Hijaber 16

4.1K 228 1
                                    

Selesai melaksanakan sholat subuh, Naya tidak bisa menutup matanya lagi, padahal ini adalah hari minggu yang biasanya digunakan Naya untuk melanjutkan tidurnya dan bermalas-malasan untuk melakukan kegiatan.

Entah mengapa wajah Eza selalu terlintas dibenaknya, berputar-putar bagai bianglala. Sikap Eza mungkin sangat menyebalkan, tapi sikap itulah yang membuat gadis berumur 16 tahun merindukannya.

Naya akui bahwa Eza memiliki daya tarik dan Naya tertarik olehnya. Cowok itu mampu membuat jantungnya berlari dan melompat. Ini pertama kalinya Naya merasakan hal seperti ini, memikirkan dan terus membayangkan Eza berada di dekatnya.

"Apaan sih, kok bisa-bisanya aku mikirin dia?" rutuknya.

"Eh, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya dia itu baik, lucu, ya walaupun sok cool," ucapnya seraya memutar ulang kejadian-kejadian saat mereka bertemu.

Naya menghela napasnya kasar. "Daripada aku mikirin dia mending aku tadarusan terus baca novel."

Lalu, ia beranjak dari atas kasur dan mengambil Al-Qur'an yang berada di atas meja belajar.

***

"Eh, Mas Eza," sapa Hanna yang terkejut dengan kedatangan Eza.

"Iya, Tan, mau ketemu Naya."

"Oh gitu, yaudah Tante panggilin ya, kayaknya dia masih tidur deh."

Eza hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum yang samar.

Saat sampai di depan pintu, Hanna langsung mengetuk pintu dan langsung mendengar sahutan dari Naya.

"Lho, Nay, tumben udah bangun?" tanyanya saat Naya telah membukakan pintu.

"Bukan udah bangun, Ma, tapi Naya nggak tidur dari tadi."

"Tumben."

"Oiya, tuh ada Eza di bawah," lanjutnya dengan mengarahkan dagunya ke bawah, tempat Eza menunggunya.

"Eza?" tanyanya heran.

Hanna hanya membalasnya dengan anggukan.

"Yaudah aku pakai jilbab dulu, Ma."

Selesai memakai penutup kepalanya, Naya bergegas menghampiri Eza yang menunggunya di ruang tamu. Sebenarnya Naya malas untuk menemui Eza, tapi ia juga penasaran dengan kedatangan Eza yang tidak memberitahu sebelumnya.

"Ngapain ke sini? Mau nanya hal konyol lagi?" sinis Naya.

"Nggak. Aku ke sini mau ajak kamu keluar."

"Keluar mana? Ke halaman depan?" tanyanya yang kelewat polos.

Eza yang mendengarnya mengusap wajahnya mencoba bersabar menghadapi sikap polos gadis yang memiliki nama lengkap Naya Alesya Alodhea.

"Maksudnya jalan-jalan, Nay."

Naya yang mendengar penuturan Eza hanya ber-oh ria.

"Ke mana?"

"Tapi kan, aku nggak boleh jalan berdua sama cowok, kamu mau ajak Mama juga?" tanyanya lagi.

"Nggak berdua. Ada Ara sama sepupu aku, Fahim."

"Fahim?" tanya Naya dengan manautkan alisnya.

"Iya. Kenal?"

"Fahim Bramantyo?"

"Iya."

Naya mengembangkan senyumnya saat dugaannya benar. Mendengar namanya saja Naya sudah senang, apa lagi akan bertemu dengan orangnya secara langsung.

***

Eza kira membawa Naya jalan-jalan bisa mendekatkannya. Namun, dugaan cowok itu salah, justru Naya lebih dekat dan kelihatan sangat akrab dengan sepupunya, Fahim.

Ia bosan hanya mendengar cerita-cerita mereka berdua. Tujuan Eza membawa Naya hanya sia-sia, tidak ada istimewanya. Mungkin lain cerita jika Eza tidak membawa Fahim untuk ikut jalan-jalan dengannya. Tapi, jika membawa Ara saja pasti akan sangat canggung, mengingat mereka pernah sedekat nadi.

"Ternyata jalan-jalan kita ceritanya reuni teman kecil," celetuk Eza yang membuat Ara, Fahim dan Naya menatapnya.

"Maksudnya?" tanya Fahim.

"Iya lah. Kamu sama Naya saja sibuk cerita sendiri. Apa coba kalau bukan reuni?"

"Tau gitu, mending aku tidur di rumah!" Eza berdiri dari duduknya dan bersiap untuk pergi. Hatinya sangat bergejolak mendengar cerita Naya dan Fahim yang begitu dekat.

Ingin marah, tapi bukan siapa-siapa. Cemburu pun juga percuma.

Naya, Fahim dan Ara pun menatap kepergian Eza yang semakin menjauh. Kemudian, Ara juga ikut berdiri lalu meninggalkan Naya dan Fahim berdua.

"Kenapa tu mereka?"

Naya hanya mengedikkan bahunya. Jujur saja, sebenarnya ada rasa tidak enak kepada Eza, hatinya juga terasa perih saat mendengar seruan Eza yang begitu menyinggungnya.

"Kita susul mereka, yuk?"

"Yuk." Sebenarnya Fahim masih ingin bersama dengan Naya, tapi wajah Naya yang terlihat cemas membuatnya mengurungkan niatnya.

Mereka berjalan beriringan menuju mobil berwarna hitam yang masih terparkir rapi.

Ternyata masih nungguin, kirain bakal ninggalin, batin Naya kemudian ia mengembangkan senyumnya tanpa sepengetahuan Fahim.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now