Bab Lima Puluh

2.6K 292 2
                                    

Andrian kembali ke kamarnya. Ia berniat terlelap. Setidaknya, kalau hari ini adalah hari terakhirnya, Andrian harap setelah ini semua keadaan kembali menjadi normal. Andrian berharap tak ada lagi SMS dengan hantu wanita itu. Semoga saja.

Beberapa saat kemudian, Andrian terlelap. Alam mimpi sudah dimasukinya. Lagi dan lagi, rasa bersalah yang membuncah membuatnya kerap mengalami mimpi buruk. Karenanya, Andrian sering kali menghabiskan waktu untuk minum. Ia ingin menghilangkan rasa bersalahnya. Tapi minum, tak menjamin apa-apa meski ia telah minum dengan banyak.

Rasa bersalah seolah terus menghantuinya. Ia depresi. Ia takut. Menyesal. Semuanya bercampur dalam jiwanya. Mungkin karena itu Andrian tak pernah bisa terlelap lama. Ia selalu mengingat jelas kejadian itu. Di mana dirinya yang mabuk, dipenuhi oleh hawa nafsu, merusak seorang gadis yang tak tahu apa-apa.

Dan karena itu pula, kini Andrian dihampiri mimpi buruk. Dalam mimpinya kali ini, ia bertemu wanita itu. Wanita yang sama sesaat sebelum ia melakukannya. Andrian bisa melihat wajahnya yang lugu dan begitu polos.

"Bisakah kita bicara baik-baik?" Tanpa sadar, Andrian bersuara. Gadis yang sebenarnya cantik itu mengangguk.

"Aku benar-benar minta maaf. Mungkin benar, ini sangatlah terlambat. Tapi aku mohon, bebaskan adikku dalam dendam ini. Biarkan dia tenang dalam hidupnya. Aku mohon beritahu Pak tua sialan itu untuk berhenti melakukannya. Kumohon!"

Gadis itu terlihat mengangguk. "Sebenarnya ... aku juga muak dengan dendam keji ini. Aku ingin mengakhiri semuanya. Tapi Pak tua itu minta satu hal jika aku ingin mengakhirinya."

"Apa itu?"

"Kematianmu."

Dan setelahnya Andrian terjaga. Kata terakhir wanita itu menghantui benaknya. Mungkin memang benar, pak tua sialan itu sudah lama menginginkan nyawanya. Terlebih, ketika mereka bertemu beberapa waktu lalu, membuat Andrian hampir saja kehilangan nyawa jika saja ia tidak gesit bergerak.

Andrian mengembuskan napasnya kasar. Ia ingin semua ini berakhir. Tak apa meski nyawanya terancam. Tak apa meski ia akan pergi meninggalkan dunia. Asalkan dendam yang tak masuk akal itu berakhir. Dan adiknya bisa hidup tenang tanpa kebingungan memikirkan segalanya.

Andrian bangkit. Mengambil sebuah kertas dan bolpen di meja belajar, kemudian mulai merangkai kata. Andrian hanya takut, hari ini adalah hari terakhirnya dan ia belum meminta maaf pada keluarganya.

Setelah beberapa saat, Andrian selesai menulis. Ia termenung di kursi putarnya. Sebenarnya dipikir-pikir bukan hanya ia yang salah. Sebab kasus yang sama beberapa kali terjadi setelah ia melakukannya pertama kali. Dan sekolah itu tutup karena kasus yang sama. Sekolah itu tutup karena sepi peminat.

Andrian paham. Ini begitu mengejutkan bagi sang pelaku yang merupakan Kepala Sekolah SMK Tanjung. Sekolah yang ia bina selama ini begitu mendulang banyak prestasi, tapi hanya karena kasus itu, ketua yayasan mengancam akan menutup SMK Tanjung. Akhirnya ancaman itu terwujud setelah kasus terakhir terjadi. Empat tahun setelah kasus Andrian.

Namun anehnya Andrian tidak tertangkap. Saat itu, ia pergi sejauh mungkin dengan dalih sedang liburan pasca ujian nasional. Kepala Sekolah pun tidak begitu banyak menanggapi karena memang gadis yang telah ia rusak tak lagi memiliki keluarga. Selain itu, Andrian merahasiakan semuanya, sekolah juga merahasiakan jika gadis itu bunuh diri bukan karena pemerkosaan, melainkan masalah pribadi. Bertahun-tahun lamanya, tak ada seseorang yang berhasil menemukan Andrian sebagai pelaku utama.

Hingga pada awal tahun ini, mantan Kepala Sekolah itu menghubunginya. Berkata bahwa keluarganya tak lagi aman. Ia akan mencelakaan keluarganya satu per satu. Namun Andrian bersyukur, setidaknya pak tua itu tidak sampai membunuh adiknya. Meski jumlah korban masih bisa dihitung dengan jari, tetap saja apa yang pelaku lakukan merupakan kejahatan tingkat tinggi.

Andrian kembali mengembuskan napasnya. Ia harus menemui pelaku itu. Harus.

.

Entah mengapa, Andrian merasa ada sebuah mobil yang mengikuti motornya dari belakang. Ia merasa asing dengan mobil itu. Pengendaranya pun tak terlihat oleh kaca helmnya yang buram. Sejenak, Andrian memelankan laju motornya, sesekali menoleh ke belakang. Mobil itu tetap mengikutinya.

Sampai berkali-kali Andrian mencoba menaik-turunkan laju kecepatan motornya, mobil itu tetap mengikuti. Tepat saat lampu merah beberapa meter di depannya, mobil itu melaju cepat sedangkan Andrian berusaha pelan. Beberapa detik kemudian, benda keras menghantam motornya. Membuat keseimbangan Andrian terganggu. Motornya oleng sebelum akhirnya berjalan pelan dan terjatuh tepat di tengah jalan.

Andrian dapat merasakan sebuah benda keras menekan kakinya. Ia tak lagi merasakan apa pun selain rasa sakit. Seluruh tubuhnya sakit. Bahkan sangat sakit. Seolah kakinya telah terbelah menjadi dua. Matanya memburam. Sejenak ia melihat siluet seorang laki-laki paruh baya mendekat.

"Pemuda sepertimu memang harusnya mati seperti ini, Andrian. Kau mau lihat? Kedua kakimu terbelah menjadi dua."

Seketika gelap. Andrian tak merasakan apa pun lagi pada tubuhnya.

Bersambung....

110219

Midnight MessageWhere stories live. Discover now