Chapter 6

37 5 0
                                    

--OktaNova--

Pukul 16:15 sore. Seorang gadis dengan celana training dan juga kaos abu-abu setengah lengan keluar dari gerbang rumahnya. Gadis itu mengikat rambutnya ke belakang menyisakan beberapa helai dibagian samping kiri dan kanan wajah.

Telah menjadi rutinitas mingguan bagi seorang Okta untuk melakukan jogging di sore ataupun pagi hari. Seperti sekarang, gadis itu perlahan mengayun langkahnya mulai berlari.  Biasanya Okta akan berlari memutari komplek perumahannya dan kembali pulang. Jika dibandingkan melakukan jogging pagi atau sore hari, Okta lebih sering melakukannya pada sore hari. Selain mempunyai banyak waktu luang, melakukan jogging di sore hari juga terlihat lebih efektif karena di dukung sengatan matahari, jadi tenaganya lebih banyak terkuras.

Untuk jogging pada pagi hari, Okta biasanya hanya melakukannya di hari libur bersama dengan kembarannya.

"Aduh," cicit Okta ketika tubuhnya terjatuh akibat di tabrak seseorang dari arah depan.

"Eh, sori-sori." balas lelaki itu sambil mengulurkan tangannya berniat membantu gadis yang ditabraknya. Okta pun mau tak mau menerima uluran tangan tersebut dan perlahan kembali bangkit.

"Lo jalan gak hati-hati banget, sih?" ucap Okta kesal pada lelaki berhoodie itu.

"Maaf, gak sengaja." balasnya acuh tak acuh lalu berlau pergi melanjutkan langkahnya.

Sementara Okta menatap nanar lelaki itu. Sifatnya yang begitu membuatnya semakin kesal saja. Lelaki dengan hoodie abu-abu tanpa lengan yang menutupi hingga kepalanya, kemudian cara ia berbicara tanpa menatap lawan bicaranya, membuat kesan misterius bagi Okta. Namun gadis itu tak menggiraukannya, ia kembali melangkah kakinya tuk berlari.

Langkah Okta memelan ketika melihat sosok lelaki yang sedang memantulkan bola basket sendirian itu. Okta langsung menuju ke lapangan tersebut tang tak jauh dari posisinya sekarang.

Sebenarnya lapangan seluas ini awalnya di jadikan lapangan sepak bola di komplek ini. Namun, seiring berjalannya waktu lapangan ini telah berubah menjadi sarana berbagai permainan olah raga. Lihat saja, lapangan ini telah dibatasi dengan ukuran lapangan badminton, walau terdapat dua pasang gawang dan juga di sisi kanannya telah terdapat lapangan basket ukuran seadanya yang mana dibuat dari tanah sisi lapangan sepak bola.

"Dit," sapa Okta pelan. Dito yang tadinya hendak memantulkan bolanya kembali malah mengurungkan niat awalnya dan menoleh ke arah Okta.

"Elo, Ta. Gue kira siapa, tumbenan ada yang manggil gue," kekeh Dito.

Lelaki itu memantulkan bolanya Ke arah Okta, dan gadis itupun menangkapnya dengan sempurna.
"Gak ngajak gue, sih lo ke sini? Sendirian lagi, kayak orang galau."

"Yah, gue bosen aja di rumah sendirian makanya ke sini aja. Lo  pasti lagi jogging kan?" kata Dito membalas ucapan gadis di sebelahnya sekarang.

"Lo, sendirian mulu, deh. Kasian amat. Kalau ada apa-apa ceritain ke gue juga gak masalah, Dit," timpal Okta yang seolah paham dengan apa yang lelaki itu rasakan.

Okta memang mengetahui bahwa seorang Dito Ayongibrasta, adalah seorang anak broken home. Sejak empat tahun yang lalu, kehidupan di dalam rumahnya telah banyak terjadi kekacauan. Dan, dua tahun yang lalu ayah dan ibunya memutuskan berpisah. Dito adalah anak bungsu, ia miliki seorang kakak lelaki yang sekarang memilih nge-kos. Ibunya memilih tinggal bersama neneknya. Dan, tinggallah Dito sendirian yang terus-menerus kesepian karena sang ayahpun jarang di rumah. Begitulah, Dito. Mengenal Dito sejauh ini, membuat Okta telah mengetahui semau sisinya.

