Prolog

42.1K 3.3K 176
                                    

"Enggak usah banyak ngomong ... buka baju lo!"

Wanita berusia empat puluhan itu menggeleng keras-keras.

"Jangan, Mas. Saya punya anak, jangan diginiin ...," katanya mengiba. Seluruh tubuhnya gemetar, dan wajahnya bersimbah air mata.

"Ah ... kelamaan lo, Lonte!" Seorang pemuda lain menarik kemeja yang dipakai wanita itu, memaksa untuk melepasnya.

"Jangan ... jangan, Mas. Tolong. Saya sudah umur ... jangan lakukan ini ke saya ...."

"Halah ... umur kan cuma angka ... he ... he ... he. Onderdil kan masih belum turun mesin, kita cuma bantu manasin, kok ...."

Kemeja terenggut, dan isaknya bertambah berat. Wanita itu merasa sesak oleh keputusasaan. Terus mengiba, sementara para pemuda rupawan yang mengerumuninya seolah kehilangan akal sehat karena nafsu gila.

Udara berbau alkohol, bercampur keringat dan aroma seks yang pekat. Sang wanita yang malang akhirnya hanya bisa memejamkan mata, berharap ketidaksadaran mengambil alih deraan yang dialami.

Lama setelah itu, tubuh-tubuh telanjang tak berdaya, bergelimpangan dalam lelap. Sang wanita malang merayap mengumpulkan cabikan pakaiannya, berharap masih bisa menutupi sedikit dari anggota tubuhnya yang sudah tak terselamatkan. Tertatih, dia meninggalkan tempat celaka itu, sambil membekap mulut sendiri. Takut tangisnya terlepas dan membangunkan mereka yang sudah memerkosanya.

*******

"Bokap gue bisa jantungan kalau ...." Pemuda berkemeja putih membenturkan kepala ke dinding di belakangnya. Tangannya memukul-mukul lantai.

"Diem, lo! Bukan lo doang yang punya bokap orang penting. Lo kira bonyok gue gak bakal stres kalo tuh perempuan berani buka mulut? Apalagi ... kalo sampe dia ngomong ke pers." Pemuda berkaus lengan panjang menukas kesal.

"Kita harus ketemu dia ... jangan sampe dia ngomong sama siapa pun. Jangan sampe masa depan kita berantakan gara-gara perek itu ember ...." Pemuda berkemeja putih kembali bicara.

"Lo punya duit berapa banyak?" Si Kaus Lengan Panjang bertanya.

"Uhm .... sekitar sepuluh juta ...."

"Mana cukup? Woi ... mana dia mau uang cuma segitu?"

"Lo punya berapa?"

"Gue punya dua puluh."

"Ya udah, gue cari lagi ...."

Kemeja Putih menoleh kepada temannya yang sedari tadi diam, si pemuda dengan kemeja kotak-kotak mahal rancangan desainer ternama.

"Njing! Kenapa diem aja, lo? Lo punya duit berapa? Kita urunan buat nutup mulut si Janda Gatel ...."

Kemeja kotak-kotak mengangkat kepala dan menatap temannya. Matanya mengerjap lambat.

"Kita udah perkosa dia, masih tega lo ngatain dia begitu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Kedua temannya terdiam, lalu si Kaus Lengan Panjang berdeham.

"Ya udah, sih. Kita kan lagi gak sadar ... lagian ... dia emang janda, kan?"

Kemeja Kotak-kotak memejamkan mata lama, lalu bangkit dan berjalan terhuyung-huyung meninggalkan teman-temannya yang saling berpandangan.

"Roman! Oi! Lo enggak bisa pergi gitu aja, Njing!"

Kemeja Kotak-kotak hanya mengibaskan tangannya, dan menghilang di balik pintu.

"Sial!"

"Lo harus jagain si Roman. Dia bisa ngacau."

"Diem lo. Gue kagak bego, enggak usah lo kasih tau ...."

*******

Gadis berseragam putih biru itu mengerutkan keningnya saat mendengar suara tangis tertahan dari kamar sebelah. Sambil mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, dia pun mendekat dan berdiri di depan pintu.

"Bu? Ibu sudah bangun?" tanyanya sambil mengetuk pintu.

Isak tertahan dari dalam kamar makin memilukan, membuat gadis itu  bergegas mendorong pintu hingga terbuka. Mulut mungilnya ternganga melihat sang ibu yang meringkuk di ranjang dengan pakaian compang-camping, juga lebam-lebam di wajah yang bersimbah air mata dan seluruh bagian tubuhnya yang bisa terlihat.

"Bu?!" Gadis itu menghambur ke ibunya, tetapi sang ibu malah mengacungkan tangan dengan gemetar. Mencegahnya mendekat.

"Jangan ... jangan ... tolong ... sudah ... jangan lagi ...."

Air mata meluncur deras di pipi gadis itu.

"Ibu ...."

********

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora