BAB 21

45 15 0
                                    

Ujung lancip berlian yang berbentuk wajik itu melesat turun bersama Ravindra. Dengan segera berlian itu berubah menjadi pedang, bajanya yang setipis kertas mengkilap turun dan menebas ular emas itu menjadi dua tanpa perlawanan. 

Sebelah kaki Ravindra baru saja mendarat diatas dahan ketika kepala Taipan berbisa itu--beserta sisa tubuhnya yang menempel--meloncat ke arahnya. Matanya yang berwarna emas dengan pupil merah berbentuk almond menatapnya beringas. Mulut ular itu membuka sebesar-besarnya dengan elastis, mengeluarkan asap hijau yang tampak beracun dari dalamnya dan taring panjangnya berkilat tertimpa surai cahaya matahari yang menerobos dedaunan. Ular itu menerjangnya  menggunakan sisa energi gaib yang tertinggal dari potongan tubuh itu.

Membelalak, tangan Ravindra bergerak seketika bersama pedang yang di genggamnya, melindungi tubuhnya dari taring yang mengandung bisa mematikan. Bunyi keras memantul diantara pepohonan ketika taringnya beradu dengan pedang Ravindra. Semilir angin membawa dedaunan turun, sedetik kemudian dilihatnya mata Taipan itu menggelap tanpa nyawa. Jantung Ravindra berdegup kencang, potongan tubuh ular itu tidak jatuh terkulai dan tetap pada posisi menggigit pedangnya.

"Toto! Apa yang kamu lakukan?" Ravindra menengok, baru sadar dari keterkejutannya dan mendapati Toto sedang menyeringai lebar. Satu tangannya menahan kepala Taipan itu di posisi terakhirnya sementara tangan lainnya menampung tetesan bisa dari taring panjang itu ke dalam tempolong kecil yang didapatnya entah darimana.

"Tuan tidak tau bahwa sulit sekali menemukan seekor Taipan, apalagi sebesar ini. Mereka hanya muncul beberapa puluh tahun sekali sehingga racun ini sangat tinggi nilainya. Kita bisa menukarkan dengan sesuatu yang berharga nanti atau mungkin menggunakannya."

"Hati-hati dengan racun itu, To. Salah-salah kau sendiri jadi korbannya." Peringatan Ravindra dijawab Toto dengan kekehan. Setelah itu Toto menguliti ular malang itu dan menyimpan kulitnya beserta tempolong coklat itu ke balik satu-satunya helai kain di tubuhnya . Sementara Ravindra menyimpan kembali bulu burungnya kebalik pakaiannya dan menepuk-nepuknya untuk menemukan rasa aman.

Mereka segera melanjutkan perjalanan turun ke bawah dan mendarat mulus diatas tanah hitam berkerak dibawahnya. Toto meloncat-loncat, dari kakinya keluar asap ketika menyentuh tanah dengan segera ia meloncat ke punggung Ravindra. Tanah dibawahnya yang berwarna hitam menyerap sinar matahari yang terik, menjadikan suhu tanah panas seperti wajan diatas api. Ravindra tergelak, ia mengingatkan dirinya untuk berterima kasih pada Miss Francis yang memberinya sepasang sepatu baru sebelum dia terlempar kembali ke dunianya.

Dengan Toto di punggungnya, Ravindra bergerak rendah, membungkuk-bungkuk dan merapat pada setiap batang pohon yang dilewatinya. Dia tidak mau beresiko bertemu satu raksasa pun sebelum ia benar-benar tau bagaimana caranya membunuh mereka semua atau paling tidak mengembalikan mereka ke asalnya.

Ravindra mengikuti petunjuk Toto yang dapat mencium keberadaan darah panas, itulah sebutan makhluk gaib dan sebangsanya untuk manusia. Beberapa dari makhluk itu bisa mencium manusia dari jarak jauh, salah satunya bangsa tuyul. Ravindra berjalan perlahan tanpa suara, masuk ke barisan pepohonan yang rapat dan berdaun lebat. Cahaya sekeliling mereka mulai redup. Toto meloncat turun dan berjalan disisinya.

Jauh di depan, mereka dapat melihat bayangan hitam seorang dewasa yang juga berjalan mengendap-endap dalam bayangan pepohonan lebat sampai ke depan sebuah dinding batu yang tinggi dan besar. Mereka mengikutinya dan memutar arah, bersembunyi diantara belukar dan dinding batu agar dapat melihat lelaki dewasa itu dari depan.

"Itu dia, Tuan. Kau lihat pucuk dahinya? Tunggu sampai titik emas pada pucuk dahinya terkena matahari." Ravindra berjongkok di belakang belukar terdekat dengan dinding tanpa bergerak. Dalam gelap, titik emas itu mulai membesar seukuran kelereng.

Surai matahari menyelinap dari satu titik dan bayangan itu mendekatinya dan menengadah. Ketika titik emas itu bertemu cahaya matahari, batu di depannya terbelah membuka.

A Strand of Phoenix FeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang