Nama saya bukan Debbie!

16.6K 2.8K 294
                                    

*****
"Puspa begitu tegar, tapi bukan berarti dia tidak akan hancur juga. Kalau Mbak Tatik membiarkan ini terjadi tanpa ada tindakan, sama saja Mbak Tatik menyia-nyiakan usaha Puspa untuk memberikan keadilan bagi ibunya. Menurut Mbak Tatik, apa efeknya untuk mental Puspa?"

Tatik menatap Ora nanar. "Justru saya enggak mau Puspa menanggung akibat perbuatan ibunya!"

"Memangnya apa perbuatan Mbak Tatik?"

"Itu ...."

Tatik membuang pandangan ke arah lain, menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya, lalu mulai bicara, "Itu yang akan dikatakan semua orang, kan? Saya tetap dianggap bersalah meskipun saya korban."

Ora menatapnya. "Tergantung. Kalau Mbak memang menginginkan hal itu, tapi kemudian menyadari kalau itu salah, dan menyesal, maka kita bisa menyebutnya sebagai perbuatan. Dilakukan oleh Mbak. Tapi, kalau Mbak tidak menginginkan apa pun itu, dan apa pun itu dipaksakan kepada Mbak, maka itu pelanggaran terhadap hak Mbak. Perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, terhadap Mbak. Bukan Mbak yang melakukannya," katanya panjang lebar meski dengan nada datar.

Tatik menggeleng-geleng. "Saya tidak akan pernah mau itu terjadi. Bagaimana mungkin Mbak Ora bilang saya menyesal setelah melakukan kesalahan?"

"Saya tidak mengatakan itu, Mbak Tatik. Saya hanya menjelaskan makna kata perbuatan yang Mbak Tatik sebutkan tadi."

Tatik tercenung.

"Mbak Tatik bilang tidak ingin Puspa menanggung akibat perbuatan ibunya, tapi ini bukan perbuatan Mbak Tatik. Tadi Mbak sendiri yang bilang, Mbak tidak menginginkannya. Berarti itu adalah sebuah pelanggaran terhadap privasi Mbak. Perkosaan ...."

"Hentikan!" Tatik berteriak keras, lalu menutup mukanya.

Dengan ekspresi datar Ora menatapnya sambil memiringkan kepala.

"Itu yang terjadi, kan? Puspa benar kalau Mbak di ...."

"Ya!" Tatik kembali berteriak. "Ya! Saya diperkosa. Tapi tidak akan ada yang percaya."

Ora mengerjap. "Kenapa?"

Tatik melepaskan tangannya, dan menatap Ora dengan sorot miris.

"Siapa yang percaya pada seorang janda yang bekerja di karaoke sekaligus bar? Yang pulang pagi setiap hari?"

Ora terhenyak. Meski dia tahu kalau itulah yang membuat Tatik tidak berniat meneruskan laporannya, tapi tetap saja, rasanya miris saat mendengarnya langsung.

"Saya berterima kasih karena Mbak Ora sudah mau bersusah payah mendampingi saya dan Puspa, tapi maaf, saya juga tidak akan mampu membiayai proses hukum yang harus dijalani kalau meneruskan laporan."

"Mbak Tatik, kami dari LBH tidak meminta bayaran sedikit pun. Kami sudah punya gaji yang berasal dari APBN, juga donasi dari badan pembiayaan dan para donatur, jadi Mbak tidak perlu khawatir."

Tatik menggeleng. "Meski begitu, saya tetap akan menarik laporan."

"Dan membiarkan pelaku lolos?"

Desah terlepas dari mulut Tatik. "Saya tidak punya pilihan."

Ora hanya bisa menghela napas berat. Dia bangkit dan menepuk bahu Tatik.

"Baiklah. Saat Mbak berubah pikiran, Mbak bisa mencari saya di LBH."

Tatik mengangguk. "Terima kasih."

*****

"Jadi Mbak Ora enggak akan meneruskan kasus Ibu?" Puspa bertanya sambil menyejajari langkah Ora.

Sang Penantang Badai (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now