Bab Tigapuluh Tiga

2.5K 273 15
                                    

Abu bergegas pergi ke sumber suara. Begitupun lainnya. Hingga beberapa saat kemudian, hal yang sama Abu dapatkan di beberapa kelas. Tepatnya seluruh kelas 11. Membuat Abu dan beberapa teman lainnya kewalahan.

Tito yang turut membantu Abu merasa heran. Hampir seluruhnya pun merasa demikian. Heran mengapa banyak sekali bangkai kelinci dengan pose yang sama. Box yang sama dan surat ancaman yang sama.

Jujur saja, mereka semua mulai jengah menghadapi situasi seperti ini. Bisa saja mereka melaporkan kejadian-kejadian ini kepada pihak yang berwajib. Namun mereka sadar. Semuanya hanya bisa dilakukan oleh pihak yang berkuasa. Siapa lagi kalau bukan kepala sekolah.

Hingga akhirnya Kepala Sekolah mereka turun tangan akan hal ini. Meski sebelumnya beliau sempat marah besar dengan bertanya menggunakan intonasi yang tinggi. Bertanya siapa dalang di balik semua ini. Karena Pak Efendi merasa ini adalah perbuatan murid-muridnya.

Pertanyaannya.

Siapa yang mau repot-repot membunuh banyak kelinci dan melakukan hal ini?

Tentu saja siswa yang normal tidak akan pernah mau membuang uang juga waktunya demi hal-hal yang tidak berguna seperti ini.

Sampai pada akhirnya, para siswa maupun siswi dipulangkan lebih awal. Mungkin kepala sekolah mereka akan bertindak dengan membawa kasus ini ke jalur hukum. Mungkin.

.

Mereka berlima akhirnya memutuskan untuk kembali berkunjung ke rumah Abu. Meski tidak dengan tujuan menginap. Mereka akan mendiskusikan apa pendapat mereka tentang kejadian tadi. Jujur saja, mereka semua terkejut dan tak menyangka. Kasus ini sudah melewati batas dengan meneror menggunakan makhluk hidup.

"Menurut lo, siapa?" Lutfi bertanya kepada Tito yang saat itu tengah membuka bajunya. Berniat mengganti seragamnya dengan kaos biasa.

"Gue belum bisa nebak."

"Kenapa gue malah mikir pelakunya Pak Efendi, ya?" sahut Red.

Abu mengangguk, mendengarkan. Ia juga berpendapat sama seperti Red. Hanya saja, mereka belum bisa memastikan apakah pendapat mereka benar adanya atau malah salah besar.

"Melakukan hal kek tadi, itu enggak gampang. Pasti butuh waktu juga modal. Orang kek kita nggak bakal bisa melakukan hal itu sendiri. Apalagi hanya dengan maksud iseng. Seperti yang gue bilang dari awal, motif pelaku adalah dendam. Dendam yang nggak akan pernah bisa padam, kalau orang yang dia maksud masih berkeliaran."

"Jadi, maksud lo pelaku ini nggak waras? Nggak normal?"

Tito mengangguk tegas. "Coba lo pikir, orang waras mana yang sampai mau bekerja sama, sama hantu cuma ingin balas dendam."

Abu pun turut mengiyakan dalam hatinya. "Bener apa kata Tito. Pelaku ini bukan orang sembarangan. Juga bukan orang yang normal."

"Jadi, kita harus apa?"

"Kita harus kumpulin bukti yang banyak. Yang bisa mengarah pada pelaku."

"Kalau misal kita nggak bisa nemu, gimana?"

Red tersenyum misterius. "Gampang. Tinggal tanya aja sama hantu wanita itu."

Mereka terus-menerus membicarakan hal yang sama. Tanpa tahu, di balik pintu kamar Abu, terdapat seseorang yang sebenarnya diam-diam mengikuti kegiatan mereka.

.

Malam kembali datang. Teman-teman Abu telah pulang ke tempat masing-masing, menyisakan Abu dan Red juga kakak Abu di dalam rumah. Jika ditanya ke mana orang tua Abu? Jawabannya adalah mereka pergi ke kondangan pernikahan anak teman mereka.

Red masih tertahan di sini, karena ia diperintahkan sang Mama untuk menginap di rumah Abu. Selain karena Mamanya single parent yang gemar sekali bekerja, Red juga merasa kesepian jika harus kembali ke rumah. Oleh karena itu, ia mengiyakan begitu saja permintaan Mamanya. Itung-itung kembali membahas hal-hal aneh belakangan ini dengan Abu.

"Kakak lo ke mana?" Red bertanya saat Abu masuk ke dalam kamarnya membawa sebuah nampan berisi berbagai macam cemilan juga dua buah gelas berisi air sirup.

"Biasa. Clubbing."

"Kakak lo nggak pernah berhenti gitu terus?"

Abu menggeleng. Ekspresinya nampak lesu ketika membahas sang kakak. "Gue enggak tahu lagi harus cegah dia gimana."

"Tiap malem, dia ke club terus?"

"Sejak empat tahun lalu ini, dia mulai jarang minum. Tapi alhir-akhir ini minum lagi. Gue enggak tahu harus gimana."

Red menepuk bahu saudara sepupunya itu pelan. Berusaha menguatkan. "Lo yang sabar."

Belum sempat Abu membalas ucapan Red, tiba-tiba kaca balkonnya berbunyi. Seolah bunyi benda yang sengaja dilemparkan ke kaca balkonnya.

Bersambung...

270119

Midnight MessageWhere stories live. Discover now