Terkadang lelaki itu memilih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan bahkan, ia tak jarang menerima pekerjaan paruh waktu walau ia bukan bukan sedang kekurangan. Okta tahu. Dan, karena ia lelaki mungkin tak begitu mudah berbagi keluh tak seperti kaum perempuan.

"Dit, ini kita main siapa yang berhasil masukin lima bola ini ke keranjang, berarti dia menang. Dan yang kalah bakal traktir es krim, gimana? Berani gak?" tantang Okta sembari memantulkan bola ke atas lantai semen tersebut.

"Oke, sip."

Keduanya terus memantul bola sesekali berlari dan melompat merebutkan bola yang sama untuk di masukkan ke dalam ring tersebut. Sejauh ini, Okta lebih unggul dengan tiga kali mencetak angka sedangkan Dito masih satu kali.

Permainan terhenti, kala Dito meronggoh sakunya memeriksa handphone miliknya bergetar.

Satu pesan masuk.

"Ta, lo ke sini gak bawa hamdphone lo, yah?" tanya Dito hati-hati.

"Iya, mang napa?" balas Okta enteng.

"Ini, Nova kirim pesan nyuruh Lo, pulang. Penting katanya."

Gadis berambut kuncir itu terdengar menghela nafas berat. "Yawdah, deh. Gue pulang dulu," lirih Okta.

"Tantangannya batalin, nih? Padahal lo menang, lho!"

"Iya, gitu. Kan kesepakatannya juga lima kali masuk bola. Gue masih butuh dua, lagi!" balas Okta sembari melangkah kan kakinya bergegas pergi.

Namun, Dito mengikutinya kembali.
"Ngapain, lo?" tanya Okta.

"Sekarang gue anteri lo dulu, deh. Besok-besok gue traktir lo es krimnya."

"Sama-sama jalan kakipun, pakek belagak nganterin gue, lo."

Dito mengulas senyumnya kala mendengar penuturan Okta.

"Gue, nganterin lo pakek ini kok. Udah buruan, naik. Depan, belakang?" ucap Dito. Okta yang melihatnya langsung bingung. Lelaki itu akan mengantarkannya dengan sepeda sport miliknya. Detik selanjutnya, Okta memamerkan sentumnya.

"Gue depan aja. Takut kalau belakang, lo modus lagi."

"Terserah, deh."

***

"Dit, tadi gue tuh di tabrak cowok aneh tahu, gak?" Okta memulai percakapan kali ini. Dito yang sedari tadi diam fokus mengayunkan sepedannya pun kini membuka suara.

"Siapa? Di tabrak gimana? Lo, gak kenapa-kenapa kan?" tanya Dito penuh kekhawatiran.

"Gue gak papa, selow. Cuma di tabrak cowok aneh di simpang tadi. Cowoknya sok iya bet, deh. Pakek hoodie siang-siang."

"Hm, ma-maksud lo cowok yang itu?" sahut lelaki tersebut sembari menunjukkan ke arah serong dari sekarang.

Okta melotot kedua matanya saat melihat kembali lelaki yang Dito tunjukan itu. Terlihat seorang lelaki tinggi memakai hoodie Yang sama seperti cowok yang menambrak Okta barusan. Posisi lelaki itu membelakangin jalan, ia hendak membuka gerbang dan masuk Ke dalam rumah tersebut.

Okta melirik Dito, lalu mengangguk tanda mengiyakan tebakan lelaki itu. Kemudian, setelah lelaki itu memghilang masuk ke dalam sana, Dito kembali mengayun sepedanya.

"Baru liat gue tuh, anak. Itu rumah Haji Tariq kan? Mungkin aja, ponakan, cucu atau saudaranya, Ta." Dito berujar.

Okta mengangguk saja.

--OktaNova--

OktanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang