Chapter 18

23 4 0
                                    

Karena saya tahu, di mana saya harus menempatkan hal yang semestinya ada pada tempatnya,
termasuk sifat saya.
-Okta Ascrilia Amareta

-OktaNova-

Nova berdiri diambang pintu kamar yang bernuansa gelap itu, hanya ada beberapa poster dan foto yang menghiasi dinding dongker itu. Dengan jengah ia menatap Okta dan juga sosok lelaki yang masih terbalut gips di bagian kakinya. Mereka berdua terlihat asyik dengan permainan di ponselnya, hingga tak menyadari keberadaan Nova di sana.

"Hati-hati, yah berduaan dalam satu ruangan, itu dosa!" pekik Nova dengan nada suara yang sengaja dibuat keras. Kedua orang di dalam sana seketika mendongkrak kepalanya, menatap Nova yang perlahan masuk ke kamar tersebut.

Okta bangkit dari kursi belajarnya dengan ponsel di genggamannya, ia menatap sinis kembarannya. Di atas kasur juga ada Dito yang setengah menidurkan badannya denvan punggung ia sandarkan pada kepala kasur. Lelaki itu mengutuk Nova dalam hatinya. Sedangkan, Nova dengan santainya duduk di bibir kasur tanpa bersalah.

"Kalian ngapain, sih? Berduaan pula, gak ajak, Nov."

Okta yang memakai baju kaos berwarna biru muda dengan bawahan celana jeans selutut, gadis itu tampak menghela nafas berat tak berniat membalas ucapan Nova barusan. Lalu, tatapan Nova jatuh pada Dito, lelaki itu hanya mengedik bahunya tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain masih fokus dengan ponselnya.

Sejenak suasana menjadi hening, Okta sibuk menata buku-buku yang ada di atas meja belajarnya. Hingga akhirnya suara teriakan Dito berhasil memecah keheningan. "Anjir, bentar lagi padahal gue menang, ah asem! Gak jadi dinner chikhen kan gue," geruntuk Dito keras.

"Gila aja, lo!" sahut Okta merasa kesal. Bagaimana tidak, ia lebih dulu mati dalam pertandingan tadi, akibat suara Nova barusan. Padahal mereka berdua sudah sepakat ingin menaikan rangking pertandingannya.

"Kak, besok Nov mau ke butik mami Esyi," celetuk Nova.

"Terus ngapain ngasih tahu gue?" balas Okta dingin, membuat Dito terbahak-bahak sendiri, padahal bagi Nova itu sama sekali tak lucu.

"Selalu aja kasar, jutek, dingin, cuek, sebenarnya Kakak itu beneran kembaran aku gak, sih? Niv cuma mau kasih tahu aja padahal,siapa tahu Kakak mau ikut," timpal Nova yang membuat tawa Dito semakin menjadi.

"Udahlah, Nov. Kakak lo ini emang udah dari lahir gitu. Tapi kan kalian cocok, saling melengkapi. Okta yang cuek, dingin, seimbang sama lo yang ramah, periang. Gitu-gitu juga kalian keluarnya dari tempat yang sama, adeuhh-" Dito meringis kesakitan kala Okta dengan tepat sasarannya melempar kepalanya dengan kamus setebal mungkin 8cm.

"Asem lo,Ta." pekik Dito. Sedangkan gadis yang dituju malah memasang muka sangarnya.

"Kak, ish kok malah berantem berdua sih, jodoh tahu rasa."

"Gue besok mau potong rambut, gak sempat nemani lo, ajak Gio aja sana dia kan pacar, lo!"

"Kok potong rambut, sih? Udah cantik gitu, kok, Kak." Nova menatap kembarannya penuh tanya.

"Risih gue rambut makin pajang gini, minggu depan mau ada tanding di Gor juga," jawab Okta apa adanya.

"Sedih gue, gak bisa ikutan." Dito yang sedari tadi menyimak, kini kembali ikut menimpali. Okta dan juga Nova menoleh ke arah lelaki itu, jelas dari raut wajahnya terbaca lelaki itu sedang sedih.

"Cuma tanding tingkat sesama kok, masih ada kesempatan lebih banyak lagi, Dit."

"Ah, Nov mau keluar, ah. Mau telfonan sama kak Gio lebih berfaedah, seharian ini dia gak ada kabar," ucap Nova beranjak keluar dari kamar Okta. Namun, tak berapa lama kemudian, Nova kembali lagi, sembari berucap, "lo berdua jangan macam-macam tuh, ditinggal berdua!"

Okta kembali menghela nafas beratnya, sedang Dito harus menahan tawanya jika tak ingin membuat dirinya menjadi sasaran pelampiasan kekesalan gadis sebelahnya.

-OktaNova-

Salam hangat,
~Molysa



OktanovaWhere stories live. Discover now