Part 63 - Tembok Api

205 15 3
                                    

"Aku tidak mengenal orang-orang ini, aku tidak tahu dari mana mereka berasal, aku tidak merasakan kehadiran, aku tidak merasakan keramaian, aku merasa sendiri. Jika aku bisa memilih mempercayai orang-orang, aku lebih memilih mati. Aku lahir mengenal kaum-kaumku, aku dibesarkan oleh kalian, lalu kalian semua hilang bagaikan asap, meninggalkanku dan Matthew dengan orang asing yang tidak aku kenal, tidak aku percayai." Dia berdoa, khusuk, dalam, memohon pada tuhannya, mendengar kepercayaan dihati, merasa muak jika perlu. "Jika aku mati, aku tidak akan sendirian. Yang selalu aku inginkan hanya kembali bersama keluargaku, tidak pernah merasakan kesendirian di negeri terkutuk ini." Tangannya bergetar sama seperti suaranya. "Tuhan, laut, karang, ombak, matahari, bulan, langit, bawa aku malam ini jika aku sudah selesai di dunia ini. Bunuh aku jika mati adalah sebuah kebaikan untukku."

Teriakan di luar semakin membesar, ratusan prajurit asing berkeliaran mendengar bait perintah para atasan. Pemanah berlarian mencari pos dan menambah anak panah dalam tabung di tiap tembok. Suara sepatu berlarian membuat tanah melembek, berlumpur, licin dan lembab. Malam itu gelap dan begitu dingin, saat angin malam bersiul itu membekukan leher. Semuanya diketahui hanya dengan pendengaran, suara perang menakutkan. Tapi belum termasuk jeritan kesakitan saat sudah lepas kendali.

Kiana berdiri di balkoni utama dari tangga kastil menatap ujung laut dengan sinar rembulan. Semua teriakan membuatnya sudah mati, tidak ada penenangnya. Banyak titik api di laut, kapan yang menjaga perbatasan laut Torin, penyerangan bisa dari mana saja begitu yang didengar. Tapi dia berfikir, memutar skenario, apa yang harus dilakukan.

Perang di malam hari sangat melelahkan, orang barat di perbatasan utama garis terdepan mulai tumbang, penyerangan yang selalu dipersiapkan selalu membuat lawan kalah. Yang di Torin masih menunggu prajurit yang kabur menyelamatkan diri dari perbatasan utama. Penjagaan di setiap menara Torin diperketat, menjaga dari tembok saja adalah hal yang bijak bagi para prajurit itu.

Sendirian di dalam kastil tidak ada teman, terkadang Kiana turun mencari satu prajurit yang menjaga di dalam, terutama di jalan masuk menuju ruangan batu Zonela. Menanyakan mereka bagaimana di luar. Satu yang ia tahu bila Matthew tetap berada di luar dan ada kebakaran besar di pantai Pari sebelah kiri dari kastil, satu kapal terbakar, api berkobar besar di malam terlihat.

"Matthew," ia berbisik dengan pelan, ingin dia kembali saja ke kastil melindungi dirinya daripada orang-orang itu.

Saat duduk kakinya tidak tenang, jendela yang ditutup tidak berani dibuka karena nyala api diluar membesar dan mengecil. Ventilasi kecil masih membuat suara diluar masuk, bahkan naik hingga di istana. Lapar tidak ada lagi dirasakan, hanya mual, takut, dingin, dan menangkap Matthew lalu membawanya kabur. Menggunakan batu A'din, ke tempat terpencil, sembunyi, atau pulau lain, dimana pun asal bukan bersama orang-orang asing.

Pintu diketuk dua kali kemudian salah satu prajurit tua berzirah mengkilat itu datang. Semua wajah terlihat mengkerut, kening yang dilipat dan tangan yang selalu menggenggam pedang di sebelah kaki. Lalu dia menutup kembali, tapi ia masuk ke dalam tanpa berbicara sepatah kata.

"Katakan sesuatu." Kiana baru sadar yang datang itu pasti sesuatu yang buruk, maka suaranya bergetar dan ketus.

"Tak perlu anda mengetahui apapun tentang keadaan di luar sana yang mulia, perang tak ada yang bagus, kabar baik hanya datang dari para cacing di tanah." Ia menatap dengan tenang, memang tenang. "Minumlah, jangan khawatirkan mereka."

"Jadi mengapa mereka mengirimmu ke sini? Mengapa baru sekarang? Mereka berada di perbatasan mana?" Instingnya berjalan, dia bukan orang yang bisa membaca jalan perang, tapi ia tahu tingkah orang-orang.

"Masih jauh." Singkat Obhin dengan tenang.

"Tuan," Kiana menatap dengan gentar, "Aku tahu kau berada di sisi Matthew, aku tahu kau petinggi di posisimu. Kau kenal orangtuaku, kau pernah ke sini ketika kau muda dan mendapat penghargaan dari keluargaku, kau juga kenal Raja Imanuel. Tapi bukan aku yang harus kau lindungi, tapi Zonela dan Matthew." Kiana berbisik, ia tahu Matthew menyuruhnya dan kembali ke kastil sudah yakin.

Inside of Stone - 5TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang