa kulit itu berbunyi. Dengan langkah panjang, ia berjalan mendekat dan mengangkat gagang telepon untuk menjawabnya. "Hallo?"

"Good morning Meester Lindemann, maaf saya mengganggumu sepagi ini. Namun, anak itu ... saya rasa saya tidak bisa menerimanya, mungkin kamu bisa menjemputnya segera siang ini." Dahi Lindemann berkerut, kemarin Francis terlihat senang menerima anak lelaki itu dalam asuhannya, hari ini ia memintanya membawa anak itu keluar dari sana segera.

"Apa yang terjadi?" Lindemann dapat mendengar suara Francis yang berbicara tersengal-sengal dari ujung sambungan telepon, entah apakah karena ia telah menempuh berjalan cukup jauh dari kelas ke kantornya atau karena emosinya yang sedang meluap-luap.

"Sangat mengejutkan Meester Lindemann, anak itu berbicara dalam bahasa ke empatnya. Sejak kemarin dia tidak bicara dalam bahasa yang dapat kumengerti, saya tidak tau apa yang salah dengannya."

Hening ... "Meester Lindemann, kamu masih disana?" Francis memecah keheningan, ragu-ragu akan respon Lindemann.

Lindemann mengurut dagunya yang berjenggot sambil berpikir. Ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, "Miss Francis, bulu itu ... apakah ada padanya?"

"Ada sesuatu yang mengganggu mengenai benda itu, jadi saya menyembunyikannya kemarin." Aku Francis.

"Ya, perasaanku juga sama. Bisakah kamu mengembalikan padanya dan kemudian ceritakan padaku apa yang terjadi? Saya akan segera berangkat kesana."

"Baiklah."

Sambungan telepon terputus, Lindemann bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap. Kakinya belum lagi melangkah ketika telepon berbunyi untuk kedua kalinya. "Hallo?"

"Lindemann, ini s'Jacob. Sesuatu yang buruk akan terjadi." s'Jacob terdengar panik, gaung langkah mondar-mandir di kantornya yang luas terdengar sampai ke telinga Lindemann. Lindemann menunggu lanjutan berita dari s'Jacob. "Apakah kamu sudah mendengar berita sangat buruk mengenai gunung berapi?"

"Ah, s'Jacob ... belum, aku belum mendengar apapun."

"Pusat geologi Nederland di Buitenzorg mengabarkan bahwa letusan Krakatoa beberapa hari lalu memicu sederetan gunung api di sekitar Katulistiwa ikut bergolak." Ia mengangguk-angguk walaupun s'Jacob tidak dapat melihatnya. Lindemann tidak mengerti arah pembicaraan s'Jacob, menurutnya tidak ada yang mendesak mengenai informasi itu.

"Kamu tidak mengerti ya Lindemann ... jika seluruh gunung berapi di sekitar katulistiwa meledak secara berantai, maka bumi akan terbelah dua, yang artinya kiamat! Saya merasa pusing sekarang dan tidak tau harus menceritakan pada siapa, karena itu saya meneleponmu. Saya harap kamu berhati-hati dan saya mohon maaf jika sudah mengganggumu dengan berita ini."

"Jangan sungkan, s'Jacob ... suatu kehormatan bagi saya untuk mendapat berita ini langsung darimu. Terima kasih, saya akan berhati-hati."

Sekali lagi sambungan telepon terputus. Lindemann menatap telepon, tidak percaya pada pendengarannya. Seakan-akan guncangan kepanikan baru melandanya, kakinya terasa lemas dan ia berpegangan pada sofa untuk kemudian mengistirahatkan punggungnya di sandarannya yang empuk. Satu kali selamat dari bencana adalah sebuah kebetulan, tidak akan ada kali kedua dalam hal kebetulan. Ia menelan ludahnya, kiamat sudah dekat.

Butuh beberapa menit bagi Lindemann untuk pulih, ia teringat lagi pada janjinya dengan Miss Francis. Bukan waktunya untuk memikirkan masa depan yang tidak pasti, Lindemann bangkit dari kubangannya yang nyaman di sofa dan meneruskan langkahnya ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Setengah jam kemudian, Lindemann sudah dalam trem uap yang membawanya ke The Parapattan Weezen Gesticht.

A Strand of Phoenix FeatherWhere stories live. Discover now